Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAS! MAS! MAS!
Sesampainya dikamar Alan meletakkan box barangnya disamping meja kerjanya, lalu duduk dan membuka laptopnya. Ia terlihat sedang mengecek email masuk. Marsha memilih duduk di ujung kasur, memperhatikan apa yang dilakukan suaminya itu dari sana.
Karena tidak ada perubahan, ia pun berdiri dan menghampiri Alan yang mulai tampak sibuk dengan laptopnya,
"Um, katanya mau ada yang dibantu, mana?" tanya Marsha ragu-ragu.
Alan menghentikan kegiatannya, ia menoleh kearah Marsha dan menatapnya datar. "Nggak perlu, itu barang-barang buat diruang kerja saya disebelah."
Marsha mengernyit, lalu kenapa ia diminta untuk membantunya kalau memang tidak perlu.
"Emang kamu nggak ada tugas atau PR sekolah?" tanya Alan kemudian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Pemandangan tadi cukup menganggu pikiran Alan. Daripada ia membiarkan Marsha diluar bersama Reno, lebih baik ia menahan istrinya didalam bersamanya.
Marsha menggeleng, ia memperhatikan layar laptop Alan. "Um, ini pekerjaan disekolah?" tanyanya penasaran,
"Bukan, ini pekerjaan di perusahaan, hanya saja saya kerjakan dari rumah atau kadang disekolah." Alan kembali melanjutkan pekerjaannya, namun Marsha menatapnya heran.
"Kalau nggak ada yang dibantu saya keluar aja deh Om, daripada nggak jelas disini." Marsha hendak beranjak namun dengan cepat Alan mencegahnya, ia memegang pergelangan Marsha dengan erat.
"Disini aja." titahnya penuh penekanan,
Marsha mengernyit "Diam nggak jelas ngeliatin Om kerja gitu maksudnya?" tanya Marsha tak percaya.
"Iya." Alan melepaskan genggamannya, ia kembali fokus pada laptopnya.
'Apa-apaan itu!?' Marsha mendengkus kesal, ia kembali duduk di ujung kasur memperhatikan Alan. Bukan karena menurut tapi ia juga bingung sebenarnya mau melakukan apa diluar sana.
Ibu-ibu ngomongin Maya, memuakkan dan sungguh menyakitkan baginya. Reno? Ia masih merasa sangat canggung, tapi sebenarnya ia rindu, emang boleh ia dekati Reno? Bapak-bapak? Masa ngumpul bareng Bapak-bapak?
Alan kembali menoleh menatap Marsha yang melamun diujung kasur,
"Panggil saya Mas." ia menatap Marsha lekat, Marsha yang pikirannya masih di awang-awang hanya melongo mendengar perintah Alan yang tiba-tiba absurd.
"Hah?" wajahnya bingung. "Nggak mau lah, aneh." jawab Marsha cuek, ia beranjak duduk menyandarkan punggungnya pada headboard kasur. Kakinya selonjoran dengan santai.
"Mulai hari ini kamu harus panggil saya Mas, dimana pun kecuali sekolah itu pun kalau ada orang lain saja untuk formalitas." kini Alan berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada layar laptop didepannya. Namun ucapan penuh dengan penegasan yang tidak boleh di bantah.
"Kenapa harus?" Marsha masih saja keberatan,
"Karena saya suami kamu Marsha, bukan Om kamu."
Alan berkata dengan suara yang sedikit meninggi, seperti menahan kesal. Dia marah? Pikir Marsha kebingungan karena posisi Alan kini membelakanginya, ia tidak bisa memastikan raut mukanya.
"Coba panggil," perintahnya, masih membelakangi Marsha.
Marsha mengernyit, 'Nih Om-om kenapa sih!?' batinnya heran.
Alan memutar kursinya menghadap Marsha, "Kamu dengar kan, coba panggil!" perintahnya lagi.
Marsha masih menatap Alan dengan heran, alisnya bertaut dengan kuat saking herannya. Ia menghela napas pelan, mulutnya masih berat untuk mengucapkannya.
Ia merasa mau muntah membayangkannya, karena menurutnya itu adalah panggilan yang cocok untuk suami istri yang memang saling menyayangi, dia kan tidak ada rasa apa-apa, rasanya tidak aneh.
"Mas!" jawab Marsha dengan cepat dengan wajah mengernyit, seperti sedang mengajak orang untuk berantem.
"Muka kamu kenapa gitu, biasa aja. Coba lagi." perintahnya lagi.
"Mas." kini Marsha mengucapkannya dengan wajah datar, tanpa ekspresi.
Alan masih tampak belum puas, ia menghela napas. "Sekali lagi, lemah lembut, ada senyumnya. Coba!"
"Apaan sih Om!" keki Marsha. Ia kesal nggak beres-beres percobaannya.
"Kamu melawan ya? Cepetan coba!"
"Iya Mas, Mas, Mas, Mas." ucapnya lembut, lemah gemulai dan penuh senyuman indah tapi tidak tulus.
Alan berbalik kembali menghadap layar laptopnya, ia pun tersenyum simpul mendengar panggilan Marsha yang dipaksa lemah lembut, namun ia menyukainya. Senyumnya yang manis begitu menggoda, baru senyumnya bagaimana orangnya.
~
Baru malam hari Marsha membuka pesan dari Reno, memang sebelumnya ia mengarsipkan chat Reno sehingga pesan yang diterima tidak masuk dalam notifikasi.
Reno: [Sha, kamu bahagia?]
Marsha terus mengulang membacanya, seolah-olah itu adalah sebuah kalimat panjang. Marsha meletakkan jarinya siap membalas pesan dari Reno, namun ia bingung harus membalas apa. Ia pun bertanya pada dirinya sendiri, 'Emang gue bahagia?' batinnya bertanya ia pun tidak tahu jawabannya.
"Belum tidur?" Alan keluar dari walk in closet sudah memakai kaus oblong yang mencetak tubuhnya, ia melirik ponsel digenggaman Marsha sekilas lalu kembali mengalihkannya, yang dikiranya sedang bermain sosmed, namun tampak jelas ia membuka room chat tapi ia tidak bisa melihat dengan siapa Marsha sedang berkomunikasi. Marsha menggeleng lemah, lalu meletakkan ponselnya diatas nakas dengan posisi yang sudah dia kunci.
Marsha memperhatikan Alan yang berjalan kearah meja kerjanya, "Masih mau kerja juga?" tanya Marsha sedikit kaget. Ini sudah hampir jam sepuluh malam.
"Enggak, cuma mau ngecek email sebentar, kenapa?" jawab Alan datar.
"Mau matiin lampu, mau tidur." jawab Marsha acuh tak acuh.
"Kirain minta ditemani tidur."
Marsha mendelik, "Dasar mesum." desisnya pelan.
"Kamu ngomong apa?"
"Nggak ada."
Alan hanya berdehem lalu kembali diam menatap laptopnya. Marsha memperhatikan Alan dengan seksama. Dibalik kaos itu terlihat jelas badan tegap Alan, dada yang bidang dan belum lagi perutnya yang bagai roti sobek itu.
Marsha menelan salivanya, bayangan Alan yang tanpa baju langsung melintas dipikirannya. Sungguh menggoda, dalam bayangannya ingin rasanya ia menyentuhnya. Marsha menggigit bibirnya bawah, 'Gila! Kok gue yang jadi mesum sih!?'
Dengan cepat Marsha menepisnya walau susah ia kembali memandang Alan yang masih mengecek email dari atas kasur, kini matanya menjelajahi Alan dari ujung rambut hingga kaki. Rambut hitam lurus tidak terlalu pendek yang selalu terlihat rapi, sebenarnya Marsha tidak menampik ketampanan Alan yang nyaris sempurna dimata teman-temannya itu tapi gengsi dan kesalnya pada Alan membuat ia enggan mengakuinya. Tapi malam ini Marsha baru benar-benar memperhatikan ketampanan suaminya itu dengan seksama.
Alan mematikan laptopnya, lalu ia berdiri dan berbalik ia tampak kaget melihat Marsha masih di posisinya. Marsha sedikit terperangah karena kepergok sedang memperhatikan dirinya itu, ia pun mengalihkan pandangannya dengan cepat.
"Kamu nggak bisa tidur atau pengen? Kenapa begitu banget lihatnya."
"Hah?" Marsha masih loading perkataan Alan, "Pengen apa?" tanyanya polos.
"Di puk puk biar bisa tidur mungkin." Alan mengedikkan bahunya cuek.
"Dasar Om mesum!" keki Marsha seraya melempar bantal kearah Alan yang hanya tersenyum simpul menanggapinya.
Ia menghela napas berat, bayangan Marsha dengan bathrobe masih sering lalu lalang di benaknya, mungkin karena itu ia jadi lebih sering menggoda Marsha.
"Panggil saya Mas!" titah Alan kemudian,
"Mas!" jawabnya tidak pakai lama, terpaksa Marsha menurut walau bagaimanapun ia tetap memiliki rasa takut juga pada Alan.
"Buruan tidur, besok kan senin harus upacara." Alan mengingatkan.
"Um."
"Kalau gitu saya tidur duluan," pamit Alan dan ia pun berjalan menuju pintu kamar, Marsha tampak heran dan langsung saja memanggilnya.
"Om, eh Mas mau kemana?" seketika Marsha merutuki dirinya yang tidak bisa mengerem mulutnya, ngapain panggil-panggil sih. Alan berbalik dan melihat Marsha heran.
"Tidur, dikamar tamu. Mami kan udah pulang." Alan memberi tahu. Marsha tertunduk ternyata ia menepati janji untuk pisah kamar setelah Sania pulang, "Kenapa? Kamu benaran mau di temani?" ucap Alan sambil melangkah maju kearah Marsha.
"Ehhh! Bukan gitu!" Marsha panik, Alan berhenti melangkah lalu ia tersenyum smirk melihat kepanikan Marsha. "Matiin lampu." Marsha beralasan.
"Kamu yakin?" Alan memastikan,
"Iya lah,"
"Matiin sendiri, punya tangan dan kaki kan." Alan pun pergi melenggang keluar dari kamar tanpa mematikan lampu.
"Maasss!" teriak Marsha kesal, "Dasar Om-om! Om-om resek, Om! Om! Om!" Marsha berteriak, kesalnya begitu membara hingga di ubun-ubun.
Alan hanya tertawa kecil tidak peduli, kesalnya Marsha adalah kesenangannya sendiri. Ia pun melirik sekilas lampu kamar yang sudah dimatikan oleh Marsha sendiri.
***