"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bianca, Sang Sekretaris
Lagi-lagi aku terbangun saat dini hari tiba. Sebentar lagi subuh, tetapi aku sudah terjaga lebih awal. Aku bangkit dari kasur, merasakan tubuhku yang diterpa hawa dingin. Jendela kamar tertutup rapat, tetapi angin malam masuk lewat celah kisi-kisi dan membelai gorden.
"Ya ampun, aku ketiduran," gumamku seraya bangkit dan menahan selimut di dada karena tubuhku masih dalam keadaan telanjang.
Aku menoleh ke samping, tak ada siapa pun. Seperti saat malam pertama kami, Niklas langsung pergi setelah kami selesai bercinta. Dia tak mau diam terlalu lama atau sekadar mengajakku berbincang. Hal seperti itu tidak ada dalam daftar keinginannya—kurasa.
Rasanya menyedihkan sekali saat kamu didatangi ketika dia hanya ingin melampiaskan nafsunya saja. Itulah yang aku rasakan. Meski demikian, aku tidak mau terlalu larut dalam rasa aneh ini dan menelan semua kepahitan itu sendirian.
Toh, pernikahanku dengan Niklas memang hanya berlandaskan satu tujuan; rahimku harus segera menjadi tempat tumbuhnya calon bayi Niklas. Hanya itu. Tak ada tujuan lain selain itu. Mungkin setelah aku hamil, Niklas akan menceraikan aku, lebih cepat daripada menunggu si bayi lahir.
Aku mengusap perutku sendiri yang masih sangat rata. "Jika suatu saat jika kamu hadir di sana ...," ujarku seakan-akan sedang mengajak seseorang bicara. "Aku senang bisa mengandung kamu dan menjadi ibumu."
Selama sekian detik aku berbaring kembali. Mataku fokus menatap plafon kamar yang sedikit remang karena hanya ada cahaya lampu hias. Sialnya, ingatanku terantuk pada percintaan dengan Niklas beberapa jam lalu.
Meski aku mati-matian menahan diri untuk tak mendesah, pada akhirnya gempuran Niklas membuatku kalah. Aku menyerah, aku mendesah, dan berkelindan ketika semakin keras menghentakkan tubuhnya. Niklas kala itu menatapku lekat-lekat, membisikkan namaku berkali-kali.
Dia bermain kasar membuatku sedikit merasa tersiksa. Entah mengapa, mungkin hanya perasaanku saja, dia seperti sedang melampiaskan kemarahan. Walaupun akhirnya aku menyebut nama Niklas berkali-kali dalam desahan kami.
"Apa aku sangat-sangat menikmatinya?" Aku bergumam saat lamunanku tentang persetubuhan kami buyar begitu saja.
"Jujur saja, San. Kamu juga masih menginginkan Niklas, 'kan?" Kata-kata Ibu Julia kembali terbayang dalam benakku.
Itu tidak mungkin! Aku menggeleng selama sekian detik. Ibu Julia salah besar. Aku menikmati 'permainan' dengan Niklas semata hanya karena inilah yang harus dilakukan untuk mewujudkan tujuan pernikahan kami.
Merasa tenggorokan agak kering, aku bangkit dari kasur, memakai piyama dan keluar dari kamar. Langkahku tertahan saat melihat pintu kamar Elma terbuka sedikit. Seberkas cahaya mengintip dari celah pintu.
Dengan langkah hati-hati, aku mendekat dan mengintip ke dalam. Niklas terlihat duduk di tepi kasur sambil menatap sebuah bingkai foto. Mungkin fotonya dengan Elma? Entahlah. Karena agak gelap, aku tidak bisa melihat ekspresinya. Namun, aku tahu, dia terbangun pasti karena merindukan Elma. Sampai-sampai membuka kamar yang beberapa hari ke belakang tertutup sangat rapat.
"Kalau kamu sangat mencintainya, lalu kenapa kamu mengkhianati dia, Niklas? Kenapa kamu membawa wanita lain ke rumah ini? Kenapa kamu menerima keinginan Elma untuk menikahiku?" Aku bergumam seraya menjauh menuju lantai utama. Menuju dapur.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pintu kamar Elma masih terbuka. Sementara aku menuang segelas air, Niklas masih di sana. Beberapa detik berikutnya, pintu tertutup. Niklas menuruni anak tangga, tatapan kami bertemu selama sekian detik.
"Kamu belum tidur?" tanyaku. Entahlah, aku tiba-tiba saja ingin menyapa.
"Bukan urusanmu."
Jawaban ketus nan dingin dari Niklas membuatku mendengkus sesaat. Memang Niklas benar, apa urusanku dia belum tidur atau terbangun? Kami hanya berbicara dengan tenang saat sedang berhubungan intim. Di luar itu, Niklas akan kembali dengan sikap dinginnya.
———oOo———
Pagi ini kejadian yang tidak pernah aku bayangkan tiba-tiba terjadi begitu saja. Aku turun dari lantai dua setelah siap-siap untuk segera ke sekolah. Biasanya Bu Hesti akan menyambutku dengan senyum ramah. Namun, pagi ini Bu Hesti terlihat sedikit takut.
Barulah aku sadar alasannya saat melihat seorang wanita asing tengah duduk di ruang tamu. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Tindak-tanduknya seperti dialah yang cocok menjadi nyonya di rumah ini.
Saat melihatku, wanita itu berdiri dan tersenyum lebar. "Selamat pagi, Bu Tsania."
"Kamu siapa?" tanyaku tak mau berbasa-basi.
"Sekretarisku." Bukan wanita itu, tetapi Niklas yang menjawab. Lelaki itu muncul dari arah ruang kerjanya sambil memperbaiki dasi. "Namanya Bianca. Bi, ini Tsania."
Niklas tak mau repot-repot menyebutku sebagai istrinya. Wanita berkemeja biru muda itu mengulurkan tangan terbuka. Aku menjabat tanpa ragu.
Bianca tersenyum lebar lagi. "Senang bertemu Anda Bu Tsania. Saya harap kita akan sering bertemu," tukasnya.
"Panggil Tsania saja."
"Ah, baiklah ... Tsania." Kemudian dia mengabaikan aku yang masih ada di sana. Tanpa ragu berjalan ke arah Niklas. "Seperti biasa, dasinya kurang rapi."
Di depanku, Bianca tanpa ragu membenarkan dasi dan kerah baju kemeja Niklas. Seakan-akan ingin menunjukkan kedekatan mereka. Pria itu pun tak menghindar, justru tersenyum dan berterima kasih pada Bianca.
Aku mengamati Bianca selama sekian detik. Rambutnya yang terikat tinggi membuatku teringat akan kejadian malam itu. Wanita yang bersama Niklas di ujung lorong ruang laundry. Dia kah orangnya?
Tanpa bisa dicegah, aku tertawa pelan karena hal itu. Atensi Niklas dan Bianca kini teralihkan padaku. Menyadari mereka menatap heran, aku berhenti tertawa.
"Ada apa, Tsania? Hm, apa ada yang lucu?" tanya Bianca. Hanya karena aku meminta dipanggil dengan nama saja, dia berbicara seakan kami sudah sangat akrab.
"Iya, agak sedikit lucu." Aku memangkas jarak dengan Bianca. "Lucu melihatmu datang dengan terang-terangan ke sini, tanpa merasa malu sudah bermain kucing-kucingan malam itu. Aku penasaran, bagaimana kamu pulang di jam dini hari itu? Kamu nggak marah karena Niklas nggak mengantarmu dan membiarkan seorang wanita pulang sendirian. Lelaki macam apa itu?"
"Tsania?" Niklas menegurku.
Bianca berdeham selama sekian detik. "A-apa yang kamu bicarakan. Saya hanya baru datang sekali ke rumah ini. Iya kan, Pak Niklas?" Dia meminta dukungan dari pria di sampingnya.
Aku menyunggingkan senyum penuh kepura-puraan. "Sepertinya kamu akan sering berkunjung nanti. Yah, semoga kita bisa akur, ya."
Tak mau menanggapi mereka terlalu lama, aku berjalan keluar dari rumah lebih dahulu. Perasaanku tak tenang oleh amarah. Bukan karena aku cemburu, tetapi masih tak percaya Niklas akan setega itu membawa wanita lain di saat Elma belum lama pergi.
Kukendarai mobil keluar dari halaman rumah. Tanpa mau menengok lagi. Tanpa mau melihat Niklas dan Bianca yang mungkin tersenyum senang karena aku tak marah-marah atas perselingkuhan mereka.
"Elma, lihatlah suami kamu ...." gumamku seolah-olah Elma akan mendengar. "Sekarang aku menyesal sudah membuat kamu menikah dengannya. Dia brengsek."
Kenapa, Niklas? Padahal dulu kamu nggak seperti ini?