Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Buka Untukku
Pagi itu, Naura terbaring lemah di tempat tidur apartemen Bimo.
Sejak beberapa hari lalu, tubuhnya terasa panas dingin, dan kepalanya berat.
Mungkin karena terlalu banyak pikiran, atau bisa jadi karena perubahan cuaca yang tak menentu.
Bimo, seperti biasanya, bersikap penuh perhatian.
Ia bangun lebih pagi dari biasanya untuk menyiapkan sarapan dan memastikan Naura mendapatkan cukup istirahat.
“Sayang, kamu sudah minum obat pagi ini?” tanyanya sambil membawakan segelas air putih dan dua tablet obat ke sisi tempat tidur.
Naura mengangguk pelan, tetapi wajahnya tampak pucat.
“Terima kasih, Mas. Aku rasa aku hanya perlu istirahat lebih banyak.”
“Tidak usah terlalu dipikirkan. Kamu harus fokus sembuh dulu,” kata Bimo sambil menyentuh kening Naura untuk mengecek suhu tubuhnya.
Melihat perhatian Bimo, Naura merasa sedikit lega.
Di tengah semua keraguan dan pergolakan hatinya belakangan ini, perhatian Bimo seperti obat yang membuatnya merasa dihargai.
Siang itu, ketika Naura sedang tidur, Bimo kembali ke apartemen dengan membawa sebuah kantong belanja berwarna putih dan logo butik elektronik terkenal.
Ia masuk ke kamar tidur dengan langkah pelan agar tidak membangunkan Naura, tetapi suara pintu berderit membuat gadis itu membuka matanya.
“Kamu sudah bangun?” tanya Bimo sambil tersenyum hangat.
“Iya, aku cuma mau minum air.” Naura mengangguk sambil membenarkan posisinya menjadi setengah duduk.
Bimo duduk di sisi tempat tidur dan meletakkan kantong belanja itu di pangkuannya.
“Aku ada sesuatu untuk kamu.”
Naura menatap kantong itu dengan bingung.
“Apa itu, Mas?” tanyanya ragu-ragu.
Bimo mengeluarkan sebuah kotak putih yang elegan dari dalam kantong.
“Ponsel baru. Aku lihat ponsel kamu sudah mulai lambat. Aku pikir ini bisa jadi hadiah untuk bikin kamu senang.”
“Mas, ini terlalu mahal. Aku tidak butuh ponsel baru.” Naura terkejut setelah melihat merk ponselnya.
“Naura, ini bukan soal butuh atau tidak. Aku cuma ingin melihat kamu bahagia. Jadi, jangan menolak, ya?” Bimo tersenyum simpul setelah memberikannya.
Naura menggigit bibirnya, merasa terharu sekaligus canggung.
Ia tahu Bimo ingin membuatnya merasa nyaman, tetapi perhatian seperti ini justru semakin membuatnya merasa rendah diri. Sakit.
“Terima kasih, Mas,” katanya akhirnya. “Aku nggak tahu harus bilang apa.”
Bukannya tersenyum, tetapi mata Naura malah berembun.
“Bilang saja kalau kamu suka,” jawab Bimo sambil tersenyum.
Malam harinya, ketika Bimo pergi keluar untuk urusan pekerjaan, Naura mencoba mengatur ulang ponsel barunya.
Ia merasa sedikit canggung menggunakan perangkat yang begitu canggih, tetapi ia berusaha belajar.
Sambil duduk di sofa, ia membuka beberapa aplikasi yang sudah diunduh di ponsel itu.
Ketika membuka media sosial, ia iseng mencari akun Bimo.
Ia tahu Bimo jarang aktif di media sosial, tetapi ia penasaran apakah ada sesuatu yang baru di sana.
Mungkinkah semua pasangan menaruh rasa cemburu seperti itu? Ah, entah. Tapi memang itu yang ada di benak Naura.
suatu keingin tahuan yang tak tertahan. Mungkin ia muak mendengar berita buruk tentang Bimo dari orang lain selama ini.
Naura menghabiskan waktu lama. Dan benar saja.
Ketika akhirnya ia menemukan profil Bimo, matanya langsung tertuju pada sebuah unggahan terbaru yang membuat jantungnya berhenti sejenak.
Di sana, ada foto seorang wanita cantik dengan gaun formal. Di keterangan foto, tertulis: “Wanita yang selalu mendukungku. Tunanganku, kebanggaanku.”
Naura tertegun. Ia membaca tulisan itu berulang kali, berharap ia salah mengerti.
Tetapi semakin ia melihatnya, semakin jelas bahwa foto itu bukan sekadar unggahan biasa.
Wanita di foto itu terlihat sempurna, dengan wajah yang anggun dan senyuman yang menawan.
Ia terlihat seperti seseorang yang berasal dari dunia Bimo, dunia yang mewah dan penuh kemewahan.
Naura merasa dadanya sesak. Ia mencoba menyangkal pikirannya sendiri, tetapi rasa sakit itu terlalu nyata untuk diabaikan.
“Mas Bimo... siapa dia?” bisiknya pelan, meskipun ia tahu tidak ada yang mendengarnya.
Rasanya, dadanya sakit sekali. Seperti ditikam belati. Sedih, bercampur luka. Tapi tidak mungkin peristiwa ini ia ceritakan pada keluarganya. Takut membebani? Mungkin.
Ketika Bimo pulang, Naura masih duduk di sofa dengan wajah murung.
Ia tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa diam saja.
“Naura, kamu belum tidur?” tanya Bimo sambil melepas jasnya.
Naura menggeleng pelan. “Mas, aku ingin tanya sesuatu.”
Bimo berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan dahi berkerut.
“Tanya apa, Sayang?”
Naura mengangkat ponsel barunya dan menunjukkan unggahan itu kepada Bimo.
“Ini apa maksudnya, Mas?”
Wajah Bimo langsung berubah. Ia terdiam sejenak, lalu mencoba mengambil ponsel itu dari tangan Naura, tetapi gadis itu menahannya.
“Mas, jawab aku. Siapa wanita ini?”
Bimo menghela napas panjang, lalu duduk di sebelah Naura.
“Naura, itu bukan seperti yang kamu pikirkan.”
“Kalau begitu, jelaskan,” kata Naura dengan suara bergetar.
Bimo mengusap wajahnya dengan frustasi.
“Itu cuma formalitas, Naura. Keluarga aku meminta aku memasang foto itu untuk menjaga nama baik mereka. Dia bukan siapa-siapa, aku janji.”
“Bukan siapa-siapa? Tapi di sini kamu menyebut dia tunangan kamu,” kata Naura, suaranya semakin tinggi.
“Dengar, Naura. Aku melakukan ini hanya untuk menyenangkan keluarga aku. Kamu tahu bagaimana mereka, kan? Mereka tidak akan pernah menerima kamu kalau aku tidak melakukan ini,” jawab Bimo, berusaha meyakinkannya.
Tetapi kata-kata itu justru membuat Naura semakin terluka.
Ia merasa seperti seseorang yang tidak diakui, seseorang yang hanya menjadi bayangan di kehidupan Bimo.
“Jadi, aku ini apa buat kamu, Mas? Kalau keluarga kamu tidak menerima aku, kenapa kamu masih mempertahankan hubungan ini?” tanyanya dengan air mata mengalir di pipinya.
“Naura, jangan bicara seperti itu. Kamu tahu aku mencintai kamu. Aku melakukan ini karena aku ingin kita bisa bersama, meskipun sulit,” kata Bimo sambil menggenggam tangan Naura.
Namun, Naura menarik tangannya.
“Mas, cinta itu bukan tentang menyembunyikan orang yang kamu cintai. Kalau kamu benar-benar mencintai aku, kenapa aku harus merasa seperti ini?”
Bimo tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap Naura dengan mata yang penuh penyesalan.
Malam itu, Naura tidur dengan perasaan hancur. Ia merasa seperti orang bodoh yang terus percaya pada janji-janji Bimo.
Meskipun ia mencintai pria itu, ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dirinya tidak pernah dianggap setara.
Di tengah malam, ia terbangun dengan air mata di matanya.
Ia duduk di tepi tempat tidur dan memandang keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkilauan.
“Bimo, aku mencintaimu,” bisiknya pelan.
“Tapi mungkin cinta ini bukan untukku.”
Naura tahu bahwa ia harus membuat keputusan.
Tetapi keputusan itu tidak pernah mudah, terutama ketika hatinya masih terpaut pada pria yang ia cintai lebih dari segalanya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan