menceritakan tentang seorang gadis yang berpindah ke dunia asing yaitu dunia kultivasi.
seperti apa kelanjutannya silahkan di baca
maaf sebelumnya banyak typo berterbangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
"Berhenti, Paman Ang!"
Ucap Sang Yara pada sang kusir, lalu dia pun turun dari gerbongnya.
Seketika, "lihat itu Yang Mulia Raja Muda..." ucap seorang gadis muda.
"Salam kepada Yang Mulia Raja Muda, semoga Yang Mulia diberi keberkahan dan kesehatan yang berlimpah," ucap para warga serempak, dan membungkuk seraya memberi hormat.
Dengan senyum maksimalnya, Sang Yara membalas, "Ya, salam kalian aku terima. Kembalilah beraktivitas."
"Terima kasih, Yang Mulia!" ucap mereka lagi. Melihat senyuman itu, semua orang terpesona. Bagaimana tidak, biasanya Yara yang asli akan memakai baju yang mencolok, namun kali ini.
Dengan setelan jubah bagian luar berwarna hitam, berbordir benang emas, dan bagian dalam berwarna silver dengan bordiran benang silver halus, jika dia mengangkat tangannya, maka bagian dalam yang berwarna silver itu akan terlihat jelas, juga bordiran yang sangat elegan tentunya.
Ditambah wajah tampan, tanpa polesan apa pun, pipi tembemnya yang merah muda tidak terlihat, feminin namun lebih ke wajah yang sehat dan cerah, bibir merah ceri, dan saat tersenyum, terlihat lesung pipi juga taring kecilnya.
"Sungguh ciptaan Tuhan yang sempurna," batin semua orang.
"Bagaimana dengan para gadis?"
Tentu mereka memerah setelah melihat Raja Muda mereka yang sangat luar biasa ini.
"Yang Mulia, apakah Anda akan bermain bersama kami? Apakah Anda akan menghabiskan waktu bersama kami?"
Tanya para gadis dan pria yang menjadi teman bergaulnya ketika dia bermain di luar kediamannya.
"Untuk saat ini tidak, aku hanya ingin membelikan sesuatu untuk paman dan bibiku di kediaman Si," Yara menjawab mereka dengan gelengan kepala.
Setelahnya, dia melihat ada toko yang menjual aneka buah dan juga camilan.
Membeli jajanan kecil juga buah-buahan, kemudian dia melanjutkan perjalanan menuju kediaman Si.
30 menit kemudian, dia tiba di depan keluarga Si. Setelah gerbong mencapai gerbang, para penjaga yang melihat gerbong dari Istana Raja Muda memberi hormat dan membukakan gerbang mansion agar kereta bisa berjalan masuk.
Setelahnya, Yara pun turun persis setelah kereta terparkir, memasuki mansion kediaman Si. Sang Yara disambut oleh para pelayan dan mereka memberi hormat padanya.
"Salam Yang Mulia Raja Muda, semoga diberi keberkahan dan kesehatan yang berlimpah."
"Ya, terima kasih. Salam kalian aku terima. Lanjutkan tugas kalian."
Tersisa satu orang kepala pelayan keluarga Si.
"Selamat pagi, Paman Di," Sang Yara menyapa dan tersenyum.
"Selamat pagi, Yang Mulia. Mari, hamba mengantar Yang Mulia menemui Nyonya dan Putri Yin!"
"Baik," ucap Sang Yara dan mengikuti Paman Di masuk.
Sesampainya di dalam, sudah ada bibi juga sepupunya, Meiyin, yang sedang berbincang-bincang entah apa yang dibicarakan.
"Yah, author pun tak tahu... Hehehehe."
"Selamat pagi, Bibi Mei," sapanya ketika tiba di depan pintu, lalu berjalan masuk.
"Anak baik, selamat pagi. Apakah Ya'er sudah sarapan? Jika belum, Bibi akan meminta pelayan menyiapkannya untukmu," sembari berjalan dan membuka tangannya, lalu memeluk lembut Sang Yara.
"Tidak, aku sudah sarapan sebelum ke sini," ucap Sang Yara.
Ya, Bibi Mei atau Lan Mingmei adalah istri dari Perdana Menteri Kanan Si Kang, yang adalah anak dari kakak kandung Ibu Suri dari Klan Lan. Ibu Bibi Mei menikahi Tuan Muda Klan Lan dari Kerajaan Angin yang terdaftar sebagai urutan kedua di benua bawah ini.
Namun, karena Bibi Mei belajar di Akademi Bintang Biru, dia bertemu dengan Perdana Menteri Kanan yang dulunya adalah murid yang sama di Akademi Bintang Biru. Setelahnya mereka menikah.
Sebagai istri, Bibi Mei harus mengikuti sang suami dan menetap di Kerajaan Matahari.
"Baiklah, ayo duduk," kata sang Bibi.
"Ya," jawab Sang Yara, lalu berbalik melihat Meiyin dan mengedipkan mata nakalnya.
"Ck. Dasar gadis nakal."
Ya, seperti yang sudah author jelaskan di awal, bahwa hanya keluarga dekatlah yang tahu akan identitas Sang Yara.
"Cih... jika itu wanita lain, sudah pasti terpesona," ucap Sang Yara sambil mendengus pelan.
Dan itu berhasil membuat mereka tertawa.
