Kaina Syarifah Agatha. Gadis cantik yang cerdas. Mengetahui dirinya dijodohkan dengan pria pujaannya. Sam.
Samhadi Duardja Pratama. Pria yang diidolai Kai, begitu nama panggilan gadis itu. Sejak ia masih berusia sepuluh tahun.
Sayang. Begitu menikah. Berkali-kali gadis itu mendapat penghinaan dari Sam. Tapi, tak membuat gadis itu gentar mengejar cintanya.
Sam mengaku telah menikahi Trisya secara sirri. Walau gadis itu tak percaya sama sekali. Karena Trisya adalah model papan atas. Tidak mungkin memiliki affair dengan laki-laki yang telah beristri.
Kai menangis sejadi-jadinya. Hingga ia terkejut dan mendapati kenyataan, bahwa ia mendapat kesempatan kedua.
Gadis itu kembali pada masa ia baru mengenal Sam selama dua minggu, sebagai pria yang dijodohkan dengannya.
Untuk tidak lagi mengalami hal yang menyakiti dirinya. Gadis itu mulai berubah.
Bagaimana kisahnya? Apakah Kai mampu merubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERUBAHAN
Usai mata kuliah, Kaina sengaja duduk sebentar di kelas. Lima belas menit ia duduk kemudian ia berdiri.
Berjalan melewati koridor kampus. Sampai pelataran parkir Kai cukup terkejut pak Udin sudah menunggunya.
"Non!" panggilnya.
Ting!
Bertepatan ponsel Kai berbunyi. Sebuah notifikasi pesan masuk.
( Seluruh mahasiswa/i semester akhir ada penambahan mata kuliah bagi yang ingin cepat mengajukan skripsi agar mengikuti mata kelas ini)
"Pak, mending Bapak pulang aja deh. Soalnya saya ada kelas tambahan," ujarku pada pak Udin.
"Nggak apa-apa, Non. Saya nunggu aja," ujarnya.
Aku menatap wajah pak Udin. Tidak seperti biasa, pria usia empat puluh tahun itu tidak lagi nyinyir di depanku.
"Aku bisa lama loh, pulangnya. Mungkin empat jam, karena mau kejar skripsi," jelasku.
Pak Udin sepertinya berpikir lama. Akhirnya memilih untuk pulang, karena cukup lama menunggu.
Kai menghela napas. Dia baru ingat lagi jika, dulu, ia tidak mengambil full mata kuliah karena memutuskan untuk menunda skripsi. Kali ini, gadis itu ingin segera menyelesaikan kuliahnya.
Kaina mendapat beasiswa S2 nya salah satunya di Kanada, padahal ia belum juga lulus kuliah. Karena kejeniusan gadis itu, hingga banyak universitas ternama di luar negeri memberinya beasiswa agar berminat untuk menempuh studi di tempat mereka.
Kai sudah merancang semuanya untuk mengelak perjodohan tersebut.
"Semoga semuanya lancar," ujar Kai bermonolog.
Bergegas masuk kelas untuk mengejar delapan semester selanjutnya.
Sampai rumah pak Udin masuk rumah melalui garasi. Pria itu duduk kemudian menyenderkan bahunya di kursi.
Bik Ijah memberinya segelas kopi hitam tanpa gula. Pria itu menyeruput kopinya.
"Bukannya tadi Bapak jemput Non Kai. Mana?" tanya Ijah istrinya.
"Tadi disuruh pulang dulu, kata Non, dia mau ngambil kuliah delapan semester," jawab Udin.
"Pak, sepertinya Non Kai berubah deh," ujar Ijah.
"Berubah?" tanya Udin, "berubah bagaimana?"
"Tadi pagi Non Kai masak sendiri buat bekalnya. Udah itu pas mau bebenah kamarnya. Eh ... udah rapi aja kasurnya," jawab Ijah panjang lebar.
