Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sienna
Pagi itu, langit Kota Reynhaven tampak mendung. Udara terasa sedikit dingin, dan semilir angin menyapu jalanan yang masih basah akibat hujan semalam.
Naya mengemudi dengan tenang, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di terowongan malam sebelumnya. Mayat Hakim Leonard Grayson, darah yang mengering di lantai, serta tatapan kosong pria itu seakan masih terpatri jelas di benaknya.
Tapi hari ini, ia memutuskan untuk sejenak mengalihkan pikirannya dari kasus yang menyesakkan dada. Tujuannya saat ini adalah menjenguk Sienna.
Sienna baru saja keluar dari rumah sakit setelah mengalami serangan brutal di tempat persembunyian pembunuh bayangan hitam. Gadis itu selamat, tapi luka fisik dan mental yang dialaminya pasti masih membekas.
Naya menghela napas dalam, tangannya menggenggam kemudi lebih erat. Ia merasa sedikit bersalah karena belum sempat menjenguk Sienna sejak kejadian itu. Selama ini, mereka hanya berbicara lewat telepon atau pesan singkat.
Ketika mobilnya berhenti di depan sebuah apartemen kecil di sudut kota, Naya segera keluar dan membawa kantong berisi makanan yang ia beli dalam perjalanan.
Ia menaiki tangga menuju lantai dua, kemudian mengetuk pintu dengan pelan.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki dari dalam. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan Sienna muncul di ambang pintu dengan wajah sedikit pucat.
"Detektif?" suara Sienna terdengar sedikit serak, seakan ia baru saja bangun tidur.
Naya tersenyum kecil. "Hei, aku datang menjengukmu. Boleh masuk?"
Sienna mengangguk lemah, lalu membuka pintu lebih lebar. "Tentu, maaf rumah ini agak berantakan."
Naya melangkah masuk dan segera merasakan atmosfer tenang sekaligus suram di dalam apartemen itu. Gorden tertutup rapat, membuat cahaya pagi hampir tak bisa menembus ke dalam. Beberapa cangkir kopi kosong dan piring kotor berserakan di meja kecil di ruang tamu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Naya hati-hati sambil menaruh kantong makanan di atas meja.
Sienna tersenyum tipis, tapi jelas terlihat betapa lelahnya ia. "Masih sedikit pusing, tapi saya baik-baik saja."
Naya mengamati gadis itu dengan seksama. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, dan gerakannya sedikit lambat, seakan tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih.
"Sudah makan?"
Sienna menghela napas pelan. "Saya tidak terlalu lapar akhir-akhir ini."
Naya mengangkat satu alisnya. "Itu bukan alasan untuk melewatkan makan. Aku membawakan sesuatu untukmu."
Ia mengeluarkan beberapa makanan dari kantong yang berisikan sup ayam hangat, sandwich, dan jus jeruk segar.
Sienna menatapnya dengan sedikit terkejut. "Anda benar-benar membawakan ini untuk saya?"
Naya tersenyum. "Tentu saja. Kau butuh energi untuk pulih."
Gadis itu menatap makanan tersebut beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Terima kasih, detektif."
"Ayolah, kita tidak berada dalam lingkup pekerjaan. Panggil aku senyaman mu saja. Berapa usia mu?" tanya Naya sembari membuka kotak sup hangat.
Sienna tersenyum tipis. "27 tahun. Lima tahun lebih muda dari anda."
"Kalau begitu, panggil aku dengan namaku saja. Tidak usah bersikap formal padaku," jawab Naya.
"Tapi... anda lebih tua dari saya."
"Ayolah, jangan terlalu canggung begitu." Naya menyerahkan kotak sup hangat pada Sienna.
Sienna meraih kotak hangat itu dan tersenyum hangat. "Baiklah."
Setelah Sienna selesai makan, mereka duduk di sofa dengan secangkir teh di tangan masing-masing.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Naya sambil meniup teh panasnya.
Sienna terdiam sejenak sebelum menjawab. "Secara fisik, aku mulai membaik. Tapi…"
Matanya sedikit meredup. "Malam itu… masih sering terulang di pikiranku."
