NovelToon NovelToon
Filsafat Vs Sains

Filsafat Vs Sains

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Arifu

Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chemistry dua dunia

Setelah ciuman pertama yang membuat suasana hati mereka campur aduk, Joko dan Vina berjalan pulang bersama. Langit malam mulai gelap, dan angin dingin bertiup pelan. Mereka berdua masih diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Meski suasana terasa nyaman, ada rasa canggung yang belum mereka kuasai sepenuhnya.

"Eh, Vin," Joko memecah keheningan, "lo tadi ngerasa apa? Maksud gue, soal tadi itu…"

Vina menoleh, mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. "Ngerasa apa? Ngerasa lo akhirnya berani? Atau ngerasa lo bakal panik sepanjang jalan?"

Joko tersipu, menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Ya gimana ya, gue juga nggak nyangka bakal kayak gitu… Terus, ya, gue mikir, apa gue terlalu buru-buru?"

Vina menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh menghadap Joko. "Buru-buru? Jok, gue udah nungguin lo sejak gue nemuin lo di hari gue jatuh itu, tahu nggak?"

Joko memandangnya dengan sedikit terkejut. "Maksud lo?"

Vina menghela napas, menatap Joko dengan tatapan lembut namun penuh arti. "Joko, gue nggak tahu kenapa, tapi sejak kita sering debat soal sains sama filsafat itu, gue mulai sadar kalau gue suka sama lo. Mungkin gue nggak bilang langsung karena... ya, lo tau sendiri, lo itu suka bikin gue kesel, tapi juga bikin gue ketawa."

Joko terdiam. Kata-kata Vina menohok langsung ke hatinya. Dia ingin merespon, tapi mulutnya seperti terkunci.

Vina melanjutkan, "Tadi itu bukan soal buru-buru atau enggak. Tadi itu lo akhirnya jujur sama perasaan lo. Dan, buat gue, itu lebih dari cukup."

Joko menunduk, mencoba mencerna semuanya. Setelah beberapa detik, dia mengangkat wajahnya dan menatap Vina. "Gue cuma takut... gue nggak bisa jadi orang yang lo butuhin. Gue nggak tahu apa gue pantes buat lo."

Vina mendekat, mencubit pipi Joko dengan gemas. "Joko, lo tuh kebanyakan mikir. Kalau lo nggak pantes, gue nggak akan repot-repot ngikutin lo kemana-mana, debat sama lo, bahkan sampai bela-belain nerima ide-ide filsafat lo yang kadang bikin kepala gue pusing."

Joko tertawa kecil, lalu mengusap pipinya yang tadi dicubit. "Oke, oke. Gue ngerti. Tapi, gue pengen lo tau, gue nggak bakal berhenti belajar buat ngerti lo. Kalau kita jalanin ini, gue mau kita serius, meskipun kadang gue bisa nyebelin."

Vina tersenyum lebar, lalu menggenggam tangan Joko. "Gue udah tahu, Jok. Dan gue nggak peduli lo nyebelin atau apa, yang penting lo Joko, yang gue suka."

Keduanya saling memandang, senyuman mengembang di wajah mereka. Rasa canggung mulai memudar, digantikan oleh perasaan hangat dan nyaman. Mereka melanjutkan perjalanan pulang, tangan mereka saling menggenggam erat.

Di depan kosan Vina, mereka berhenti. Malam sudah semakin larut, namun suasana di antara mereka terasa lebih hidup.

"Yaudah, gue masuk dulu," kata Vina, masih tersenyum.

"Vin," panggil Joko pelan.

Vina berhenti, menoleh ke arahnya. "Apa lagi, Jok?"

"Thanks, ya," ujar Joko, dengan senyuman yang tulus. "Buat semuanya."

Vina tersenyum, lalu mendekat dan memberikan kecupan singkat di pipi Joko. "Sama-sama, filsuf gue."

Vina masuk ke dalam kosannya, meninggalkan Joko yang berdiri dengan pipi sedikit memerah dan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

Keesokan harinya, suasana kampus kembali ramai seperti biasa. Joko dan Vina memutuskan untuk bertemu di kantin kampus setelah kelas masing-masing selesai. Namun, perasaan mereka kini berbeda. Ada rasa deg-degan yang samar, seakan dunia baru saja berubah semalam.

Saat Joko berjalan menuju kantin, dia melihat Vina sudah menunggunya di meja pojok, asyik mengetuk-ngetukkan bolpoin ke meja sambil memandang jauh.

“Eh, si jenius Fisika udah nongkrong duluan,” sapa Joko sambil duduk di depannya.

Vina tersenyum. “Iya dong, gue kan suka efisien. Nggak kayak lo yang sering molor waktu.”

Joko pura-pura mendesah. “Lagi-lagi gue di-bully. Baru juga mau ngajak lo ngobrol baik-baik.”

Vina tertawa kecil. “Santai, filsuf. Jadi, mau ngomongin apa? Filsafat tentang kopi instan atau filosofi antrian di kantin?”

“Enggak,” kata Joko sambil menyeruput teh manisnya. “Gue cuma mikir, lo pernah nggak kepikiran gimana caranya kita yang beda banget ini bisa cocok?”

Vina menyandarkan diri di kursi, menatap Joko dengan alis terangkat. “Beda gimana maksud lo? Lo kira Filsafat sama Fisika itu musuhan?”

“Bukan musuhan,” jawab Joko. “Tapi kayak... lo itu logis banget. Setiap argumen lo ada dasar hitungannya. Gue, ya, cuma muter-muter di kata-kata dan konsep abstrak. Kita berdua sering banget debat cuma karena cara pikir kita nggak nyambung.”

Vina mendekatkan wajahnya, menunjuk Joko dengan bolpoin. “Tapi lo lupa satu hal, Jok.”

“Apa?”

“Gue suka debat sama lo,” jawabnya santai. “Kalau gue nggak suka, gue nggak bakal peduli sama argumen lo yang kadang absurd itu.”

Joko terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Ya, gue juga sih. Kalau lo nggak ngotot banget sama logika Fisika lo itu, gue mungkin udah bosen ngobrol sama orang lain.”

“Kita saling melengkapi, kan?” Vina menyimpulkan dengan nada penuh kemenangan. “Kayak proton sama elektron, saling tarik-menarik.”

“Tapi kalau tarik-menariknya terlalu kuat, bisa ledak dong,” canda Joko.

“Makanya kita harus jaga jarak aman,” balas Vina sambil nyengir.

Keduanya tertawa bersama, suasana di antara mereka semakin cair. Namun, di balik tawa itu, ada getaran perasaan yang tak terucap. Meski hubungan mereka baru saja dimulai, ada rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Mereka seperti dua kutub yang bertemu, saling tarik menarik, meski dunia mereka berbeda.

---

Malam Itu

Malamnya, Joko duduk di kamar kosannya, merenungkan obrolan mereka tadi. Dia membuka laptop dan mulai mencari artikel tentang “hubungan antara Fisika dan Filsafat.” Tak lama kemudian, dia menemukan beberapa referensi menarik.

“Hmm, ternyata banyak filsuf yang jadi inspirasi buat sains. Kayak Descartes, Newton...” gumamnya. “Apa ini cara gue buat ngerti Vina lebih dalam?”

Joko mulai mencatat beberapa hal di buku kecilnya, bertekad untuk menemukan cara agar bisa lebih sinkron dengan pemikiran Vina. Sementara itu, di kamar kosannya, Vina juga sedang membaca buku Filsafat dasar. Meski sulit memahaminya, dia merasa ini adalah cara untuk lebih dekat dengan Joko.

Di tengah kesibukan masing-masing, mereka mulai membangun jembatan untuk menyatukan dua dunia mereka.

1
Arifu
Filsafat vs Sains.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!