"Assalamualaikum, ini pak Ahmad. Bapak, anak anda sedang tidak baik-baik saja. Bila anda mau bertemu langsung, dengan anak anda... Serahkan kepada saya 1M secepatnya, jangan banyak alasan. Ketemu di depan gedung Serbaguna"
"Apa! Apa maksud mu! Siapa kau!! "
....
Ahmad Friko, pengusaha sukses setelah ia mengadopsi anak panti asuhan, yang diberi nama Rara, pak Ahmad bekerja dengan serius sampai terkadang lupa dengan kewajibannya untuk mengurus anak. Hingga saat ia bangkrut, ia mendapat pesan dari seseorang bahwa anaknya sedang di sekap, ditawan dan dimintai uang satu milliar, yang jumlahnya tak biasa. Apa yang akan dilakukan Ahmad setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bu Alisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab lima-Putriku, ditawan preman 1M
Terimakasih banget banyak-banyak, yang udah dukung dan support aku selalu, bahkan on time. So... Maaf kalau ada yang ga se ekspetasi kalian atau apa... But, I didn't have much idea, I think... Aku bisa... Dan terus berusaha. Semangat author, wkwkwk nyemangati diri sendiri, udah gila... ♡´・ᴗ・`♡
Selamat membaca
Bab lima!
"Siapa! "
"Siapa yang masuk! "
"Tadi siang? Ayah ga minta bantuan apa-apa sama kamu Ra! "
"Jawab!! " seru Ahmad berteriak pada putrinya, Rara mengangguk kecil mulai memberi jawaban yang sedikit membuat hati Ahmad meronta, karena hanya itu jawaban putrinya. "Tadi ada temen ayah yang minta Rara buat nemenin. . Katanya, ayah yang minta temen ayah buat ke rumah ngambil sesuatu, ke... Kamar ayah... Rara sudah gak tahu apa-apa lagi... Yah.. "
"Serius kau? "
"Teman siapa!!! "
"Ayah gak minta ya tadi, gak ada! "
"Kenapa kamu bisa bawa orang asing masuk ke dalam?!!! " geger Ahmad lagi, mengguncang-guncang pikiran dan tubuh Rara bersamaan. Dibuatnya terguncang oleh isi pikiran, dan amarah Ahmad yang mengebu-ngebu. "Ck, bangsat! Gara-gara elo! "
"Gara-gara lo laptop ayah hilang! "
"Siapa dia? Apa kau kenal Ra! "
"Gak ayah... Rara gak kenal, paman itu pakai masker... Rara gak tahu, hiks... Cukup yah, lepasin Rara... Kaki Rara sakit.. "
Ahmad berdecak kesal, segera mengangkat kaki anak itu sampai terangkat ke atas. "Halah cuma luka kecil, nangis kau gini doang? Sengsara mana sama ayah mu ini yang kehilangan laptop?! Tahu gak kalau didalamnya banyak pekerjaan penting ayah!! "
"Kenapa kamu sebodoh itu Ra!! "
"Kenapa Njing!?! "
"Masa... Masa gak tahu, gimana perasaan ayahmu ini? "
"Tahu gak?? "
"Setiap aku di kantor, aku selalu diejek karyawanku sendiri, karena proposal yang ku miliki tak tepat, bahkan tak sesuai dengan keinginan kementrian! "
"Itupun karena aku tak memasukan bahan alkohol, hanya pork saja. "
"Tapi bangsat, pria itu, pria ini, dan anak ini sama saja. "
"Kalian sekeluarga hah?! "
Rara merangkul kepalanya kembali, dan meminta ampun sebesar-besarnya. "Maaf yah... Maaf Rara gak tahu sama sekali, kalau itu bukan temen ayah... "
"Maafin Rara... Rara janji gak bakal ulangi lagi... Hiks... Hiks-"
"Serius? "
Rara mengangguk, merasa ayahnya akan memaafkan dirinya. Pria itu mengangguk, mengambil sepuntung rokok di saku celananya dan ia nyalakan dengan korek di tangan satunya, pria itu menghembuskan nafas nya ke atas setelah bersemu dengan nikmatnya nikotin.