Naya meletakkan cangkirnya. "Kau ingin bicara tentang itu?"
Sienna mengangguk perlahan. "Saat itu, aku benar-benar merasa seperti akan mati. Aku bisa merasakan dinginnya baja di kulitku, napasnya yang terdengar di telingaku. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku bisa merasakan betapa dia menikmati membuatku takut."
Naya mengepalkan tangan di atas pahanya. "Aku mengerti, Sienna. Aku tahu rasanya dikejar oleh seseorang yang menganggap kita hanya sebagai permainan. Tapi kau masih di sini. Kau selamat."
Sienna menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi kenapa aku merasa seperti pecundang? Aku tidak bisa melawan. Aku hanya bisa pasrah saat dia hampir membakar kulitku dengan alat itu."
Naya menggeleng tegas. "Dengar, Sienna. Bertahan hidup bukan berarti kau lemah. Justru, itu menunjukkan betapa kuatnya dirimu."
Sienna menunduk, menggenggam cangkirnya erat. "Aku hanya… takut, Naya. Bagaimana jika dia datang lagi? Bagaimana jika dia tidak akan berhenti sampai dia menyelesaikan apa yang dia mulai?"
Naya menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kau tidak sendirian. Aku, Evan, Owen, dan seluruh tim ada di sini. Kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
Sienna menghela napas, berusaha mempercayai kata-kata itu. "Aku ingin percaya, Naya. Tapi aku tahu dia masih di luar sana. Dan dia pasti mengawasi kita."
Setelah beberapa saat hening, Naya menatap Sienna dengan lembut.
"Sienna, aku ingin bertanya sesuatu."
Sienna menoleh, ekspresinya sedikit ragu. "Apa itu?"
Naya menimbang kata-katanya sebelum berbicara. "Kenapa kau begitu gigih menyelidiki kasus ini? Aku tahu kau ingin membantu Jonas, tapi… apa hanya itu alasannya?"
Sienna tampak terkejut, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku…"
Naya menunggu dengan sabar.
Akhirnya, Sienna menghela napas panjang. "Sebenarnya… aku punya alasan lain. Ini bukan hanya tentang senior Jonas. Ini tentang diriku sendiri."
Naya tidak menyela, membiarkan gadis itu melanjutkan.
"Aku kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupku bertahun-tahun lalu. Kakakku."
Naya menegang. Ia tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya.
"Dia terbunuh dalam sebuah kasus yang hampir sama dengan ini. Dan pelakunya… tidak pernah tertangkap. Dia adalah pekerja proyek Astra Land. Ahh, itu benar-benar membuatku sangat terpukul mendengar beritanya."
Sienna menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tumbuh dengan kebencian dan rasa bersalah. Aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak ingin ada orang lain yang merasakan kehilangan seperti yang aku alami."
Naya merasakan sesuatu mencubit hatinya. Ia tahu betul bagaimana rasanya kehilangan seseorang dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan hati-hati, ia menggenggam tangan Sienna. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Sienna. Dan aku janji, kita akan menemukan kebenaran. Tidak hanya untuk kasus ini, tapi juga untukmu."
Sienna menatapnya dengan mata yang mulai dipenuhi harapan. "Kau benar-benar percaya kita bisa menangkapnya?"
Naya tersenyum kecil. "Aku percaya. Selalu."
Gadis itu akhirnya mengangguk, matanya mulai mengering dari air mata. "Terima kasih, Naya."
Naya menepuk tangannya. "Sama-sama. Sekarang, ayo kita istirahat. Kau butuh waktu untuk memulihkan diri."
Sienna tersenyum tipis. "Baiklah. Tapi kau tetap di sini sebentar, ya? Aku ingin kita bicara lebih lama."
Naya mengangguk. "Aku tidak akan ke mana-mana."
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sienna merasa sedikit lebih tenang.
Mereka berdua masih harus menghadapi bayangan gelap yang terus mengintai…
Tapi setidaknya, mereka tidak harus menghadapinya sendirian.
...To be Continue...