Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Canggung
Wongso menginjak pedal gas, mobilnya melaju pergi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah Airin yang berangsur sepi. Tetapi kemarahannya masih membara. Meskipun ia terpaksa mundur untuk saat ini, ia tahu bahwa pertempuran ini belum selesai. Dalam pikirannya, ia merencanakan langkah-langkah berikutnya, tidak peduli seberapa sulit atau licik cara yang akan ia lakukan. Wongso yakin, jika ia berusaha cukup keras, ia masih bisa meraih apa yang ia inginkan.
Setelah semua warga pulang, rumah sederhana itu terasa sepi. Hanya ada Airin, Kaivan, dan Nenek Asih yang kini duduk bersama di ruang tamu yang sederhana. Keheningan itu terasa begitu tebal, membuat Airin tiba-tiba merasa canggung. Ia menundukkan kepala, berpikir tentang keputusan besar yang baru saja ia ambil. "Apa aku sudah gila Bagaimana bisa, hanya dalam waktu kurang dari 24 jam mengenal Kak Ivan, aku langsung menikah dengannya?" gumamnya dalam hati. Meskipun ia tahu itu langkah nekat, entah mengapa hatinya merasa yakin bahwa Kaivan akan menjadi suami yang baik, dan bahkan ayah yang baik bagi anak-anak mereka kelak.
Airin merasa seolah ia sudah mengenal Kaivan sejak lama, padahal kenyataannya, mereka bahkan belum sempat saling berbicara panjang. Ia hanya merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah perasaan yang membuatnya percaya bahwa Kaivan adalah orang yang tepat.
Di sisi lain, Kaivan duduk dengan tenang. Ia tidak menunjukkan gelisah atau kebingungannya, meskipun tak pernah membayangkan bahwa ia akan menikah dengan seorang gadis desa yang belum pernah ia lihat wajahnya dan baru ia kenal tadi pagi. Baginya, pernikahan ini terasa seperti takdir yang datang begitu mendalam, dan ia menerima semua ini tanpa banyak bertanya. Kaivan merasa ada sesuatu yang indah dan tulus dalam keputusan ini, meskipun dunia di luar sana tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatinya.
Kaivan menunjukkan tatapan lembut, meskipun matanya tak dapat melihat, ia bisa merasakan perasaan wanita itu. "Terima kasih, Airin," katanya pelan, suaranya hangat, "Aku mungkin tidak bisa melihat wajahmu, tapi aku merasakan kebaikanmu. Aku janji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik bagi kamu dan keluarga kita."
Airin tertegun mendengarnya. Ia tidak menyangka Kaivan akan berkata seperti itu. Sebuah rasa hangat dan damai mulai menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu bagaimana masa depan mereka akan berjalan, tapi ia merasa bahwa mereka berdua akan melewatinya bersama, apapun yang terjadi.
Airin hanya bisa menjawab dengan suara pelan, “Aku... tidak tahu harus berkata apa.” Ia merasa canggung, bingung dengan situasi yang begitu mendalam namun mendadak ini. Keputusan besar itu datang begitu cepat, dan meskipun ada rasa yakin dalam hatinya, ia tidak bisa menghindari kecanggungan yang kini menghampiri mereka berdua.
Melihat ketegangan di antara mereka, Nenek Asih yang sudah lebih berpengalaman dengan kehidupan, angkat bicara dengan lembut. “Sudah, Airin... kalian sudah menikah. Sekarang, Ivan adalah suamimu, jadi mulai malam ini, Ivan akan tidur di kamarmu,” ujarnya dengan penuh pengertian. "Sudah larut malam, Nenek akan segera beristirahat. Kalian berdua, sebaiknya juga segera beristirahat."
Nenek Asih mengusap bahu Airin sebelum beranjak dan melangkah menuju kamarnya.
Airin berdiri terdiam sesaat, tak tahu harus berbuat apa. Kemudian, dengan sedikit gugup, ia mendekati Kaivan yang masih duduk di kursi. "Kak, kita ke kamar, ya?" tanyanya lembut.
