Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan?
Suatu saat, kita akan menemukan sesuatu yang membuat kita lebih memprioritaskan-nya dari pada diri sendiri.
Dulu Rain egois. Selalu memprioritaskan dirinya sendiri. Melakukan segala sesuatu yang ia sukai. Dan hal itu terjadi semenjak sang mama pergi meninggalkan ia dan keluarga.
Rain pikir ia teramat terluka. Ia tidak sadar bahwa keluarganya juga mengalami hal yang sama.
Rain mencari kesenangan sendiri dengan melakukan apa yang ia suka. Mulai menjadi anak tak pedulian, bar-bar, dan kadang memaksakan kehendaknya.
Namun, perlahan, semakin bertambah dewasa, Rain semakin menyadari semuanya. Prioritas diri itu mulai hilang. Rain sadar bahwa bukan hanya ia yang kehilangan. Bukan hanya Rain yang butuh kasih sayang.
Itu lah yang membuat Rain bertahan dalam kesendirian, karena ia sadar, orang lain punya prioritas masing-masing. Sebab, bukan ia pusatnya.
Sekarang, Rain semakin menyadari itu. Setiap orang akan meninggalkan prioritas diri setelah menemukan sesuatu yang lebih penting. Tidak merasa rugi sama sekali. Rain bahkan merasa senang dan harus melakukannya.
"Ngapain senyum-senyum gitu?"
"Aku senang aja," kata Rain. Ia menopang dagu, menatap Ghio yang sedang makan dengan lahap.
"Senang kenapa? kamu senang setelah menemukan sesuatu di luar?" Ghio berdecih. "Kamu bahkan meninggalkanku seharian. Kamu lupa sama aku setelah menemukan hal yang menyenangkan hatimu itu?" tanya Ghio. Wajahnya kesal, tapi tetap melanjutkan makannya.
Rain terkekeh. Ghio sangat imut ketika ngambek begini. Wajahnya yang tampan tidak cocok dengan raut ini.
Rain tanpa sadar mencubit pipi pria itu. "Ugh... kamu imut banget, sih!" kata Rain dengan gemas.
Mata Ghio membola. Ia memegang pipinya, korban cibutan Rain. Matanya mengerjap sebentar.
"Kamu ngapain?" tanya Ghio. Tubuhnya menegang.
Baru sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan, Rain lantas menyengir kuda. "Hehehe... Kamu imut soalnya. Jadi tangan aku gatal pengen nyubit."
Hawa panas serasa menyelimuti Ghio. Ia tidak tahu dari mana hawa itu muncul. Namun yang pasti, Ghio merasa panas itu menusuk kulitnya. Bahkan telinganya seperti terbakar.
"Prfft..." Rain menahan tawanya saat melihat telinga Ghio berubah merah. Apakah pria itu malu?
"Kenapa kamu ketawa gitu?" tanya Ghio.
Mulut Rain terkatup. Lalu ia menggeleng sambil tersenyum manis. "Gak. Kamu lucu aja." katanya jujur.
Telinga Ghio semakin memerah. Bahkan sekarang sudah menyebar ke pipinya.
"Berhenti bicara seperti itu!" kesal Ghio.
"Kenapa? Aku kan bicara jujur. kamu itu imut, ganteng lagi." kata Rain. Ia mengeluarkan senyum menggoda. Alisnya naik turun.
Ghio menegang. Jantungnya seolah berdetak cepat. Hawa panas itu semakin penuh menyelimuti. Ghio tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Ia kesulitan mengontrol tubuhnya. Ghio ingin hilang dari sini, tapi tidak bisa. Seolah ada magnet yang menjebaknya tetap disini.
"Rain." suara Ghio terasa berat.
Rain mengangkat alisnya. Ia sedikit heran dengan Ghio. Ada yang aneh dengan pria itu.
"Jangan menatap ku seperti itu," kata Rain sambil mencubit kedua pipi Ghio.
Ghio mengerjap. Apa lagi ini?
"Ayo berbelanja denganku. kebetulan ini masih sore." kata Rain.
Entah kemana hilangnya hawa panas itu. Langsung hilang sekejab setelah Rain mengatakan berbelanja. Bahkan tubuh Ghio terasa lebih rileks.
"Aku mau berbelanja baju. Jaket ini sudah buluk." kata Ghio dengan semangat.
"Oke." Rain mengangkat jempolnya. Tapi, detik kemudian ia memiringkan kepala. "Gimana cara kamu ganti pakaian?"
Ghio menyentil dahi Rain. "Kamu lupa atau gimana? Selagi kamu memberi dengan iklas, maka apa pun itu bisa ku pakai."
Rain meringis sebentar, lalu tersenyum. "Benar. Aku lupa. Baiklah, ayo berangkat sekarang!" kata Rain sambil berdiri.
Rain berjalan ke kamar hendak mengganti pakaian. Saat ia sudah mengunci pintu dan berbalik, ia terkejut.
"Ngapain kamu di sini?" omel Rain.
"Kenapa memangnya?"
Mata Rain melotot tajam. "Aku mau ganti baju, Ghio."
Ghio menggaruk kepalanya sambil menyengir kuda. "Maaf. Aku akan keluar."
"Cepat sana!" kesal Rain.
"Iya."
"Ngapain masih diam? Pergi sana!"
Ghio diam sebentar seolah sedang berpikir. "Kamu gak mandi?"
Mata Rain menyipit. "Kenapa kamu nanyain itu? Kamu mau mandi juga?"
Ghio mengangguk sambil tersenyum polos. "Sepertinya aku sudah lama tak mandi." Lalu ia mencium bau tubuhnya sendiri. "Tapi aku tidak kotor sama sekali. Bahkan aku juga wangi." kata Ghio.
"Kalau gitu, kamu gak usah mandi." kata Rain.
"Tapi aku ingin mencoba."
Bibir Rain mengerut. "Kenapa kamu ingin mandi kalau tidak kotor? Kami mandi karena kami kotor dan bau." kata Rain.
"Tapi aku ingin mencobanya. Setiap kali kamu selesai mandi, kamu terlihat lebih segar gitu. Apakah mandi seenak itu?" kata Ghio polos.
"Ya sudah, mandi aja sana." kata Rain.
Ghio mengerjap. "Bagimana caranya? Tolong ajari aku."
Mata Rain melotot. "Hah?"
"Bagaimana caranya?" tanya Ghio lagi. Sangat polos. Saking polosnya, Rain ingin sekali memukul wajah tampan itu.
Rain memejamkan matanya sebentar. Apa yang diketahui hantu ini? Mandi saja tidak tahu.
"Buka baju, siram, sabun, siram, pakai baju. Udah." kata Rain singkat. Rain pun sedikit malu mengatakannya. Bagaimana ia bisa mengajari Ghio? Ada-ada saja.
"Bagaimana maksudnya?" tanya Ghio kebingungan.
Rain menghela napas. "Kamu gak perlu mandi."
"Tapi, aku ingin mencobanya."
Rain kembali memejamkan mata. "Aku gak tahu cara menjelaskan detailnya bagaimana, Ghio." kata Rain dengan penuh sabar.
Ghio diam sambil berpikir. Tak lama kemudian ia tersenyum seolah menemukan ide. "Kalau begitu, tunjukkan kepadaku bagaimana caranya. Kau tinggal mengajariku."
Mata Rain melotot, entah sudah keberapa kalinya. "Ghio? Kamu bercanda, kan?"
"Tidak." kata Ghio polos.
Rain berkacak pinggang. "Bagaimana aku mengajarinya? Aku gadis dan kamu pria." Rain hampir menangis. Wajahnya memelas. "Jangan bodoh, Ghio. Maksudmu aku harus mandi dan mengajarimu cara-caranya?" mata Rain menusuk tajam.
Ghio mengerjap sebentar. Tak lama kemudian, ia seolah terkejut. Ia paham maksud Rain.
"Ah... Bukan begitu maksudku." kata Ghio terbata-bata.
"Lalu bagaimana?" Rain dalam mode marah.
"Aku tidak kepikiran sampai ke sana. Maaf, Rain." kata Ghio dengan wajah memelas.
Rain memutar bola mata. Ia menghela napas.
"Ghio. Mandi itu tidak enak. Mandi itu seperti... Seperti masuk ke dalam es. Ya, masuk ke dalam es. Dingin dan rasanya seperti membeku," alibi Rain.
"Serius?"
Rain mengangguk cepat. "Itu makanya, aku gak suka mandi. Lagi pula, untuk apa mandi kalau tetap bersih dan wangi?"
Ghio diam mencerna semua ucapan Rain. Ia tidak tahu kalau ia sedang dibodohi.
"Baiklah, aku tidak jadi mencobanya," kata Ghio.
Rain tersenyum senang. "Bagus. Kalau begitu, kamu keluar dulu, karena aku mau ganti baju."
Ghio mengangguk, lalu dengan satu jentikan ia langsung menghilang.
Rain menghela napas lega.
"Gila si Ghio. Makin ke sini, makin aneh aja pikirannya," gumam Rain sambil geleng-geleng kepala. Lantas, ia segera membuka lemari, memilih baju, dan mengganti pakaiannya.
Setelah itu, Rain keluar dengan tampilan rapi.
"Bagaimana penampilanku?" tanya Rain.
Ghio menatap Rain. "Kamu berpakaian seperti pria. Pakailah pakaian wanita sekali-sekali."
Rain menggerutu kesal. Sejak kapan Ghio setahu itu dengan penampilan? Lantas ia kembali masuk kamar, dan keluar dengan pakaian berbeda. Kali ini ia memang mengenakan pakaian wanita, hanya saja tetap menggunakan celana.
"Sudah lebih baik." kata Ghio sambil mengangkat jempol. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu selalu pakai celana?" tanya Ghio.
"Pakai celana itu lebih mudah, Ghio. Tidak ribet, leluasa bergerak, dan yang terpenting, aku bisa membawa motor." jelas Rain sambil berjalan keluar.
Ghio mengikuti Rain. Ia membantu Rain mengeluarkan motor.
"Ayo naik." kata Rain.
Bukan pertama kali ini Ghio dibonceng oleh Rain. Bahkan sudah berkali-kali. Sebenarnya, bisa saja Ghio yang membawa motor. Tapi, orang yang melihatnya bisa saja langsung pingsan di tempat.
Perjalanan mereka menyita waktu beberapa menit. Rain membawa motornya ke parkiran, dan memarkirkan motornya. Ia segera menarik Ghio masuk ke dalam mall.
Pertama, Rain masuk ke stand pakaian pria. Rain memilih beberapa pakaian. Sesekali ia terlihat mengangkat pakaian itu dan mencocokkannya dengan tubuh Ghio.
"Cocok. Kamu mau?"
Ghio mengangguk senang.
Rain tidak sadar kalau ia diperhatikan beberapa orang.
"Gadis itu gila."
Mendengar itu, Rain seolah tidak peduli. Mereka yang gila, mengatai susuatu yang tidak benar. Berbeda dengan Ghio yang sudah menatap tajam ke arah wanita yang mengatai Rain.
"Aku akan membayar." kata Rain setelah memilih beberapa pakaian.
"Aku tunggu di sini," kata Ghio.
Rain mengerutkan dahinya. Tumben pria itu tidak mengekor. Mengedikkan bahu, lantas Rain segera meninggalkan Ghio.
Sementara Rain pergi, Ghio kini menatap wanita tadi.
"Beraninya mengatai Rain." kata Ghio. Ia tersenyum jahil. Tangannya bergerak mengambil satu-persatu belanjaan wanita itu, dan menaruhnya di tempat yang berbeda.
"Rasakan." Ghio menyeringai senang. Ia yakin, wanita itu akan keheranan karena belanjaannya hilang semua. Lalu Ghio kembali ke tempat semula.
"Kamu dari mana?" tanya Rain.
"Ada urusan sebentar. Sekarang, kita kemana?" kata Ghio.
Rain tampak berpikir. "Belanja sudah selesai. Kita pulang aja."
Ghio mendesah. "Di rumah sangat membosankan. Setiap hari, aku hanya bisa berdiam diri di rooftop."
Rain terdiam. Ghio hanya diam di rooftop? Setiap hari? Dia pasti kesepian. Ghio mungkin sudah rindu pemandangan luar. Ia tidak ingat masa lalunya sama sekali. Hidupnya semenyedihkan itu.
"Okey. Ayo jalan-jalan." kata Rain. Senyumnya mengembang. "Aku akan membawamu ke tempat yang indah."
Mata Ghio berbinar. "Tempat indah?"
"Hm. Ayo!"
Ghio dengan semangat langsung menggandeng tangan Rain.
Rain membawa Ghio ke suatu tempat. Jauh dari keramaian, tapi tempatnya sangat indah. Bendungan yang berusia berabad-abad. Airnya memantulkan cahaya matahari sore.
Jingga yang indah. Bibir Ghio melengkung ke atas. Matanya tidak lepas dari pemandangan di depannya.
"Wow! Keren banget. Kamu suka ke sini?" tanya Ghio.
Rain mengedikkan bahu. "Gak sering. Mungkin hanya dua kali tiga kali."
Ghio menatap Rain. "Tempat seindah ini? Kalau aku jadi kamu, mungkin aku gak akan pernah absen ke sini."
Rain terkekeh pelan. Ghio baru saja menemukan hal baru. Ia pasti berpikir seperti itu. Bagi Rain, ini hal biasa. lagi pula, ia tidak selalu punya waktu untuk sekedar mampir disini.
Rain naik ke pagar bendungan.
Melihat itu, Ghio langsung memeluk pinggang Rain. "Kamu ngapain, Rain?" katanya dengan wajah panik. Raut khawatir terpancar di wajahnya.
Rain mengerjap. "Mau duduk." beo Rain.
Ghio kicep seketika. Ia pikir, Rain mau melakukan sesuatu yang membahayakan.
"Kamu gak takut jatuh?" tanya Ghio. Tangannya belum melepaskan pinggang Rain.
Rain menggeleng polos. "Enggak." Lalu Rain menatap pinggangnya yang masih di peluk Ghio.
Dalam sekejap, Ghio langsung melepaskan tangannya. "Aku pikir, kamu mau melompat."
Mata Rain berkedip sebentar. Tak lama kemudian, ia memutar mata dan beralih duduk di pagar beton itu.
"Pikiranmu terlalu berlebihan." Rain menatap Ghio yang masih berdiri. "Gak mau duduk?"
Ghio diam sebentar. Lalu detik berikutnya, ia sudah stay manis di samping Rain. Dia punya kemampuan. Sekejap mata saja, ia bisa berpindah tempat.
Mereka berdua tidak mengeluarkan suara. Hanya hembusan angin dan suara beriak air yang menjadi pengisi suasana tenang.
Rain membuka suara. "Air beriak tanda tak dalam. Kamu tahu peribahasa itu, Ghio?"
Ghio menoleh ke arah Rain. "Tahu. Kenapa?"
"Coba dengar suara airnya." kata Rain.
"Tenang."
"Peribahasa itu gak mencerminkan keadaan air ini." kata Rain.
Ghio memperhatikan air. "Tentu saja. Angin sekuat ini," katanya.
Rain tertawa. "Aku pikir kamu gak tahu."
Ghio menatap datar. "Aku gak sebodoh itu," katanya kesal.
Keduanya kembali terdiam, menikmati suasana damai.
Matahari mulai masuk ke peraduannya. Burung-burung beterbangan hendak kembali ke sarangnya. Hembusan angin semakin kuat, membawa dingin air ke tubuh Rain.
Rain memeluk tubuhnya karena dingin.
Ghio yang melihat itu segera melepaskan hoodie nya. "Pakai ini."
Rain menatap hoodie itu. "Emangnya kamu gak kedinginan?"
Ghio menggeleng.
Rain mengangguk saja. Lantas menerima hoodie itu dan mengenakannya. Bau Ghio langsung menusuk hidungnya. Rain tidak tahu bau apa itu, tapi harum dan segar. Rain suka.
"Makasih."
Ghio mengangguk. Ia memperhatikan Rain dari samping. Senyum kecil tiba-tiba muncul di bibirnya.
"Kita seperti sedang kencan," kata Ghio tiba-tiba.
Rain menoleh cepat ke arah Ghio. "Kencan?" beonya.
"Ya, kencan. Orang yang berjalan berdua seperti kita ini dinamakan kencan, kan?"
Rain berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Kamu tahu dari mana?"
"Dari orang. Mereka bilang seperti itu kencan."
Rain diam. Apakah ini dinamakan kencan? Ia dan Ghio sedang kencan? Telinga Rain terasa panas tiba-tiba.
"Kamu gak pernah?" tanya Ghio.
"Pernah apa?"
"Kencan."
Rain menggeleng cepat. "Kayaknya, enggak, deh."
Ghio seolah terkejut. "Tidak pernah? Menyedihkan sekali."
Rain menatap tidak terima. "Memangnya kamu pernah?"
Ghio membuka mulut hendak bicara, tapi tidak keluar suara sama sekali. Ia kembali menutup mulutnya.
"Ngatain orang, kamu aja gak pernah," ejek Rain.
"Aku lupa. Mungkin saja sudah pernah." alibinya.
Rain memutar bola matanya.
Melihat itu Ghio terkekeh. "Lagi pula, sekarang kita kencan, kan?"
Jantung Rain berdetak cepat. Mungkin ini bisa dinamakan kencan.
Kencan pertama selama Rain lahir ke dunia.