"Ya'er, apakah kamu akan kembali ke Akademi?" tanya Sang Meiyin.
"Ya, aku akan kembali besok. Apakah Yiyi juga akan kembali bersamaku?" tanya Sang Yara.
"Tentu, aku katakan, jika tanpa mu aku tidak akan kembali, sebab aku di sana juga karenamu," ucap Sang Meiyin ketus.
Sang ibu yang melihat itu pun menjentikkan alisnya pelan.
"Sudah bagus kamu masuk ke Akademi. Jika tidak, apakah kamu mau berkeliaran di sini dan menanti calon suamimu?" tanya sang ibu pada Meiyin dengan mengangkat sebelah alisnya.
Menggelengkan kepala, Meiyin berkata, "Ah, aku tidak... aku tidak mau menikah, Ibunda."
Mendengar jawaban dari sang anak, sang ibu hanya bisa menggelengkan kepala.
"Tidak kakak, tidak adik, sama saja."
Ya, Meiyin memiliki seorang kakak laki-laki yang berusia 20 tahun, bernama Si Shang yang ada di perbatasan. Si Shang adalah seorang Jenderal Muda yang saat ini sedang bertugas menggantikan sang ayah yang dulunya seorang jenderal juga.
"Oh ya, Ya'er, apakah kamu akan pergi ke istana untuk berpamitan?"
"Ya, aku akan, Bibi," jawab Sang Yara.
"Baiklah, jika begitu, kalian berdua pergilah bersama. Sebab kali ini kalian akan membutuhkan waktu lama untuk kembali," ucap sang Bibi pada mereka berdua.
"Ya, Ibunda!"
"Ya, Bibi Mei!" ucap mereka serempak.
Setelah memberikan hadiah yang dibelinya waktu di perjalanan menuju kediaman Si, Sang Yara dan Meiyin pun berpamitan untuk pergi ke Istana Matahari.
Selama di perjalanan, Meiyin menanyakan lagi apa yang telah dialami Yara pada saat di hutan, sebab dia tidak yakin sepupu kecilnya ini baik-baik saja. Dia juga yakin ada sesuatu yang disembunyikannya.
Mengangkat sebelah alisnya, Sang Yara bertanya balik, "Apa?! Bukankah sudah kuceritakan padamu dan Nenek? Aku pikir itu sudah jelas," celetuk Sang Yara.
"Tidak! Itu hanya pengalihan agar Nenek tidak mengkhawatirkanmu," ketus Meiyin karena mendengar jawaban Sang Yara.
"Eemm... kamu memang adalah cacing gelang di perut, paru-paru, dan jantungku," ucap Sang Yara dengan cengengesan.
"Deg...!"
Seketika jantung Meiyin terasa ada sesuatu yang buruk terjadi pada sepupunya ini.
Melihat ekspresi sepupu sekaligus sahabatnya ini, membuat Yara merasa bersalah.
Yara menghela nafas pelan dan melambaikan tangan, membuat array kedap suara agar orang luar tidak mendengar percakapan mereka.
"Ya, walaupun hanya array tingkat 3, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali."
Memegang tangan Sang Meiyin, dia berucap pelan, "Halo, apa kabar Xiao'Yiyi?"
Hening...
"Deg..."
"Deg..."
"Deg..."
"In... ini... panggilan kesayangan Jiejienya, ya, ini persis sama... tapi tidak mungkin kan?"
Ragu sebentar, Meiyin berkata dengan lirih, "Ri'jiejie... apakah itu benar kamu?"
"Ya, ini aku, Xiao'Yi... maaf Ya'er, dia..."
Sang Yeri tidak bisa berucap lagi.
Seketika hening... sampai Yeri lah yang memecahkan keheningan itu, "Ya'er meninggal pada saat mengambil anggrek ungu itu."
"Dan karena kami dari darah yang sama, kami memiliki takdir yang sama, meninggal di waktu yang sama, hanya saja di dimensi yang berbeda."
"Tapi jiwanya meninggal, sementara aku, jiwaku sebagian besar dipelihara dalam segel. Sehingga jiwaku tetap bisa bertahan, namun tidak dengan Ya'er."
"Dan karena jiwaku berasal dari dunia ini, maka jiwaku pun tertarik ke dimensi ini. Itulah sebabnya aku bisa menempati tubuh Ya'er."
Jelas sang yara panjang lebar.
Dapat dibayangkan bagaimana terpukulnya Meiyin, yang sedari kecil telah tumbuh bersama dengan Sang Yara, katakanlah mereka bukan hanya sepupu, namun juga sahabat.
Sedih, sakit hati, kecewa...
. Sedih, karena orang yang paling disayanginya selain sang ibu, pergi selamanya. Sakit hati, sebab Yara dan dirinya telah tumbuh bersama sejak kecil. Semua yang Meiyin dan Yara jalani bisa dibilang melebihi hubungan saudara kandung.
Kecewa, sebab dia tidak bisa melindungi sahabatnya di saat hal buruk terjadi. Dan itu lebih tepatnya karena pada hari sang Yara menghilang, dia pergi bersama sang ibu untuk berkunjung ke rumah kerabat di kota lain. Itu juga merupakan tradisi setelah Tahun Baru, dan dia menolak ajakan Yara hari itu untuk bermain ke kota.
Jika ada orang yang merasa bersalah dan kehilangan saat ini, ya, hanya di
rinya."