"Sialan... Anak beban, "
"Setelah ini apa yang harus ku lakukan padamu? Nasi sudah jadi bubur Ra, tahu paribasan itu? Yang mengatakan semua akan sia-sia, karena satu hal kesalahan yang tak pernah dilakukan menjadi imbas kepada kita, "
"Kau juga membiarkan orang itu pergi, memang aku siapa harus mencari pelaku pencurian laptop ku. "
"Bangsat, kalau ku laporkan ke polisi masalah ini tambah runyam. "
Tarik Ahmad pada ujung rokok, dengan bersenggama pada rambut anaknya yang dia tarik ke atas. "Kalau gak banyak ulah, ini semua gak bakal terjadi. "
"Karena elo, Ra. "
"Hidup gue semakin sial aja bawaannya ya karena elu "
"Udah ku kasih makan, kasih minum, kasih boneka, kasih rumah... "
"Salah ayahmu ini apa nak? "
"Kenapa? "
"Kenapa jadi anak gak bisa di ajak kerja sama gini? "
"Bodoh, atau gimana? "
"Hiks... Hiks... Ayah... Maaf... "
Lirih Rara tersedu-sedu, tangis dan umbel nya ikut bercampur menjadi satu. Wajah masamnya tambah buruk rupa karena perlakuan kasar pria itu padanya, Rara hanya lah anak kecil, dirinya juga tak tau kalau itu bukan teman ayahnya, ia hanya merasa perlu diberi kasih sayang saja karena setiap hari ditinggal ayah angkat ini pulang malam, berangkat pagi buta. Bagaimana bisa Rara tahu ia tak memperbolehkan orang asing masuk, bila saja selama ini pria itu tak pernah mengajaknya berbicara atau bercanda gurau.
Rara menepis tangisnya, "Maaf... Maaf... "
"Hm,"
"Ikuti aku"
"Ayah... Tidak jangan... Rara gak mau... Plis... "
Ahmad mengesap rokoknya lagi, dan ia buang asapnya ke depan. Mata pria itu jenuh, seakan gurat-gurat di kelopak matanya menunjukan semua kekesalannya selama ini. Ahmad terus menarik tangan anaknya, tak peduli bagaimana pergelangan Rara sudah tercetak merah seperti terpanggang, keringat ayahnya bercampur satu dengan keringat anak itu. Rara menggeleng kencang, kedua kakinya mencoba menahan lantai agar tak bisa ditarik.
Sayangnya itu sia-sia saja, Ahmad semakin menariknya kencang hampir membuat Rara terpontal jatuh. Anak itu tak bisa mengeluarkan kata lagi, karena dirinya merasa apapun yang ia ucapkan rasanya akan berbicara pada seonggok batu besar yang bisa kapan saja menghantam wajahnya.
Rara meninggalkan boneka pororo, sahabat kesayangannya disana. Pororo tak mengikutinya karena hanyalah boneka mati, tak seperti yang Rara bayangkan, Pororo seakan terus mengikutinya kemanapun walau dirinya mungkin tak ada harapan hidup lagi setelah ini.
Ahmad berhenti di depan kamar, pria itu akan beranjak ke ruang pemeriksa CCTV yang ada di dapur, saat menoleh kebelakang, Rara sudah gemetar sendiri, memeluk diri dan melihat ke kanan-ke kiri. "Shsst... "
"Diam... Jangan sampai terdengar tetangga. Mengerti? " bisik Ahmad pada anak itu. Yang tak dijawab sama sekali olehnya, mengikuti kemanapun pria itu pergi, akan Rara turuti walau sekarang kakinya serasa menginjak jebakan duri.
Rara dilepaskan, akhirnya setelah mereka berdua turun dari tangga, keduanya berhenti di depan dapur dengan pintu depan terpampang lebar, jembar. "Shsst... Diam kau! " ancam Ahmad melotot, sampai menunjuk-nunjuk. Rara mengangguk kecil, merasa harus ada orang yang mengerti keadaannya sekarang. Rara yang hanya memakai gaun tipis saat itu ikut merasakan malam dingin menusuk, bersama cambuk sabuk dari ayahnya yang membekas merah di paha kirinya.
Rara menurunkan volume suaranya, dia terus menangis tetapi suaranya senyap. Ahmad menatap kesana-kemari, membuka kulkas dapur, lalu menutupnya kembali. Pria itu rupanya mengambil botol cola di dalam sana untuk ia teguk, pria itu menyalakan TV dengan remot, meneguk minuman cokelat bersoda itu seakan tanpa ada rasa was-was. Pria itu menekan tombol merah, melihat dengan teliti siapa orang yang masuk ke dalam rumahnya saat siang tadi.
Jam 12 siang, tak ada siapapun. Dan baru saat jam 2 siang anaknya baru pulang, Ahmad meneguk ludah kecil puas minum, ia lempar botol itu ke belakang, kalau Rara tak mundur dirinya bisa kena cipratan cola sisa ayahnya minum. Rara berjongkok menyembunyikan kepala ketakutan, Ahmad terus fokus dengan penglihatannya itu, setiap inci ruangan ia lihat, termasuk di dalam kamarnya sendiri.
"Ini dia. "
"Click-"
Jari Ahmad berhenti pada pause yang artinya untuk menghentikan rekaman CCTV sebentar, pria itu menatap dengan pandangan menyipit, "Siapa orang ini... " ucapnya sedikit bingung, juga sedikit takut bila tak menemukan siapa pelakunya. Dirinya melihat Rara yang sedang menuntun seseorang dengan masker di wajahnya ke depan kamarnya pas, saat itu Ahmad tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, menanyakan pada anaknya pun pasti hanya maaf-maaf saja yang dia ucapkan.
Ahmad menggosok leher gerah, ia memainkan televisi didepannya beberapa kali demi menemukan sesuatu, saat rekaman berganti ke dalam kamarnya, kini badan Ahmad sedikit menunduk. "Ck, apa saja yang dia curi dari ruang kerjaku. " serunya, menatap layar sambil ia pegang.
Pria di dalam rekaman seolah menoleh kesana-kemati, was-was akan sesuatu, pria itu mulai memakaikan sarung tangan hitam di tangannya, dan sedikit membuka lubang hidungnya yang tertutup masker. Ahmad memincing, saat pria itu mulai membuka almari pakaiannya, rekaman CCTV tak hanya mengarah ke satu sisi, tapi berbagai sisi yang bisa dilihat Ahmad kapanpun ia mau.
Pria itu menutup mulutnya, saat melihat ke dalam laci. Lalu mengeluarkan kantung kresek hitam dari dalam saku jaket kulit hitamnya. "Ck! Bangsat! "
"Dia tahu barang itu! " ucapnya menggedor televisi, tapi bukan saatnya untuk menghancurkan televisi ini, ia masih membutuhkannya. Lalu Ahmad melihat pria itu berjalan ke arah meja kerjanya, dan saat itulah pria itu beraksi mencuri barang paling Ahmad butuhkan setiap saat, dan barang yang tak boleh dilihat orang lain. Yaitu laptop, pencuri ini pasti bukan pencuri biasa. Bila tak begitu, kenapa harus menuju ke almari dulu? Ahmad tak kehilangan perhiasan dan emas nya, ia malah kehilangan benda itu. Tapi saat di meja kerja, Ahmad melihat pria itu tak membuka apapun di meja kerja nya dan hanya memporak-poranda apapun yang ada disana hingga bisa di anggap semua orang kalau rumahnya habis ada perampokan.
Kini menjadi bukti, Ahmad menatap tajam layar televisi itu dan gemericik sendiri. "Sial.. Sial... Siapa dia... Siapa dia! "
Serunya keras sampai menabrakkan wajah sendiri ke layar, Rara segera berdiri tak kuasa melihat ayahnya malah melukai dirinya sendiri. "Ayah... Jangan... Ayah... Jangan... "
"Rara salah ayah, Rara yang salah... "
"DIAM KAU! " Sentak pria itu keras, sampai membuat Rara terjengkang kebelakang. Rara menahan sakit saat pantatnya bertatapan dengan lantai keramik, dirinya merintih kesakitan. "Siapa dia? Suruhan Hendrik? "
"Roma!?! "
"SIAPA!!! SIAPA!!! "
"SIAPA ORANG INI?!!! " seru Ahmad suaranya kencang, sampai bisa terdengar keluar. Padahal ia sendiri yang menyuruh anaknya untuk tidak berisik, dirinya sendiri? Mengeluarkan suara raungan harimau. "Ayah... "
"Rara salah ayah... "
"Rara punya tabungan, pakai saja buat ayah beli laptop lagi... "
"Nanti... Nanti-" Rara meneguk ludah kecil, merasa ini saatnya ia menjadi pahlawan bagi ayahnya. "Rara bisa nabung lagi kok... "
"Ayah pakai saja dulu, buat kebutuhan ayah. Rara kan anak baiknya ayah... " seru Rara mencoba tersenyum dikala wajahnya kaku, walau tabungan miliknya tak seberapa, Rara harap bisa membantu kebutuhan ayahnya. Karena bila sang ayah sengsara, putrinya juga harus sengsara. Ahmad menoleh kebelakang, jijik di sentuh-sentuh. "Nangis? "
"Itu yang kau bisa Ra. "
"Bahkan saat gue kehilangan, "
"Benda gue. "
"Apa elo ngerti? Oh gue inget, lo anak buangan, ibu bapak kandung lo kemana? "
"Kenapa harus gue adopsi lo Ra? "
"Punya jawaban? "
"Mereka juga pasti sama kek aku... "
"Risih, pundak mereka serasa nambah beban. "
"Meresahkan, "
"Setelah lihat ini, laptop ayah lo ke curi sama orang lain. Apa yang bakal elo lakuin? "
"Main-main sendiri? Bicara sendiri kayak orang stress? "
"Gue tanya... "
Rara terjatuh belum lama ia bangkit, tatapan ayahnya mengintimidasi dirinya seolah memintanya untuk segera memberi jawaban. Dan kini Rara semakin tak paham, apa yang diinginkan ayahnya pada dirinya itu, apakah ia murni salah? Atau teledor karena dia hanyalah anak kecil, yang bahkan menginjak usia remaja saja belum?
Apakah Rara harus banget buat disuruh berpikir dewasa? Bukankah Ahmad yang harusnya melakukan itu? Untuk apa dirinya menjadi pengusaha sukses, kalau dirinya masih terikat dengan bau-bau kejahatan?
Apakah Ahmad lah yang bodoh?
Rara berkecil suara, suara paraunya seakan tertimpa batu besar.
"Huh... "
"Setelah ini kau tak usah keluar lagi... "
"Keluar pun, dirimu sangat merepotkan. "
"Ayah pusing sendiri, kau keluyuran ke mana-mana kek anak cowok, "
"Main tanah, sampe mandi sore pun lupa? "
"Umurmu pantas lebih rendah Ra. "
"Dan tak pantas keluar sebagai anak bermain lagi, karena setelah ini... "
"Ayah, akan mengurungmu. " Ahmad menjeda ucapannya.
"Hm? Bertanya sampai kapan? "
Rara melotot kecil, deru nafasnya tersendat-sendat saat ayahnya memainkan rambut panjangnya saat itu juga air matanya menetes. "Maaf.. Aya-"
"Jangan ulangi lagi, setelah ini ya? "
"Kenapa tak mati saja? "
"Aku kan bisa lebih nyaman, bisa lebih bebas kalau tidak ada beban sepertimu Ra... "
"Bisa tidak mati saja? "
"Tak usah makan minum, mati bisa? "
"Bisa? "
Rara menggeleng kecil, dirinya langsung berdiri berusaha menghindar dari ayahnya yang entah mulai kapan berubah menjadi psikopat. Rara berjalan terpincang-pincang, dirinya menelan ludah dan hati mungilnya terus berdebar kencang, pertahanannya jatuh, keseimbangannya kosong. Rara jatuh, ia mulai jalan seperti bayi. Ahmad menarik tawa kencangnya, dan langsung mengarahkan genggaman tangan lebarnya ke arah leher gadis itu, di genggam dari belakang, di benturkan ke lantai sampai bersuara.
Ahmad tega mencekik anak angkatnya sendiri, sambil menahan nafas pria itu masih belum puas. "Sial... Sial... Semua salahmu, semua salahmu... "
"Mati.. Mati.. Mati!!! "
Bersambung...