Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anissa Tinggal Di Desa
Anissa Tinggal Di Desa
Setelah meninggalkan rumah dan semua kenangan pahit yang tersisa, Nisa memutuskan untuk mencari ketenangan di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Ia ingin menemukan kedamaian dalam hatinya yang terluka, dan desa kecil yang terletak di pegunungan sepertinya memberikan kesempatan untuk itu. Tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya, penuh dengan udara segar dan pemandangan alam yang memukau—sebuah tempat di mana ia berharap bisa menemukan kembali dirinya.
Desa itu sangat berbeda dengan kehidupan kota yang biasa ia jalani. Tidak ada kebisingan kendaraan, tidak ada mall atau pusat perbelanjaan yang menggoda. Yang ada hanya rumah-rumah kecil yang tersebar di sepanjang jalan beraspal, dengan ladang hijau dan pepohonan yang mengelilingi desa. Orang-orang di sini hidup sederhana, dengan waktu yang terasa berjalan lebih lambat.
Nisa memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kecil milik seorang wanita paruh baya bernama Ibu Sari. Ibu Sari adalah seorang janda yang tinggal sendirian setelah suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu. Meskipun sudah tua, Ibu Sari masih tampak kuat dan ramah. Ia menawarkan Nisa tempat tinggal di rumahnya yang sederhana, dan Nisa merasa bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk menenangkan diri.
Saat pertama kali tiba di rumah Ibu Sari, Nisa merasa cemas. Tidak mudah baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sepenuhnya baru. Namun, Ibu Sari menyambutnya dengan hangat, memberikan kenyamanan dan perhatian yang sangat Nisa butuhkan. Rumah Ibu Sari terletak di ujung desa, jauh dari keramaian, dengan kebun sayur yang subur dan pemandangan pegunungan yang indah.
"Ibu Sari, terima kasih sudah mengizinkan saya tinggal di sini," ucap Nisa dengan penuh rasa terima kasih setelah Ibu Sari menunjukkan kamarnya. "Saya akan berusaha tidak merepotkan."
Ibu Sari tersenyum lembut. "Tidak perlu berterima kasih, Nisa. Rumah ini terbuka untuk siapa saja yang membutuhkan ketenangan. Saya juga senang jika ada teman di sini, apalagi kamu masih muda dan pasti butuh waktu untuk diri sendiri."
Nisa mengangguk, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Ibu Sari. Ia tahu bahwa tinggal di desa ini bukan hanya untuk melupakan masa lalu, tetapi juga untuk menemukan kembali dirinya, menyembuhkan luka-luka yang begitu dalam.
Beberapa hari pertama di desa, Nisa menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ia sering berjalan-jalan di ladang, menikmati udara segar, dan duduk di bawah pohon besar untuk merenung. Suara alam yang tenang dan pemandangan yang menyejukkan hati mulai mengurangi ketegangan dalam dirinya. Ia mulai merasa lebih damai, meskipun luka di hatinya masih belum sepenuhnya sembuh.
Pada suatu pagi, saat matahari baru saja terbit, Nisa memutuskan untuk mengunjungi pasar kecil di pusat desa. Di pasar ini, orang-orang saling berinteraksi dengan ramah, berbicara tentang hasil pertanian, cuaca, dan kehidupan sehari-hari. Nisa merasa sedikit canggung di tengah keramaian ini, namun ada kehangatan yang terasa di setiap percakapan.
"Selamat pagi, Nisa! Sudah lama kamu di sini?" sapa seorang wanita tua yang menjual sayuran di pasar. Namanya adalah Bu Tini, tetangga Ibu Sari yang sangat ramah.
"Selamat pagi, Bu Tini," jawab Nisa sambil tersenyum tipis. "Saya baru beberapa hari di sini. Masih belajar beradaptasi."
Bu Tini tertawa kecil. "Ah, tidak usah khawatir. Di desa ini, kita saling mengenal satu sama lain. Kalau ada yang perlu, jangan ragu untuk datang. Semua orang di sini suka membantu."
Nisa merasa sedikit lebih nyaman dengan sambutan hangat tersebut. Ia mulai menyadari bahwa hidup di desa ini mungkin lebih sederhana, tapi juga lebih nyata. Tidak ada kehidupan kota yang penuh dengan tekanan dan ekspektasi. Di sini, Nisa bisa merasakan hidup yang lebih tenang, lebih mendekatkan dirinya pada alam dan diri sendiri.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Nisa mulai membantu Ibu Sari di kebun, memetik sayuran, atau membersihkan halaman rumah. Terkadang, ia duduk di beranda rumah sambil membaca buku atau menulis di jurnal pribadinya. Menulis adalah cara Nisa melepaskan perasaan yang selama ini terpendam. Ia menulis tentang kesedihan, tentang perjalanan yang penuh dengan luka, tetapi juga tentang harapan dan impian yang masih ada di dalam dirinya.
Satu hari, saat Nisa sedang berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir desa, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Rudi. Rudi adalah anak muda yang bekerja di ladang milik salah satu keluarga di desa tersebut. Ia memiliki senyum yang ramah dan mata yang cerah, serta sikap yang tenang.
"Hai, kamu baru di sini, ya?" sapa Rudi dengan suara yang hangat.
"Iya," jawab Nisa. "Saya baru pindah ke desa ini. Namaku Nisa."
"Senang bertemu denganmu, Nisa. Aku Rudi. Kalau butuh teman atau bantuan, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungiku," kata Rudi sambil tersenyum.
Pertemuan dengan Rudi mungkin terasa biasa, tetapi bagi Nisa, itu adalah angin segar. Rudi tidak tahu apa yang telah terjadi dalam hidup Nisa, dan ia tidak perlu tahu. Ia hanya seorang pemuda yang ramah, yang menawarkan kebaikan tanpa menuntut apapun. Hal itu memberi Nisa sedikit kelegaan.
Waktu terus berjalan, dan Nisa mulai merasa semakin nyaman di desa itu. Walaupun kadang perasaan kesepian datang menghampiri, ia berusaha untuk menikmati setiap momen yang ia miliki di sana. Ia belajar banyak hal baru—tentang kehidupan sederhana, tentang pentingnya bersyukur, dan tentang menerima kenyataan.
Namun, di dalam hatinya, Nisa juga tahu bahwa ia belum sepenuhnya sembuh. Ia masih memiliki banyak pertanyaan tentang masa lalu, tentang Arman, dan tentang apa yang seharusnya ia lakukan dengan hidupnya. Tapi di desa ini, ia tidak merasa terburu-buru. Di sini, ia merasa seperti memiliki waktu untuk mencari jawabannya, tanpa tekanan.
Seiring berjalannya waktu, Nisa mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi diliputi oleh rasa sakit dan penyesalan. Meskipun luka itu masih ada, ia mulai belajar bagaimana cara hidup dengan itu. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan siap untuk melanjutkan hidupnya, dengan hati yang lebih kuat dan lebih damai.
Di desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota ini, Nisa menemukan ketenangan yang ia cari, dan dalam kedamaian itu, ia mulai menemukan dirinya kembali.