"Hmmm ... kemarin, Bapak bilang lupa jemput Non Kai. Dia nggak marah sama sekali. Padahal Bapak sengaja nggak jemput Nona yang sombong itu," ujar Udin.
"Bahkan tadi pagi, Non Kai tidak minta anter sama sekali. Padahal kalo diminta juga Bapak bakal bilang mobil rusak semua," lanjutnya.
"Eh ... gara-gara itu Bapak malah ditegur oleh Tuan besar."
"Jangan lagi kayak gitu, Pak. Mana ada sih Nona muda yang nggak sombong? Dulu kita pernah kerja malah lebih sombong dari Non Kai, loh," ujar Ijah memperingati.
"Iya Bu. Makanya Bapak merasa bersalah sama Non Kai. Oh ya, nanti jam 15.45. bangunin Bapak ya," pinta Udin pada Ijah.
"Buat apa, Pak?" tanya Ijah.
"Mau jemput, Non Kai," jawab Udin.
"Oh, ya udah. Sekarang Bapak makan dulu gih, sudah Ibu siapin," ujar Ijah menyuruh suaminya makan.
"Iya, Bu. Makasih," ucap Udin kemudian ia berdiri menuju meja makan khusus pembantu di ruangan itu.
Pukul 17.12. Kai sudah keluar kelas. Ia berjalan menuju lobby kampus. Gadis itu cukup terkejut ketika lagi-lagi mendapat Udin sudah berada di depan lobby kampus.
"Sore, Non," sapa Udin.
"Sore, Pak," Kai tidak mempermasalahkan juga mempertanyakan kenapa pak Udin menjemputnya lagi.
Biasanya pria itu sangat enggan untuk berurusan dengannya. Kai menaiki mobil setelah Udin membuka pintu untuknya.
Perlakuan Udin lagi-lagi membuat Kai terkejut. Tapi, gadis itu membiarkannya.
Perlahan mobil merk Maserati berwarna biru metalik itu bergerak membelah jalan ibukota.
Sepanjang perjalanan, Kai hanya diam. Suasana canggung tercipta. Pak Udin sesekali mencuri pandang pada tuannya.
"Non," panggil Udin.
"Hmmm," saut Kai.
"Maafin saya ya, Non," ujarnya tulus.
"Maaf buat apa, Pak?" tanya Kai yang cukup terkejut dengan ungkapan supirnya tersebut.
"Saya minta maaf dengan kelakuan saya yang kurang ajar selama ini. Padahal, Nona adalah majikan saya," jawab Udin merasa bersalah.
"Oh, itu. Oke nggak masalah. Saya juga minta maaf jika selama ini prilaku saya sangat buruk di mata Pak Udin," ucap Kai sambil menatap netra Udin melalui kaca spion tengah.
"Iya, Non."
Perjalanan hening kembali hingga sampai rumah. Ketika turun dari mobil, kebetulan ayah juga baru datang dan turun.
"Assalamualaikum, Yah. Selamat sore," sapa Kai lalu menyalim tangan ayahnya.
Umar tersenyum melihat perubahan drastis putrinya. Selama ini, gadis itu selalu berbuat onar. Siapa sangka Kaina berubah total.
"Assalamualaikum!" baik Umar dan Kai mengucap salam bersamaan ketika masuk rumah.
"Wa'alaikum salam," balas Arin, ibu Kai.
Kai langsung menyalim ibunya. Hal itu membuat wanita setengah baya itu cukup terkejut. Biasanya Kai cuek dan langsung menuju kamar. Bahkan dari pagi tadi Kai sudah berubah sikapnya.
"Kai masuk kamar dulu ya, Bu," ucap Kai.
Hanya deheman pendek keluar dari mulut wanita yang melahirkan Kai. Gadis itu tidak merespon secara berlebihan, malah dengan santai Kai berjalan menuju kamarnya.
Lagi-lagi Arin terkejut. Biasanya Kai akan mengoceh tanpa henti jika gadis itu merasa diabaikan, hingga membuat ia naik darah.
"Yah, Kai kenapa?" tanya Arin pada suaminya.
"Memang kenapa dengan Kai?" tanya Umar berbalik.
Arin menatap netra suaminya. Mencoba mencari sesuatu yang diketahui oleh suaminya itu. Tapi, tidak ada. Umar juga tidak tahu apa-apa.
"Bukankah itu jadi lebih baik, Bu?' Arin hanya mengendikkan bahu.
"Ya sudah. Nanti jika bosan, dia bakal berulah lagi," ucap Arin meremehkan.
Umar menghela napas. Pria itu sedikit tahu mengapa anak gadisnya memberontak. Karena memang dia kurang perhatian.
Malam hari, seperti biasa acara makan malam. Kai sengaja tidak ikut makan malam bersama keluarga dengan alasan mengerjakan skripsinya. Ya, gadis itu langsung bisa menyusun skripsi karena telah menyelesaikan semesternya.
Sebenarnya, Kai sengaja. Karena malam ini Sam datang sambil menggandeng Trisya dengan mesra.
"Assalamualaikum," salam Trisya ketika masuk rumah.
"Wa'alaikum salam," balas Bik Ijah yang membuka pintu.
Dua insan itu masuk sambil bergandengan. Umar melihat itu sangat tidak suka. Karena Sam adalah jodoh untuk Kai, putrinya.
Melihat tatapan tajam dari Umar. Trisya langsung melepas gandengannya. Gadis itu lupa bersikap santun pada Umar, ayah tirinya. Walau ia berat hati tidak terima. Tapi, demi mendapat muka yang baik. Maka segala cara akan ia lakukan.
"Selamat malam, Om, Tante," sapa Sam.
"Malam Sam. Ayo, makan malam bersama. Kebetulan kami baru mulai," ajak Arin pada dua insan yang datang.
Sebenarnya Arin lebih suka jika Sam dijodohkan dengan Trisya. Tapi, perjodohan itu harus dengan anak kandung dari Umar. Jadi, mau tak mau, wanita itu menyetujuinya. Toh, Kaina juga putrinya.
Baik Sam dan Trisya duduk di kursi bersebelahan. Trisya bermaksud untuk mengambil makanan untuk Sam.
"Sam bisa melakukan itu sendiri, kan?" tanya Umar yang menghentikan aksi Trisya.
Sam sedikit gugup. Ia mengambil sendiri makanannya. Padahal ia akan senang hati jika wanita pujaannya itu mengambil makanan untuknya.
Di tengah makan malam, sebenarnya netra Sam sibuk menatap kursi kosong di depannya. Kursi yang biasa Kai tempati.
Kai. Gadis yang dua minggu kemarin selalu menatapnya dengan pemujaan dan cinta. Bahkan menempel selayak cicak pada dirinya.
Sudah dua hari ini, Kai tidak lagi menunjukkan batang hidungnya. Bahkan pertemuan kemarin sepertinya Kai hanya melirik saja.
'Ada apa dengan gadis bodoh itu!' umpat Sam dalam hati kesal.
'Ah, kenapa harus kesal. Justru itu lebih baik jika dia tidak ada kan? Sungguh membuat mataku sakit saja melihat dandanannya,' umpatnya lagi dalam hati.
"Yah, kok Kai tidak ikut makan malam?" tanya Trisya.
'Ah ... gadisku memang perhatian pada saudaranya,' puji Sam dalam hati.
"Iya, dia sedang menyusun skripsinya," jawab Umar.
"Loh kok dia nggak sopan gitu sih?!" ujar Trisya protes.
"Tidak. Tadi dia sudah minta ijin sama Ayah, agar bisa mengerjakan tugasnya fokus," jawaban Umar membuat Trisya bungkam.
"Iya. Tapi, mestinya waktu berkumpul bersama kita itu jangan dilewatkan dong, Yah," bela Arin.
"Sudahlah, toh selama ini dia tidak pernah melewatkan makan malam dengan kita. Bahkan perlakuan kalian juga tidak baik-baik amat ketika dia ada di meja makan," ujar Umar yang membuat semuanya kicep dan tertunduk.
"Ah ... Ayah pusing. Maaf, Sam. Om langsung istirahat ya, jika kau sudah tidak ada keperluan, kau boleh pulang secepatnya," ungkap Umar mengusir secara halus Sam.
"Ah ... iya, Om. Aku juga segera pulang sekarang. Ini sudah terlalu malam," ujar Sam merasa tersindir.
Pria itu menyalim satu persatu calon mertuanya. Kemudian Sam diantar oleh Umar.
"Tidak usah mengantar. Sebaiknya, Om segera istirahat," ujar Sam tidak enak hati ketika Umar berjalan bersamanya menuju mobil.
"Tidak apa-apa. Oh ya, salam untuk kedua orang tuamu, ya," ucap Umar.
"Baik, Om. Assalamualaikum!" salam Sam ketika sudah memasuki mobilnya.
"Wa'alaikum salam," Sam menutup kaca mobil.
Secara perlahan mobil Mercedes classic itu keluar halaman dan meninggalkan komplek.
Ketika di kamar. Arin sedikit protes dengan kelakuan Umar, suaminya malam tadi.
"Kenapa sih Ayah tadi?"
"Tidak ada apa-apa. Tidurlah. Aku ngantuk!" ujar Umar sambil merebahkan tubuhnya ke ranjang.
Perlahan ia mulai memejamkan matanya. Arin mendengkus kesal. Tapi, perlahan ia juga menyusul suaminya ke alam mimpi.
Umar terbangun. Tenggorokannya kering saat itu. Ketika ia hendak mengambil gelas. Gelas itu kosong.
Umar Syahab Agatha, turun dari ranjang menuju dapur. Ketika sampai depan pintu kamar Kai. Perlahan pria itu mendengar sayup-sayup orang mengaji.
Umar tidak yakin dengan pendengarannya. Pria itu mengucek kuping dan sekali lagi mencoba mendengar suara itu.
Benar saja. Suara orang mengaji kembali terdengar. Umar sangat yakin jika itu suara putrinya.
Pria itu tersenyum bangga. Tiba-tiba.
"Tuan ...." Pria itu menoleh.
Sosok gadis berpakaian cukup seksi berjalan perlahan. Umar menyipitkan mata. Mencoba melihat siapa yang berjalan.
Tiba-tiba pintu kamar Kai terbuka. Anak gadisnya menghalangi pandangan Umar pada sosok yang tadi mendekatinya.
"Ayah sedang apa di depan pintu kamar Kai?"
"Oh ... tidak ada. Tadi, Ayah mau ambil air untuk minum. Tapi mendengar ada orang yang mengaji di kamarmu. Apa kau mengaji, Nak?"
"Iya, baru saja selesai sambil menunggu subuh. Ya, sudah Kai ambilkan air untuk Ayah. Ayah kembali lagi saja ke kamar, nanti Kai antar," ujar Kai panjang lebar sambil mengambil gelas dari tangan Umar.
"Baiklah. Terima kasih, Sayang," ujar Umar sambil mencium kening Kai.
"Sama-sama, Yah," ujar Kai tersenyum.
Ketika Kai berbalik. Tini yang tadi ada di sana sudah tidak ada. Kai bernapas lega. Lalu ia berjalan menuruni tangga menuju dapur, masih mengenakan mukena.
Gadis itu mendapati Tini dengan baju tidur menerawang. Kai menggeleng, tidak percaya.
"Lain kali, jangan keluyuran dengan baju seperti itu dalam rumah!" ujar Kai memperingati.
Tini yang terkejut hanya menelan saliva kasar.
"Sekali lagi kudapati kau mencoba mengganggu ketentraman rumah ini. Aku pastikan kau terusir secara tidak hormat dari sini!" ancam Kai dengan tatapan dingin.
Bersambung.