Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Bangkit
Sesampainya di rumah, orang tua Anja sudah menyambut dengan wajah panik.
"Kamu darimana saja to nak? Kok ngga ngabarin pergi kemana? Adikmu sampai nungguin di sekolah selama satu jam loh, tapi katanya kamu sudah pulang duluan. Ditelepon juga nggak diangkat!" Omel Ibu saat melihat Anja keluar dari taksi. Barulah saat Anja berjalan tertatih-tatih sambil dipegangi oleh Nathan, ibu terbelalak.
"Kamu kenapa?! Habis kecelakaan dimana?!"
"Nggak Bu," Anja menggeleng. "Tadi aku pergi nemuin Raffi," ucapnya lirih.
"Oalah, ya bilang to kalau mau ketemu pacarmu. Terus, sekarang Raffi dimana? Ini siapa?" Tanya Ibu sambil menunjuk Nathan.
Mendengar pertanyaan Ibu, otomatis air mata Anja merebak. Mengingat kembali kejadian di hotel membuat tangisnya pecah.
"Raffi selingkuh, Bu..." ucapnya sambil memeluk Ibu erat-erat. "Aku lihat dia di hotel sama cewek lain..."
Ibu terdiam sejenak, mencerna kata-kata Anja. Bapak dan Arka juga tampak terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Raffi, yang selama ini mereka anggap pria baik, ternyata menyimpan kebusukan di belakang.
Ibu dengan cepat membelai lembut kepala putrinya, berusaha menenangkan di tengah tangis yang semakin deras.
"Astaghfirullah... Anja, sabar ya, Nak. Semua ini pasti ada hikmahnya..." ucap Ibu dengan suara bergetar, meski hatinya ikut hancur mengetahui anaknya tersakiti.
Ibu lantas menuntun putrinya untuk masuk ke dalam rumah. Bapak dan Arka pun segera menyusul masuk. Sementara itu, Nathan hanya mampu memperhatikan dari depan rumah dengan tatapan iba.
...----------------...
Anja jatuh sakit setelah hari itu.
Selama dua hari, ia hanya terbaring di atas ranjang, menolak makan dan enggan pergi ke dokter. Menurut Anja, penyakit yang ia rasakan bukan sekadar fisik, tapi karena hatinya yang terluka.
Bapak, Ibu dan Arka juga memilih untuk tidak bertanya lebih jauh tentang Raffi, takut jika hal itu akan menambah beban di hati Anja. Mereka tahu Anja butuh waktu untuk pulih, baik secara fisik maupun emosional. Namun, melihat kondisi putri mereka yang terus melemah, Ibu mulai khawatir.
"Anja.. Nak.." Ibu mengetuk pelan pintu kamar Anja. "Ibu masuk, ya?"
Tak ada jawaban dari dalam. Ibu membuka pintu kamar perlahan, dan tampak putrinya itu sedang berbaring dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar.
"Anja..." Ibu merasa hatinya sakit saat melihat kondisi Anja saat ini. Ia pun berjalan mendekati ranjang dan mengelus lembut rambut Anja. "Makan dulu ya Nak?"
Anja menggelengkan kepalanya lemah. "Anja nggak lapar Bu,"
Ibu menghela napas panjang. "Anja, kamu nggak bisa terus begini. Makan sedikit saja, biar ada tenaga. Kamu nggak harus cerita sekarang kalau belum siap, tapi setidaknya jangan sakiti dirimu sendiri dengan cara begini,"
Anja masih menatap kosong ke arah langit-langit, air mata perlahan mengalir di sudut matanya. "Aku nggak sanggup, Bu... Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Rasanya aku sudah tak sanggup melanjutkan hidup,"
Ibu memegang tangan Anja erat-erat. "Jangan bicara begitu Nak. Kamu pasti bisa melewati ini. Raffi mungkin sudah menyakiti hati kamu, tapi jangan biarkan itu menghancurkan hidupmu. Kamu berhak bahagia, dan kamu masih punya kami yang selalu ada di sampingmu."
Anja menoleh, menatap Ibu yang wajahnya tampak sendu. Anja menjadi semakin menyalahkan dirinya sendiri.
Astaga, apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku malah membuat wanita yang melahirkanku menjadi sedih? Anja, kamu memang bodoh. Pantas saja Raffi meninggalkanmu.
"Maafkan aku Bu. Aku malah bikin kalian semua sedih. Aku benar-benar tak berguna. Makanya Raffi meninggalkan aku dan memilih wanita lain. Huhuhu, maafkan aku Bu.." Anja kembali tersedu-sedu.
Ibu langsung memeluk Anja erat-erat, membelai lembut kepala putrinya. "Astaghfirullah, Anja. Apa yang kamu katakan, Nak? Jangan pernah bilang kamu nggak berguna. Kamu anak yang luar biasa, dan kamu nggak salah dalam hal ini. Raffi yang salah, dia yang sudah menyia-nyiakan kamu. Ini bukan karena kamu kurang, tapi karena dia tidak tahu cara menghargai kamu."
Anja menangis lebih keras di pelukan Ibu. "Tapi kenapa, Bu? Aku sudah berusaha jadi yang terbaik... Kenapa semua harus berakhir seperti ini?"
Ibu terus memeluknya, membiarkan Anja menumpahkan semua kesedihannya. "Nak, hidup memang kadang memberi kita ujian yang berat. Tapi ingat, setiap ujian pasti ada akhir yang baik kalau kamu kuat menghadapinya. Kamu nggak sendiri. Kami di sini, mendukungmu."
Tangisan Anja semakin keras hingga terdengar sampai ke luar. Nathan yang sedang berdiri di luar rumah hanya bisa menghela napas panjang. Perlahan, ia meletakkan buket bunga yang ia bawa ke depan pintu rumah.
...----------------...
Anja bangun dari tidur keesokan harinya. Ini adalah hari ketiga sejak ia sakit, dan seperti hari-hari sebelumnya, ia merasa tak memiliki gairah hidup.
Saat matanya berkeliling kamar, ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah buket bunga cantik terletak di atas meja rias. Anja mengernyitkan dahi.
"Bunga? Dari siapa?"
Dengan rasa penasaran, ia merangkak mendekati meja dan mengamati buket itu lebih dekat. Di dalamnya terdapat beberapa ikat bunga mawar merah, dan sebuah kartu tersembul di antaranya.
Anja menarik kartu tersebut dan membacanya dengan hati-hati.
Untuk Bu Anja, semoga cepat sembuh. Kami semua merindukanmu.
Anja bisa merasakan hatinya bergetar. Tanpa sadar, air matanya kembali mengalir. Tapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata terharu.
"Murid-muridku.." Tanpa sadar, senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Terimakasih," gumamnya sambil memeluk buket bunga itu erat-erat.
Anja menghela napas dalam-dalam dan berusaha untuk bangkit dari tempat tidur. Ia tahu, meskipun perasaannya masih penuh luka, ada banyak orang yang mencintainya dan ingin melihatnya bahagia. Ia pun bertekad untuk mulai perlahan-lahan pulih dari semua ini.
Setelah beberapa saat, Anja akhirnya melangkah keluar dari kamar. Begitu ia memasuki ruang makan, ia melihat Bapak, Ibu dan adiknya yang sedang sarapan.
"Pagi semuanya.." Sapa Anja.
Semua orang sontak menoleh ke arah Anja.
"Anja, kamu sudah bangun nak?" Ibu bertanya dengan hati-hati.
"Iya Bu," Anja tersenyum. "Hari ini aku akan berangkat sekolah,"
"Kamu serius?" tanya Ibu lagi.
"Iya, aku nggak enak kalau izin lama-lama,"
"Tapi, kamu kan baru saja sembuh. Apa nggak lebih baik istirahat dulu di rumah?"
"Nggak," Geleng Anja. "Anja bosen kalau tidur terus,"
Ibu menghela napas panjang. Sebenarnya ia ingin melarang, tapi ibu tak ingin menyurutkan semangat putrinya yang baru sembuh.
"Kalau gitu, mau sarapan? Ibu sedang memasak ikan kembung kesukaan kamu. Kamu mau?"
Anja mengangguk pelan. "Mau Bu,"
"Baiklah, tunggu sebentar ya," Ibu tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Akhirnya Anja mau makan juga. Dengan semangat, ia lanjut memasak sarapan.
Bapak segera bangkit dari kursi, menuntun Anja untuk duduk. "Sini, sini, duduk di sini,"
Arka juga ikut bangkit sambil mengambilkan gelas untuk Anja. "Mbak Anja mau minum apa? Air putih atau susu?"
Anja tertawa. Sejak kapan adiknya seperhatian itu padanya?
"Air putih saja deh," jawab Anja kemudian.
"Oke, oke," Arka bergegas mengambil air putih dan menuangkannya ke dalam gelas. Ibu sibuk dengan masakannya, dan bapak dengan penuh perhatian bertanya apakah tempat duduk Anja terasa nyaman.
Anja tersenyum lebar. Hatinya terasa hangat mendapatkan perhatian dari semua orang. Ia menyadari bahwa menyembuhkan luka di hatinya tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ada keluarga dan orang-orang tercinta yang selalu siap mendukungnya.
"Omong-omong, siapa yang ngasih bunga di kamarku, Pak?" Anja bertanya penasaran.
"Bapak juga nggak tau. Waktu bapak pulang kerja, sudah ada di depan pintu rumah. Kalau lihat dari tulisannya sih, sepertinya dari murid-murid kamu di sekolah,"
"Emangnya nggak ada murid-murid sekolahku yang datang ke rumah, Bu?" Anja bertanya lagi, kali ini pada ibunya.
"Nggak tuh. Padahal ibu ada di rumah terus loh, tapi nggak ada yang dateng kok."
Anja mengernyitkan dahi, merasa makin heran. "Kok aneh, ya? Kalau sudah membawa bunga, kenapa nggak mampir sekalian?"
"Mungkin mereka nggak enak mau ganggu kamu," tukas Bapak kemudian. "Kamu kan lagi sakit,"
"Iya juga ya," Anja mengangguk setuju. "Mungkin begitu."
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan