Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama Meminta Arman Untuk Menikahinya
Mama Meminta Arman Menikahinya Demi Anak yang Dikandungan
Keesokan harinya, suasana rumah terasa semakin mencekam. Setelah pertemuan penuh emosi antara Nisa dan Arman, Maya merasa semakin terpuruk. Perasaan bersalahnya semakin membebani hatinya, terutama setelah mengetahui bahwa keputusan Nisa untuk bercerai semakin dekat. Namun, Maya merasa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan, meskipun itu adalah langkah yang sangat sulit dan penuh dengan rasa takut.
Saat itu, Maya duduk di ruang tamu, memikirkan segala sesuatunya. Wajahnya terlihat letih, penuh dengan penyesalan dan kekhawatiran. Perasaannya tak terhingga. Arman, yang dulu adalah suaminya, kini akan menjadi ayah dari anak yang ia kandung. Namun, ia juga tahu bahwa jika Nisa memilih untuk bercerai, itu berarti ia harus menanggung semua konsekuensi dari kebohongan yang telah terjadi.
Arman masuk ke ruang tamu, melangkah perlahan dengan ekspresi serius. Sejak pertemuan dengan Nisa tadi, hatinya terasa semakin berat. Ia tahu, ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa hubungan mereka—hubungan antara Maya dan Arman—juga membutuhkan keputusan besar, terutama sekarang bahwa Maya tengah mengandung anaknya.
Maya mengangkat wajahnya ketika melihat Arman masuk. "Arman," katanya dengan suara rendah, penuh dengan keraguan, "ada hal yang perlu kita bicarakan."
Arman duduk di depannya dengan hati yang gelisah, menunggu kata-kata berikutnya. "Apa itu, Mama?" tanyanya dengan nada hati-hati, tidak tahu apa yang akan keluar dari bibir Maya kali ini.
Maya menundukkan kepala, menahan air mata yang mulai muncul. "Arman, aku tahu semuanya telah hancur. Aku tahu aku tidak bisa membalikkan waktu, dan aku sangat menyesal. Tapi ada satu hal yang harus kita pikirkan bersama, demi anak yang ada dalam kandunganku. Aku tidak bisa melakukannya sendiri."
Arman tercengang, merasa tidak siap untuk mendengar kalimat itu. "Maksud Mama...?" tanyanya dengan nada bingung. "Apakah Mama ingin aku...?"
Maya menatap Arman dengan mata penuh harap. "Arman, aku minta kamu untuk menikah denganku. Demi anak ini. Aku tahu itu terdengar gila dan tak masuk akal, tapi aku tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapinya. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi, dan ini adalah langkah terakhir yang bisa kita ambil."
Arman merasa dunia seolah berhenti berputar. Ia menatap Maya dengan mata penuh kebingungan, terkejut dan merasa terhimpit oleh perasaan yang bercampur aduk. "Mama... menikah? Dengan kamu?" suaranya hampir tak terdengar, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Maya.
"Ya, Arman," jawab Maya dengan suara pelan namun tegas. "Aku tahu ini adalah permintaan yang gila, tetapi aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku harus bertanggung jawab atas anak ini, dan aku tahu kita harus menghadapi semua konsekuensi dari tindakan kita. Aku minta kamu untuk menikah denganku, demi masa depan anak kita."
Arman terdiam, hatinya hancur. Ia merasa tidak tahu lagi bagaimana harus merespons. Bagaimana bisa ia menikahi Maya, ibu mertuanya, sementara perasaan dan kehidupannya begitu kacau? Selain itu, ia juga merasa sangat bersalah terhadap Nisa. Ia mencintai Nisa, tetapi di sisi lain, ia merasa terikat dengan Maya dan anak yang sedang dikandungnya.
"Mama, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan," ujar Arman dengan suara berat. "Aku mencintai Nisa, dan aku tidak ingin kehilangan dia. Tetapi aku juga tidak bisa membiarkan anak ini lahir tanpa ayah yang bertanggung jawab."
Maya menggenggam tangan Arman dengan penuh harap, mencoba meyakinkannya. "Aku tahu ini sangat berat, Arman. Tetapi ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang masa depan anak ini, yang tidak bersalah atas segala yang telah terjadi. Aku ingin anak ini tumbuh dengan cinta dan rasa tanggung jawab dari kedua orangtuanya, meskipun semuanya tidak sempurna."
Arman menundukkan kepala, merasakan perasaan yang membingungkan. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia harus bertanggung jawab, tetapi di sisi lain, ia merasa hatinya masih tertambat pada Nisa. Ia tidak bisa melupakan cintanya pada Nisa begitu saja, meskipun pengkhianatan dan rasa sakit yang ditimbulkan begitu mendalam.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa, Mama," kata Arman dengan suara penuh kebingungan. "Aku masih mencintai Nisa. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan anak ini. Aku tidak tahu apakah menikah denganmu adalah solusi yang tepat."
Maya menghela napas panjang, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu lagi apa yang harus kita lakukan, Arman. Aku hanya tahu bahwa kita harus bertanggung jawab. Jika kita tidak bisa bersama sebagai suami dan istri, setidaknya kita bisa bersama demi anak ini."
Arman merasa hatinya semakin berat. Ia merasa terhimpit oleh kewajiban dan rasa tanggung jawab, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan pahit yang telah terjadi. "Aku akan memikirkannya, Mama. Tapi aku tidak bisa berjanji apa-apa."
Maya mengangguk pelan, meskipun hatinya merasa sakit. Ia tahu bahwa apa yang diminta darinya adalah langkah besar yang penuh dengan tantangan. Namun, ia juga tahu bahwa tidak ada pilihan lain selain berjuang demi masa depan anak yang ada di kandungannya.
Sementara itu, di luar sana, Nisa masih berjuang dengan hatinya yang terluka. Ia merasa hancur, tetapi ia tahu bahwa keputusan yang ia buat untuk berpisah dari Arman adalah keputusan yang paling tepat untuk dirinya. Tetapi, semakin ia berusaha untuk melupakan semuanya, semakin keras kenyataan menghampirinya, dan ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai.
Arman dan Maya, masing-masing terjebak dalam pilihan sulit yang harus dihadapi, tahu bahwa jalan di depan penuh dengan ketidakpastian. Tetapi satu hal yang jelas, hidup mereka tak akan pernah sama lagi.