Kaivan menganggukkan kepalanya. Airin mengulurkan tangan untuk membimbing Kaivan ke kamarnya. Dengan lembut, ia mengarahkan Kaivan agar berbaring di kasur yang hanya berukuran 120 cm x 200 cm. Setelah itu, ia pun ikut berbaring di sisi Kaivan, dengan rasa canggung yang menggelayuti perasaannya. Suasana dalam kamar itu seolah terasa hening, hanya terdengar detak jantung mereka yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Kaivan, yang meskipun tidak bisa melihat, bisa merasakan perubahan dalam atmosfer kamar itu. "Kenapa aku jadi merasa canggung kayak gini?" batinnya. Namun ada kedamaian dalam dirinya. Mereka berdua hanya terdiam, mencoba beradaptasi dengan kenyataan baru ini.
Di luar, angin bertiup kencang, mengguncang pepohonan dan membawa suara petir yang menggelegar, disertai kilat yang menyambar langit. Hujan turun dengan deras, mengetuk jendela kamar dengan ritme yang semakin cepat. Di tengah-tengah ketegangan alam itu, suasana dalam kamar terasa sepi dan penuh kedamaian.
"Apa malam ini akan hujan semalaman seperti kemarin malam?" batin Airin. Ia melirik Kaivan yang sudah memejamkan mata. Airin meraih selimut dan dengan hati-hati menyelimuti tubuh Kaivan, menatap pria yang telah menjadi suaminya itu lekat. "Apa yang sedang kupikirkan? Aku baru mengenalnya, belum tahu siapa dia sepenuhnya, tapi kenapa hatiku merasa tenang saat bersamanya? Apakah ini karena keputusanku sudah bulat, atau karena aku melihat sesuatu yang lain dalam dirinya?" gumamnya dalam hati. Ia menghela napas panjang. "Apapun itu, aku percaya dia adalah pria yang baik. Aku harus percaya, pada takdir, pada jalan yang sedang kami lalui bersama," batin Airin meyakinkan dirinya sendiri. Ia kembali membaringkan tubuhnya dan memakai selimut yang sama dengan Kaivan.
Kaivan yang terbaring dengan mata terpejam, menikmati kehangatan yang diberikan Airin. Meskipun ia tidak bisa melihat, ia merasakan perhatian yang tulus dari perempuan yang baru saja menjadi istrinya. "Dia menyelimutiku?" batinnya. Kaivan tersenyum samar, senyum yang tidak bisa dilihat oleh Airin, namun terasa dalam setiap gerakan tubuhnya yang semakin rileks.
"Dia mungkin merasa canggung, seperti aku yang juga merasa asing dengan keadaan ini. Tapi perhatian kecilnya... kehangatan ini, mengingatkanku pada mamaku. Mungkinkah aku akan menemukan rumah dalam diri perempuan ini? Tuhan, jika ini jalan-Mu, aku hanya bisa menerima dan mencoba menjadi suami yang layak baginya," gumam Kaivan dalam hati.
Entah mengapa pria yang tak mudah didekati wanita itu merasakan kehangatan dalam setiap sentuhan dan perhatian Airin. Entah mengapa ia setuju menikah dengan wanita yang baru ia kenal dan belum pernah ia lihat.
Di tengah suara hujan yang menghantam jendela, pikiran mereka berputar dalam kebisuan, seperti dua jiwa yang sama-sama mencari arah di tengah badai. Di bawah cahaya lampu kamar yang redup, mereka berdua merasa ada ikatan baru yang tumbuh. Walaupun semuanya terasa mendadak, dan penuh ketegangan, ada harapan yang diam-diam tumbuh dalam hati mereka.
***
Sementara itu, di sebuah ruangan megah yang dipenuhi rak buku dan perabotan klasik, Alva, seorang pria paruh baya dengan penampilan yang lebih muda dari usianya, duduk di kursi kerjanya dengan postur tegap dan ekspresi tenang yang memancarkan wibawa. Meski begitu, ada kehangatan yang tersirat dalam sorot matanya, terutama saat ia berbicara tentang keluarganya.
Di depannya, Ferdi berdiri dengan postur atletis, tubuh tegapnya mencerminkan masa lalunya sebagai mantan atlet bela diri. Rambutnya yang mulai memutih di beberapa bagian tak mengurangi kesan tangguh pada wajahnya yang dihiasi rahang tegas dan mata tajam. Pakaian Ferdi sederhana namun rapi, memungkinkannya bergerak dengan gesit jika situasi membutuhkan.
"Apa kau sudah menemukan keberadaan putraku?" tanya Alva dengan nada dingin namun terkontrol, menyembunyikan kecemasan yang mendalam di baliknya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso