Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
“Dola dola dola, kita salah dola, dola dola dola aduh kita salah dola ....”
Sound sistem horeg itu sedang memainkan lagu Dola, namun dengan volume paling kecil hingga tak membuat jantung bergetar seperti pagi tadi.
Para tamu undangan datang dan pergi silih berganti, baik dari pihak mempelai pria maupun dari pihak mempelai wanita. Suasana resepsi pernikahan itu sangat ramai dan meriah, sampai mengundang banyak tukang dagang dadakan di depan tenda resepsi.
Siapa pun yang melihat pasangan pengantin baru itu pasti akan ikut bahagia memandang sosok raja dan ratu semalam, namun tidak bahagia bagi Kelana.
Sudah hampir 3 jam Kelana duduk di pelaminan bersama Kadara yang sudah sah menjadi istrinya. Pria itu tak bisa mengembangkan senyuman pada Kadara atau pada tamu, bahkan untuk senyum terpaksa pun ia tak mampu.
Kelana sangat tak bahagia dengan pernikahannya, padahal pernikahan dengan Kadara itu sudah ia idam-idamkan sejak lama. Namun semuanya terhapus oleh rasa benci, dendam, jijik, tak percaya, dan berbagi rasa kecewa yang bercampur aduk menjadi rata.
“Mas, kamu kok diem aja dari tadi? Kamu lapar?” tanya Kadara yang rautnya tampak bahagia.
Kelana menggeleng tanpa memandang, bahkan sedari tadi ia buang muka karena malas menatap istri ke duanya.
“Kamu jutek banget sih, Mas?” Kadara meraba lengan Kelana hingga berakhir di jari jemari suaminya, lantas bersandar di pundak Kelana.
Kelana menggeser duduknya ke samping, hingga kepala Kadara hampir jatuh ke samping juga.
“Mas, kamu tega banget, sih!” Wajah Kadara merah padam karena malu diperhatikan banyak orang. Bahkan tamu itu ada yang cekikikan melihat pengantin wanita yang hampir terjengkang ke samping.
Kelana bangkit dari kursi pelaminannya dengan mimik kesal yang tak bisa disembunyikan.
“Mau ke mana kamu, Mas?” Kadara menarik tangan Kelana.
“Lepas.” Kelana mengguncang lengannya sampai lengan Kadara terlepas. “Aku mau ke toilet.”
Jawaban Kelana membuat Kadara bernapas lega, karena ia pikir suaminya itu akan pergi. Kadara pun akhirnya membuka ponsel agar tak suntuk menunggu Kelana kembali.
Namun firasat Kadara memang benar terjadi. Kelana memang tidak ke toilet, melainkan melarikan diri. Pria yang baru menikahi istri ke duanya itu menyelinap lewat samping tenda pernikahan, hingga berhasil keluar.
“Kelana, kamu mau ke mana?” Pertanyaan seorang wanita membuat langkah Kelana terhenti di depan tukang sosis bakar.
“Om Kelana mau ke mana?” tanya suara anak kecil yang menarik-narik kantong celana Kelana di bagian belakang.
Menoleh guna melihat si pemanggil, ternyata di belakangnya sudah ada Harum dan Kiblat yang sedang makan es krim.
“Mbak sama Kiblat ngapain di sini?” tanya Kelana.
“Kamu yang ngapain di sini, Kelana. Mbak lagi nganter Kiblat jajan,” sahut Harum.
“Terus Mas Unggul mana?” Kelana mengedarkan pandangan ke area parkiran, namun mobil kakak iparnya itu sudah tidak ada di tempat.
“Mas Unggul punya pasien darurat, tadi cepet-cepet balik ke klinik.”
“Ya sudah Mbak sama Kiblat masuk lagi saja. Aku ada perlu sebentar.” Kelana hendak pergi, namun jas di bagian punggungnya ditarik oleh Harum.
“Kamu mau kabur?” Harum curiga.
“Aku sudah nggak betah ada di sini. Lebih baik di rumah dengan Bening.”
“Bening istri kamu?” Pertanyaan Harum membuat Kelana mengernyit.
“Mbak sudah tau Bening istriku?”
“Sudah, Mbak sudah tau semuanya. Ikut Mbak sebentar.” Harum menarik lengan Kelana untuk masuk ke dalam mobil Kelana.
Hening.
Kelana menilik Kiblat yang sedang menjilati es krim di kursi belakang, sedangkan Harum sedang memperhatikan adiknya dengan tatapan tajam dari belakang juga.
“Ada apa?” tanya Kelana.
“Jadi kamu sudah nodai putri Bu Ajeng?” tanya Harum, yang sudah tau drama huru hara yang terjadi di rumah ibunya.
“Ibu cerita?”
“Iya, ibu cerita semuanya. Dari mulai kamu gituin Bening di kamar mandi, terus gituin Bening lagi di kamar Bu Ajeng, Bu Ajeng yang mau lapor polisi, sampe ibu nangis mohon-mohon ke Bu Ajeng biar kamu nggak dipenjara. Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran kamu, Kelana? Kenapa adik Mbak jadi liar begini? Mbak kecewa, Mas Unggul aja sampe nggak nyangka kamu begitu.”
"Aku nggak seliar yang kalian pikir. Kalian pasti akan mengerti posisiku kalau percaya dengan ceritaku. Tapi kalian nggak percaya, kan? Kalian lebih percaya fitnahnya Dara.”
“Dara nggak mungkin fitnah sedangkan kamu saja sampe berani berbuat asusila sama Bening. Mbak beneran nggak nyangka. Mbak kecewa sama kamu padahal ibu dan Mbak udah berusaha mendidik kamu biar jadi laki-laki baik, bertanggung jawab, menghormati perempuan, tapi malah banyak melecehkan perempuan?”
“Mbak –“
“Atau jangan-jangan dari dulu kamu sudah nakal begini? Kamu sudah banyak sentuh perempuan di luar pengetahuan kami? Pantas saja Dara bilang kamu sering maksa dia untuk gituan sampai nggak perawan. Ternyata kamu biang keladinya?”
“Mbak Harum –“
“Sekarang majuin mobilnya, kamu harus ikut Mbak ke klinik.”
Kelana menghirup napas dalam-dalam berusaha bersabar. “Mau apa kita ke klinik, Mbak?”
“Ikut saja, kalo nggak, Mbak bakal teriak pengantin prianya mau kabur.”
“Oke, kita ke klinik.”
Di sepanjang perjalanan, bibir Harum terus mengeluarkan kata-kata mutiara untuk menasihati adiknya. Namun Kelana sudah malas meladeni Harum karena akan percuma. Apalagi ia melihat Kiblat yang sedang main ponsel di belakang, ia tak ingin berdebat di depan keponakan tersayang.
DRRTT! DRRTT!
Kelana mendapat telepon dari sang ibu, hingga membuat Harum bungkam.
"Halo?" Kelana mengangkat telepon itu.
[Kelana, kamu di mana? Dara uring-uringan cari kamu yang nggak ada. Kamu mau bikin huru hara lagi?] cecar Agustina.
"Aku pulang."
[Astaga Kelanaaa ... Kamu itu lagi menikah. Kenapa tiba-tiba pulang? Gimana nasib Kadara?]
"Aku nggak peduli sama nasibnya. Bilang saja aku nggak enak badan atau kasih alasan apa pun terserah ibu, aku nggak akan kembali lagi ke sana."
[Kelana --]
KLIK!
Kelana mematikan ponselnya, disambung Harum yang melanjutkan kata-kata mutiara.
SCIIIET!
Kelana mendadak menghentikan mobilnya di depan sebuah kedai mie ayam. Bukan, perut Kelana tidak lapar, ia hanya seperti melihat orang yang dikenal.
“Kenapa berhenti?” tanya Harum yang mendadak bungkam lagi.
“Aku turun dulu, Mbak Harum sama Kiblat tunggu di sini.” Kelana membuka jas pengantinnya hingga tersisa kemeja putih lengan panjang.
“Mau ke man –“
“Oke, om.” Kiblat memotong ucapan Harum. Anak tampan itu masih fokus pada ponselnya.
Selangkah demi selangkah kaki Kelana ayunkan dengan pandangan fokus ke kedai mie ayam. Ia melihat gerombolan siswa siswi SMP yang sedang nongkrong di atas motor yang terparkir di depan kedai mie ayam itu.
“Bening?”
Kelana melihat istri pertamanya sedang cekikikan di depan teman-temannya yang kebanyakan pria, bahkan di kumpulan berseragam putih biru itu hanya ada 2 orang siswi termasuk Bening. Selebihnya 9 orang lagi siswa laki-laki.
“Bener itu Bening.”
Kelana tak perlu susah payah mengidentifikasi sosok istrinya, karena Bening satu-satunya siswi yang paling tinggi di antara semua. Bahkan ke 10 teman Bening itu tampak seperti kurcaci bila bersanding dengan Bening.
“Bening, sedang apa kamu di sini?” tanya Kelana setelah berdiri di hadapan kumpulan bocil itu.
“Loh, om yang ngapain di sini? Om kan hari ini nikah?” sahut Bening.
“Pernikahan saya sudah selesai. Kamu ngapain di sini? Ini masih jam sekolah, jarak dari sini ke sekolah juga lumayan jauh?”
“Kita abis ada pertandingan basket antar sekolah, om. Kita mampir di sini sebentar buat beli mie ayam. Lagian hari ini pulang awal. Aku mau makan siang dulu, om,” sahut Bening.
“Kalau lapar, ikut saya. Saya belikan kamu makanan apa pun yang kamu mau. Ayo –“ Kelana hendak menggenggam lengan Bening, namun langsung dihadang oleh siswa yang wajahnya paling tampan sendiri.
“Om siapanya Bening? Mau bawa Bening ke mana?” tanya siswa dengan plakat nama Sabit Alaskara.
Ini visual Sabit Alaskara
“Kamu yang siapa?” tanya Kelana.
“Bening gebetan saya,” sahut Sabit.
“Gebetan? Coba liat tinggi kalian.” Kelana menyejajarkan Bening dengan Sabit. “Kamu cuma seketiaknya Bening mau sok-sokan jadi gebetan?”
“Jangan sok tinggi kamu, Om!” tantang Sabit.
“Saya memang tinggi, 189. Kamu?”
“156.”
“Ya makanya minggir, kamu itu nggak cocok jadi gebetannya Bening. Mendingan beli susu peninggi badan dulu.”
“Tapi aku masih masa pertumbuhan, Om. Aku masih bisa tinggi lagi.”
“Udah, Sabit, udah. Aku mau ikut omku dulu, ya? Kalian makan mie ayamnya tanpa aku aja,” ujar Bening yang tak mau urusannya menjadi panjang.
‘Omku?’ batin Kelana.
“Yah, nggak seru kalo nggak ada Bening,” cicit mereka.
“Ayo pulang sama om.” Kelana menggenggam tangan Bening hingga membuat mata semua siswa membola.
“Masuk.” Kelana membuka pintu mobil di bagian depan. “Saya nggak suka ngeliat kamu bergaul sama laki-laki. Cari teman itu sesama perempuan. Saya laporin ibu, mau?”
“Om nggak asik.” Bening memberengut, namun memilih masuk ke dalam mobil sekaligus menutup pintu mobil dengan membanting. “Mentang-mentang udah jadi suami jadi ngatur-ngatur gitu. Pake mau ngadu ke ibu segala. Ih, sebel!”
BRET! BROT! PEEES!
Bening menumpahkan kekesalannya dengan membuat gas dalam perut.
“Uh, bau kentut,” ujar Kiblat.
‘Astaga, siapa yang ngomong?’ batin Bening.
Jantungnya berdebar karena ia kentut sembarangan. Gadis berkulit putih itu lantas menengok ke belakang, ia pun terkejut melihat Kiblat yang sedang mencubit hidung, di samping Harum yang sedang menahan napas sampai hidungnya kembang kempis.
“K-kalian siapa?” tanya Bening.
“Astaga –“ Kelana yang hendak masuk ke mobil bagian kemudi pun sampai menarik kepalanya lagi. “Siapa yang kentut? Kiblat?” Kelana memandang keponakannya dari luar jendela.
“Bukan aku, om. Kakak ini yang kentut.” Kiblat menunjuk Bening.
**
**
**
Sampailah ke 4 manusia berbeda usia itu di klinik milik Dokter Unggul. Bahkan Harum sudah membawa mereka semua masuk ke ruangan suaminya, karena Harum dan Dokter Unggul sudah memiliki rencana yang akan mereka lakukan pada Kelana.
Kelana bingung kenapa Harum membawanya ke ruangan bau obat itu. Sedangkan Bening hanya diam seribu bahasa setelah mendapatkan malu karena membuang kentut di depan kakak iparnya.
“Kita mau ngapain ke sini, Mbak? Ini ruangan apa?” tanya Kelana.
Namun saat Kelana melihat name plate holder yang bertuliskan nama I Gusti Agung Produk Unggulan, Kelana baru paham bahwa itu ruangan kakak iparnya.
“Jadi ini ruangannya Mas Unggul? Baru sadar ternyata nama suamimu panjang sekali. Memangnya suamimu nggak sering sakit-sakitan karena keberatan nama?” tanya Kelana.
“Itu nggak penting untuk sekarang, Kelana. Mbak belum kenalan sama adik ipar Mbak.” Harum menjabat tangan Bening, karena sewaktu di rumah ibunya belum sempat bertegur sapa.
“Saya Harum, Mbak kandungnya Kelana. Dan ini Kiblat, keponakannya suami kamu, yang sudah jadi keponakan kamu juga.” Harum memegang pundak Kiblat yang masih khusuk main game online sambil berdiri.
“Salam kenal juga, Tante. Saya Bening,” sahut Bening yang masih malu.
“Panggil Mbak saja, ya. Saya kan sudah jadi Mbak ipar kamu.”
“Iya, Mbak. Maaf, maafkan saya juga soal Ketut tadi. Saya kira di mobil om Kelana nggak ada orang.”
“Iya nggak papa, saya bawa suami kamu ke sini untuk kebaikan kalian juga. Suami kamu harus periksa kesehatannya. Saya takut Kelana menularkan penyakit pada kamu.”
“Penyakit apa? Aku nggak penyakitan,” sahut Kelana.
Namun pertanyaan itu tak Harum jawab saat melihat seseorang yang masuk ke ruangan itu. Ternyata Dokter Unggul dan 2 orang nakes pria lah yang datang menghampiri mereka.
“Sudah siap?” tanya Dokter Unggul dengan sarung tangan medis yang sudah melekat di tangannya.
“Siap apa?” tanya Kelana.
“Apa ini adik Bening, istri pertamanya Kelana?” tanya Dokter Unggul.
“Benar, Dok,” sahut Bening pada pria berpenampilan dokter itu.
“Salam kenal dari saya ya, Adik. Saya Unggul, suaminya Mbak Harum, kakak ipar kamu.”
“Iya, Dok. Salam kenal juga.”
“Saya sudah mendengar banyak cerita kamu dari ibu Agustina, tapi sekarang saya sedang ada perlu dengan Kelana demi kebaikan suami kamu juga. Bisa adik Bening bawa Kiblat ke luar sebentar?” pinta Dokter Unggul sangat sopan.
“Baik, Dok.” Bening pun membawa Kiblat dengan mengangkat tubuh mungil keponakan barunya itu, sampai Kiblat melongo karena tubuhnya diangkat-angkat.
Setelah Bening dan Kiblat ke luar dari ruangan, Dokter Unggul dan Harum beserta ke dua nakes itu pun memandang Kelana secara bersamaan.
“Ini ada apa m? Kenapa perasaanku jadi nggak enak,” ujar Kelana yang mendadak jantungan.
“Kami harus periksa organ pria kamu, Kelana. Ini demi kebaikan kamu dan istri-istri kamu. Kasihan Bening kalau sampai kena jengger ayam juga,” sahut Harum.
Kelana terkejut. “Aku nggak punya jengger ayam. Yang punya jengger ayam itu cuma Dara.”
“Mbak belum bisa tenang kalau belum memastikannya. Mbak takut yang dibilang Dara itu benar sampai kamu ketularan jengger ayam dari Dara, atau kamu yang menularkan jengger ayam untuk Dara. Kamu nggak kasian sama Bening kalau sampai ketularan jengger ayam juga? Apalagi kamu udah sentuh Bening.”
“Mbak Harum –“
“Tolong nurut apa kata Mbak, Kelana. Mbak begini karena sayang sama kamu. Kalau Mbak tau kamu punya bibit penyakit seperti itu, kita bisa langsung kasih tindakan pengobatan biar nggak makin parah.”
“Tapi aku bisa jamin 100 persen kalau burungku sehat. Aku dan Dara nggak pernah berbuat apa-apa, tolong percaya.”
“Kita langsung periksa saja untuk membuktikannya, Kelana. Mas Unggul langsung yang akan periksa, kalau kamu malu sama Mbak Harum,” sahut Dokter Unggul.
“Nggak.”
“Arman, Zaini, tolong lakukan tugas,” titah Dokter Unggul pada ke dua nakesnya.
“Baik Dokter,” sahut mereka.
“Kalian mau apa?” Kelana mulai panik saat ke dua nakes bermasker itu menghampirinya, apalagi mereka langsung menggenggam ke dua tangan Kelana.
“Ini apa-apaan!” seru Kelana.
“Baringkan,” titah Dokter Unggul.
Ke dua nakes itu mematuhi perintah dokter Unggul dengan membaringkan Kelana dia atas ranjang pasien, lantas mengikat lengan dan kaki Kelana menggunakan restrain – sebuah tali pengikat pasien.
“GILA!” Kelana memberontak, namun tangan dan kakinya sudah terikat.
“Saya akan periksa burung kamu, Kelana,” sahut Dokter Unggul.
“Nggak! Aku nggak mau, yang boleh liat burungku cuma istriku!”
“Oke, Harum, tolong panggil adik Bening ke sini biar Kelana nggak malu,” titah Dokter Unggul.
Ini visual Dokter I Gusti Agung Produk Unggulan
ini visual Mbak Harum Bunga Melati
Ini visual I Gusti Agung Arah Kiblat