Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil Sidang
Alan membenarkan letak kaca mata ketika melihat wanita yang hanya beberapa kali dilihatnya, kini sedang menggedong seorang bayi. Rambut gelap dengan netra coklat terang, pipi bulat serta hidung mancung, bayi itu terlalu mirip dengan wajah Ravendra saat kecil, kecuali bibir tipis merah muda yang sepertinya mirip Gaitsa.
Pria itu masih menatap takjub saat bayi laki-laki di gendongan Gaitsa menatapnya dengan netra jernih dan senyum menggemaskan. “Apa dia anakmu dan Ravendra?” tanyanya.
Gaitsa menggeleng, “Bukan. Aku mengandung dan melahirkannya sendiri, ke depannya juga hanya aku yang akan membesarkannya.”
“Ravendra memiliki hak terhadap bayinya juga!”
“Tidak! Dia bilang tidak akan menuntut apa pun hasil dari hubungan satu malam. Aku bahkan memiliki surat penyerahan hak asuh sepenuhnya yang ditandatangani langsung oleh Ravendra dan rekaman suara saat dia mengatakan itu.”
Gaitsa tidak bisa menahan senyum liciknya. Alan, pria itu adalah teman dekat Ravendra yang juga selalu memandang rendah Gaitsa. Hanya karena ia hidup dari belas kasih orang lain, bukan berarti ia pantas diperlakukan seperti sampah.
Ravendra memang tidak pernah secara terang-terangan mengatakan hal buruk, tapi cara pria itu memandangnya dengan rendah seolah Gaitsa adalah hama, sudah cukup membuktikan betapa laki-laki itu tidak berhak terhadap anak yang dilahirkannya. Gaitsa sudah membuktikan nilai dan membalas budi dengan melakukan banyak hal untuk Dewara Grup, di saat pewaris sah berada di luar negeri entah berbuat apa.
Gaitsa sempat berpikir putra tunggal Dewara Grup itu mengurus anak perusahaan di luar negeri setelah menyelesaikan pendidikan. Tapi, melihat bagaimana Presdir sebelumnya meminta Gaitsa untuk menyelesaikan berbagai masalah di seluruh Dewara Grup membuatnya ragu.
Ia tidak benar-benar tahu dimana dan sedang apa putra tunggal keluarga itu. Juga tidak pernah melihatnya selain ketika pria itu pulang. Itu pun hanya beberapa hari sebelum Ravendra kembali ke luar negeri.
“Jadi, siapa namanya?”
“Ragata Biyu Thafana. Panggilannya Biyu,”jawab Gaitsa seraya mengangkat tangan bayinya, melambaikannya pada Alan yang terhenyak. Mana mungkin ia mengatakan jika Biyu tetap menggunakan nama Dewara secara terang-terangan.
Gaitsa yang Alan tahu adalah seseorang yang selalu memasang wajah datar dan jarang bicara. Alan belum pernah melihat Gaitsa bersikap sangat lembut terhadap seseorang. Wanita itu selalu elegan dan anggun, dengan kecerdasan di atas rata-rata dan wajah sedatar papan tulis. Senyum yang ditampilkannya pun selalu penuh kesopanan dan menunjukkan nilai sebagai wanita berpendidikan.
"Kamu tidak meletakkan nama ayahnya?"
Gaitsa mengernyit, "Maksudmu nama keluarga Dewara? Untuk apa? Dia anakku!" tegas Gaitsa tanpa bisa dibantah.
Pria berkaca mata itu diam-diam mengutuk klien sekaligus temannya yang membuat seorang anak tidak memiliki ayah dan terkesan tidak diterima di keluarga besar Dewara. Tapi sebenarnya ... apakah Ravendra mengetahui keberadaan bayi mungil itu?
"Aku tidak bersikap keterlaluan pada Ravendra atau Dewara. Kamu pikir dia tidak tahu tentang Biyu? Aku tidak pernah menyembunyikan kehamilanku dan bayi ini."
Gaitsa melangkah pergi, membawa putra kecilnya setelah mengatakan kebenaran yang tidak bisa disebut kebenaran. Ia memang tidak pernah menyembunyikan kehamilannya dan Biyu dari publik, tapi juga tidak mengatakan pada Ravendra tentang anak mereka.
Kalau pria itu punya sedikit saja kepedulian terhadap istrinya, ia akan mencari tahu keberadaan Gaitsa dan pasti menemukan fakta tentang kehamilannya. Nyatanya pria itu tidak melakukan apapun. Atau mungkin ia tahu tapi tidak peduli.
Bagi Ravendra, Biyu mungkin hanya seorang bayi. Tapi bagi Gaitsa, anaknya adalah alasannya bernapas. Ia tidak mau membuat anaknya terjebak di hubungan tidak sehat orang tuanya, jadi lebih baik bagi Biyu untuk tidak mengenal Ravendra sama sekali.
Gaitsa juga tidak bisa membiarkan Biyu tinggal bersama Ravendra dan istri barunya karena pasti akan ada perbedaan kasih sayang antara anak dari wanita yang pria itu cintai dan Biyu.
Putranya akan tetap tumbuh sehat dan bahagia tanpa kekurangan apa pun, dengan limpahan kasih sayang yang membuat Biyu tidak iri terhadap teman-teman yang memiliki keluarga utuh.
***
Gaitsa menang setelah hakim memberikan keputusan berdasarkan keinginan kedua belah pihak. Tidak ada perdebatan berarti selama sidang terakhir berlangsung.
Alan tidak bisa melakukan apa-apa tentang Biyu karena bukti kuat yang dimiliki Gaitsa. Ia juga bisa menjadi saksi dari sikap tidak bertanggung jawab Ravendra terhadap istrinya. Semua yang dikatakan Gaitsa adalah fakta. Tapi yang sulit ia terima adalah keputusan tentang hak asuh Biyu yang seluruhnya dibebankan pada Gaitsa.
Padahal Alan sudah berusaha agar biaya hidup anak itu tetap ditanggung ayahnya, tapi semuanya ditolak dengan alasan semua bukti yang dimiliki Gaitsa memberi kepastian bahwa Ravendra tidak bisa dipercaya sebagai seorang ayah. Apa sebenarnya yang diberikan wanita itu pada hakim?
Pengadilan bahkan menolak memberitahukan bukti yang dimiliki pihak penggugat dengan alasan keamanan Gaitsa dan bayinya. Alan hanya bisa menghela napas saat satu per satu orang meninggalkan ruangan.
"Selamat karena sudah tidak terikat dengan orang brengsek, Ghe!" seru seorang wanita bersurai pendek yang sejak sidang pertama selalu datang dan melototi Alan. Beberapa orang juga mendekati Gaitsa yang sedang tersenyum.
"Sejak awal mereka memang tidak punya ikatan apa pun. Biyu hanya memiliki Gaitsa sejak dalam kandungan. Ayahnya hanya sibuk memeluk perempuan lain, mana sempat melihat keadaan istri dan anaknya."
Kalimat yang dikatakan dengan lembut dan penuh senyum namun berisi sindiran pedas itu membuat Alan mengernyit. Sibuk memeluk perempuan lain? Ia tahu Ravendra tidak menyukai Gaitsa dan menikahi wanita itu hanya demi memenuhi syarat untuk mendapatkan hak penuh terhadap Dewara Grup. Alan juga tahu Ravendra tidak pernah pulang lagi setelah menghabiskan malam bersama Gaitsa yang setahunya juga dilakukan secara terpaksa demi memenuhi syarat untuk mendapatkan warisan.
Beberapa foto dan saksi yang disiapkan Ravendra untuk diberikan pada pengacara sang ayah, sudah cukup untuk membuatnya mendapatkan seluruh haknya. Tapi setelahnya pria itu lebih memilih pulang ke apartementnya sendiri daripada istana tempat istrinya berada. Alan mengetahui dengan pasti bagaimana Ravendra membenci Gaitsa yang memanfaatkan belas kasih ayahnya untuk menguasi Dewara Grup.
Tapi ... memeluk wanita lain? Ravendra tidak pernah memiliki kekasih. Gaitsa adalah satu-satunya yang pernah ia sentuh. Ravendra bukan orang yang bisa menyentuh siapa pun dengan mudah. Pria itu mungkin meniduri Gaitsa sambil memejamkan mata, membayangkan hal lain, makanan misalnya. Alan juga sempat berpikir bahwa Ravendra menggunakan obat untuk tidak muntah ketika harus melakukan kontak fisik. Jadi, bagaimana bisa ada wanita lain? Siapa?
"Aku harus bicara dengan Tuan Alan sebentar. Kalian pergilah dan tunggu aku di tempat parkir," ucap Gaitsa seraya memberikan Biyu, melambai pada teman-teman sekantornya yang menyempatkan diri untuk datang.
Bibir tipis itu merekah ketika Alan mendekatinya dengan wajah tidak menyenangkan. "Apa maksudnya memeluk wanita lain? Kamu memfitnah Ravendra berselingkuh?" tanyanya dengan suara rendah.
"Itu kan kiasan, Tuan. Sindiran yang diberikan untuk laki-laki yang tidak pernah mencari keberadaan istri dan anaknya." Gaitsa menjawab tenang, menyembunyikan seringai di ujung bibir.
"Aku hanya ingin mengucap selamat tinggal. Kuharap mantan suamiku menepati janjinya untuk tidak pernah mengganggu dan biarkan Biyu hidup bahagia bersamaku," katanya seraya bersedekap.
"Apa Ravendra sama sekali tidak boleh menemui anak kandungnya sendiri?"
"Kamu yakin dia anak kandung Ravendra? Hanya karena kami menghabiskan satu malam bersama, bukan berarti Biyu adalah anaknya. Aku bukan orang kolot yang menjaga kesucian dan tidak melakukan seks sebelum menikah."
Alan terdiam mendengarkan kata-kata yang merasuki pikirannya. Benar. Wanita di hadapannya bukanlah Ravendra. Alan tidak mengenalnya sama sekali. Bisa jadi anak itu bukan darah daging Ravendra--hah! Pria itu tertawa mencemooh. Bagaimana ia bisa langsung mengiyakan perkataan wanita itu?
Gaitsa yang tahu kalau kalimat beracunnya gagal memengaruhi pengacara di hadapannya berdeham. "Intinya, mari jangan saling bertemu lagi. Berpura-puralah tidak saling mengenal jika tidak sengaja berpapasan," ucapnya seraya melangkah pergi, tidak memberi kesempatan pria itu mendebatnya lebih lama.
Lagipula tidak ada yang mengetahui tempat tinggal dan tempat Gaitsa bekerja. Juga tidak ada kontak yang bisa dipakai untuk menghubungi Gaitsa. Wanita itu tersenyum puas dengan semua hasil yang ia dapatkan.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant