Nada memiliki Kakak angkat bernama Naomi, mereka bertemu saat Nada berumur tujuh tahun saat sedang bersama Ibunya di sebuah restauran mewah, dan Naomi sedang menjual sebuah tisu duduk tanpa alas.
Nada berbincang dengan Naomi, dan sepuluh menit mereka berbincang. Nada merasa iba karena Naomi tidak memiliki orang tua, Nada merengek kepada Ibunya untuk membawa Naomi ke rumah.
Singkat cerita, mereka sudah saling berdekatan dan mengenal satu sama lain. Dari mulai mereka satu sekolah dan menjalankan aktivitas setiap hari bersama. Kedekatannya membuat orang tua Nada sangat bangga, mereka bisa saling menyayangi satu sama lain.
Menginjak remaja Naomi memiliki rasa ingin mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua Nada. Dia tidak segan-segan memberikan segudang prestasi untuk keluarga Nada, dan itu membuat Naomi semakin disayang. Apa yang Naomi inginkan selalu dituruti, sampai akhirnya terlintas pikiran jahat Naomi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evhy Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 1
**
Oktober 2015.
Aku Nada Olivia Jhonson, anak tunggal yang tidak memiliki adik ataupun Kakak. Aku ingin sekali memiliki saudara supaya aku bisa bermain bersama dan saling melindungi, tapi Mamaku tidak bisa memberikan aku seorang adik. Aku berharap lebih pada tuhan, dan ternyata Tuhan mengabulkannya, aku dipertemukan dengan seorang gadis yang seumuran denganku dia adalah Naomi, anaknya cantik dan baik. Kami bertemu disebuah restauran dan setelah berbincang cukup lama, aku menyukainya, dan terdengar dari ceritanya dia tidak memiliki orang tua. Itu membuat aku semakin yakin bahwa Naomi akan menjadi saudaraku.
Mama dan Papa menyetujui keinginanku, setelah proses yang panjang. Akhirnya Naomi menjadi saudaraku sampai detik ini, meskipun perilakunya sekarang berbeda tapi aku tetap menyayangi Naomi sampai kapanpun.
Di bulan Oktober tahun 2015 kami bertemu, dan sampai saat ini 2024 kami sudah menginjak remaja.
**
Kicauan burung terdengar begitu nyaring, hingga membuat seorang gadis cantik terbangun dari mimpi indahnya.
Nada menggeliat tubuhnya karena merasa pegal semalaman dia tidak merubah posisi.
"Aduh leher Nada sakit," keluhnya.
Nada menatap jam di dinding kamar masih menunjukkan jam enam pagi. Dia bangun dari tidurnya sambil menyampirkan handuk di pundak dan bergegas menuju kamar mandi.
"Mah, Pah, nanti siang Naomi latihan piano. Pulangnya pasti agak sorean. Soalnya besok udah mulai gladiresik."
"Iya Sayang enggak masalah kok, kamu latihan yang serius ya, supaya nanti kamu dapat mendali lagi," jawab Nadia.
Naomi menganggukkan kepala. "Siap Mah. Mama enggak perlu khawatir Naomi akan bekerja keras. Tapi... " jeda Naomi dengan wajah tak enak.
"Tapi kenapa?" tanya Abimanyu.
"Emm, Naomi minta uang tambahan boleh? Uang Naomi sedikit lagi, kemarin habis dibelikan kegiatan di sekolah."
"Oh soal itu, nanti Papa transfer ya."
"Makasih Pah." Naomi begitu bahagia saat keinginannya dengan mudah didapatkan begitu saja.
Sedangkan di anak tangga ada Nada yang tersenyum miris, saat orang tuanya begitu mudah memberikan uang tambahan untuk Naomi. Padahal Nada juga meminta untuk keperluan sekolah malah dapat tamparan dari Papanya.
Nada turun dengan hati yang lapang, sambil tersenyum lebar. Menghampiri meja makan dan bergabung dengan keluarganya.
"Selamat pagi Mah, Pah, Naomi."
"Pagi juga Nada," jawab Naomi sambil tersenyum.
Kedua orang tuanya hanya berdeham dan melanjutkan sarapan bersama. Nada sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh orang tuanya, dia hanya bisa bersabar semoga mereka kembali baik pada Nada.
"Papa mau berangkat, ada meeting di kantor."
"Biar Mama antar ke depan Pah."
Abimanyu menganggukkan kepalanya, mereka tergesa-gesa sekali dengan sarapan yang belum mereka habiskan, Nada saja baru makan dua suapan itu pun masih nyangkut di tenggorokan.
"Em Pah, Nada mau minta uang boleh?" tanya Nada sambil ketakutan.
"Uang lagi, uang lagi, emang enggak bisa ya kamu sehari aja enggak minta uang?"
Nada mengerutkan keningnya. "Nada baru ini minta lagi, lagian kemarin kan Papa enggak ngasih."
"Ngelawan aja kamu. Kamu kalau mau uang tambahan kaya Naomi dong, berprestasi malah minta uang terus."
Nada mengeratkan genggamannya sampai roknya terlihat kusut. Naomi merangkul dan membela Nada di depan orang tua mereka.
"Pah jangan dimarahin. Udah biarin Naomi aja yang kasih uangnya buat Nada."
Nada menatap Naomi, dia semakin merasa Naomi bukan membelanya tapi malah memperlihatkan bahwa Naomi lebih unggul dari Nada.
"Jangan Sayang, uang kamu kan dikit lagi," balas Nadia.
"Dari pada Nada malah dimarahin. Naomi enggak suka liat Nada sedih."
"Oke-oke, biar Papa yang kasih uangnya. Udah simpan saja uang kamu itu."
Abimanyu merogoh saku celana dan dia berikan pada Nada dua puluh ribu. Nada menerimanya dengan senyuman miris, bayangkan dia harus jajan dengan uang segitu, ditempat sekolah yang sangat elit.
Nada tidak mau menambah amarah Papanya, dia menerimanya dengan baik.
"Naomi juga mau berangkat. Naomi bareng Papa ya."
Abimanyu menganggukkan kepala. "Ya udah ayok kita bareng."
"Nada juga mau bareng, tapi Nada habiskan dulu ya," balas Nada.
Abimanyu memutar bola matanya. "Ya sudah buruan, Papa tunggi di mobil."
Naomi dan kedua orang tuanya keluar dari rumah dan memasuki mobil. Sedangkan Nada dia sedang menghabiskan sarapannya sambil memasukan botol minum ke dalam tas.
"Aduh Naomi lupa, kalau pagi ini Naomi ada rapat osis, duh gimana ya. Nada masih lama enggak ya?" Naomi menatap ponselnya seakan dia benar-benar sedang terlambat.
"Ya sudah kita berangkat saja, nanti kamu malah dihukum," jawab Abimanyu.
"Iya Sayang, mending kamu berangkat deh. Biarin Nada bisa naik angkot," balas Nadia.
"Tapi beneran enggak apa-apa?" tanya Naomi.
"Iya beneran, udah Pah cepetan berangkat. Naomi lagi sibuk sama kegiatan sekolahnya."
"Ya sudah, kita berangkat."
Naomi tersenyum miring melihat orang tuanya mengabulkan semua keinginan Naomi dengan mudah. Mereka meninggalkan Nada yang baru saja keluar sambil berlari kecil.
"Pah, Pah," panggil Nada dengan suara lantang.
Nadia menarik lengan Nada untuk tidak mengejar mobil sang suami.
"Kamu berangkat naik angkot aja, Papa buru-buru ke kantor," ucap Nadia.
"Tapi Mah, tadi Papa mau nungguin Nada," jawab Nada sambil menahan tangis, karena pasalnya dia akan terlambat jika harus mencari angkutan umum.
"Biasanya juga pakai angkot, udah sana berangkat."
Nadia masuk ke dalam rumah meninggalkan Nada di pekarangan rumahnya. Nada menghela napas berulang kali, Papanya begitu tega meninggalkan Nada sekian kalinya.
Nada berjalan seorang diri, dia sudah pasrah jika harus terlambat dan tidak boleh masuk ke dalam lingkungan sekolah.
Berjalan sepuluh menit, Nada mendengar sebuah klakson motor dari arah belakang, dan motor tersebut berhenti menghalangi jalan Nada.
"Heh Nada, ngapain Lo masih di sini? Bentar lagi bel masuk."
"Gue lagi nunggu angkutan umum, kaga ada yang lewat makanya gue jalan."
"Ya udah buruan naik, bareng sama Aa ganteng."
Nada berdecak. "Enggak salah dengar gue?"
Jeno terkekeh melihat wajah Nada. "Emang gue ganteng, salah?"
"Serah Lo deh." Nada menaiki motor Jeno.
Jeno adalah sahabat Nada di sekolah High School, Jeno yang pertama kali mengajak Nada berteman. Karena Nada terlihat cuek dengan teman wanitanya, Nada pun menerima ajakan Jeno untuk menjadi teman.
"Lo ditinggalin lagi ya sama bokap Lo?"
Nada mengangguk. "Iya begitulah, sudah biasa."
"Pasti Naomi ya si Nenek lampir yang ngehasut bokap Lo."
Nada mencubit lengan Jeno. "Enggak boleh soudzan Lo jadi orang, mungkin aja emang bokap gue buru-buru tadi."
Jeno berdecak. "Ah Lo mah pikirannya positif mulu, kali-kali negatif gitu sama itu orang. Padahal ya gue liatnya emang kaya gitu."
"Ck, otak Lo kotor harus dibersihin."
"Hih, dikasih tahu malah ngelak."
Nada terdiam sambil menatap lurus ke depan. Sebelum Jeno mengatakan itu, Nada sudah lebih tahu. Namun, Nada tidak mau jika Naomi dipandang jelek oleh orang lain. Bagaimanapun juga Naomi saudara Nada.
Sesampainya di sekolah, Nada dan Jeno berjalan bersama. Satu sekolah sudah tahu dengan kedekatan mereka berdua, mereka tidak mempermsalahkan jika harus dibicarakan dari belakang, karena Jeno dan Nada hanya sahabat tidak lebih.
"Lo jadi lomba melukis?" tanya Jeno.
Nada menganggukkan kepala. "Jadi, tapi..."
"Lo takut sama nyokap, bokap Lo iya?"
Nada menganggukkan kepalanya. "Pasti mereka tahu soal ini, Lo tahu sendiri kan mereka enggak suka kalau gue ngelukis. Buang-buang waktu enggak berguna."
"Ck, emang keluarga Lo aneh."
Nada terkekeh. "Mereka tetap keluarga gue, Jeno!"
"Iya-iya serah deh. Oh ya PR matematika udah?"
"Udah dong, pasti mau nyontek iyakan?"
Jeno terkekeh sambil menyentil dahi Nada. "Tahu aja sih, mana buruan sini. Gue mau nyalin keburu bel nanti."
"Ck elah santai dong!"
Nada duduk di bangkunya bersama Jeno, membuka buku dan Jeno pun menyalin pekerjaan rumah di sekolah. Jeno sebenarnya anak yang pintar namun kepintarannya selalu dia tutupi dengan rasa malas, Nada pun heran dengan kelakuan Jeno.
Bel pun sudah berbunyi, semua orang langsung masuk dan duduk dengan rapi, mereka sedang menunggu kedatangan sang guru yang akan mengajar di kelas Nada.
Nada dan Naomi berbeda kelas, Naomi berada di kelas unggulan dan Nada ada di kelas yang orang-orangnya bisa dikatakan pintar dan biasa saja. Padahal Nada juga sama pintarnya, namun orang tua Nada malah melihat keunggulan Naomi dari hal non akademik, yang dimiliki Nada dari non akademik adalah melukis, dia suka sekali menggambar hal apapun dengan kuas dan canvas yang selalu dia miliki di dalam kamar, karena menggambar membuatnya selalu tenang.