NovelToon NovelToon
Masihkah Ada Cinta?

Masihkah Ada Cinta?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Cinta Murni / Romansa / Penyesalan Suami / Trauma masa lalu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fahyana Dea

Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.

Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.

Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu Dengan Amira

Karina bersandar pada kursi di belakang pengemudi, matanya memandang jalanan yang tidak ada menarik-menariknya. Namun, pikirannya berkelana entah ke mana. Ia tersadar saat merasakan ponselnya bergetar, tangannya merogoh tas dan menemukan banyak panggilan tidak terjawab dari Nino. Karina panik, ia takut terjadi sesuatu pada suaminya. 

"Pak, bisa lebih cepat lagi, gak?" tanyanya pada sopir taksi tersebut. 

Pria paruh baya yang berada di balik kemudi itu menoleh, lalu mengangguk. 

Kakinya bergerak gelisah, perasaannya tidak tenang. Karina balik menelepon pun, Nino tidak menjawabnya. Beberapa saat kemudian, taksi itu berhenti di depan rumah. Karina segera menyelempangkan tasnya, lalu membuka pintu. 

"Ongkosnya udah saya transfer lewat e-wallet ya, Pak," ujar Karina sebelum turun. Setelah itu, ia bergerak cepat menuju rumah. 

Karina segera menuju kamarnya, karena keadaan di ruangan lain tidak ada siapa pun. Saat membuka pintu, ia melihat Nino yang berdiri sambil berpegangan pada meja. Karina tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya. Wajahnya terlihat pucat. 

Nino hampir hilang keseimbangan, Karina segera berlari menuju pria itu, lalu memeluknya. Tubuh Nino gemetar dan napasnya dangkal, sudah beberapa kali Karina merasakan Nino seperti ini. Pria itu menggumamkan namanya berkali-kali.

"Aku di sini, aku gak akan ninggalin kamu." 

Nino meraih tubuh Karina dan mendekapnya erat. Karina memberikan pelukan senyaman mungkin untuk suaminya.

Karina memapah Nino ke tempat tidur setelah keadaannya cukup membaik. Napasnya sudah kembali teratur, tubuhnya juga tidak lagi gemetaran. 

Karina benar-benar khawatir dengan keadaan Nino sekarang, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karina juga tidak tahu, apa saja yang bisa menyebabkan Nino seperti tadi. Nino belum bisa diajak bicara tentang keadaannya. 

Karina berdiri, tetapi tangannya ditahan oleh Nino. "Kamu mau ke mana?" 

Karina tersenyum lembut. "Aku mau ambil minum. Cuma sebentar, kok." 

Perlahan, Nino melepaskan genggaman tangannya dan Karina berjalan keluar kamar. Nino beberapa kali menoleh ke arah pintu, menunggu istrinya kembali. Namun, ia berusaha untuk mengontrol dirinya kali ini. Ia harus kembali seperti biasa. Ia juga tidak ingin membuat Karina terus khawatir padanya.

Nino menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Seperti itu berulang kali, sampai Karina kembali dengan membawa satu gelas air putih. 

Karina kembali duduk di samping Nino. Ia menyerahkan gelas itu pada suaminya. 

"Gimana perasaan kamu sekarang?" tanya Karina setelah Nino menghabiskan air minumnya.

Nino tersenyum walau masih terasa kaku. "Cukup baik dari sebelumnya." 

Ada jeda di antara detak waktu dalam satu putaran penuh. Mereka sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karina tidak pernah berhadapan dengan situasi seperti ini sebelumnya. Ia merasa frustrasi dalam beberapa waktu terakhir ini. 

Karina merasakan Nino menggenggam tangannya, lalu menoleh ke arah pria itu. Ia menemukan lagi senyuman di wajah itu, meski tidak selepas dulu. 

Karina mengubah posisi duduknya menyerong, tangannya terulur untuk menyentuh wajah suaminya. 

"Kita bisa lewati semuanya berdua. Aku akan selalu ada buat kamu, Mas." 

Nino merasakan sesak sekaligus perih di dadanya, ia merasa gagal menjadi seorang suami. 

"Maaf karena aku udah menyeret kamu dalam situasi seperti ini. Ternyata aku gak mampu bahagiain kamu." Nino merasa tenggorokannya tercekat, ia bahkan merasa kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri. 

"Kamu jangan menyalahkan diri sendiri, Mas. Itu akan memperburuk kondisi kamu." Karina meraih kedua tangan Nino. "Gak ada yang bisa menghalangi cobaan ini datang. Kita gak bisa prediksi, bahkan kamu yang udah mengalami sekalipun gak tahu, kan? Dan perlu diingat, kita gak boleh menyalahkan takdir, apalagi Tuhan. Mungkin dengan ini … hubungan kita bisa lebih erat." Karina mencoba untuk menguatkan dirinya sendiri dan juga Nino. Sebenarnya, jauh sebelum ini, ia menyalahkan takdir hidupnya yang seperti ini.

Nino tersenyum getir seraya mendengkus. Ia menunduk sejenak. "Aku tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Tapi, terlepas dari itu semua, aku beruntung memiliki kamu." Nino balik menggenggam kedua tangan Karina. "Aku gak mau terus-terusan seperti ini. Aku akan jalani terapi lagi, tapi … saat masa pemulihan itu berlangsung, ada satu waktu yang bisa membuatku benar-benar terpuruk karena harus mengingat kejadian itu lagi." Nino mengeratkan genggaman tangannya dan menatap Karina penuh harap. "Aku akan benar-benar butuh kamu di saat itu. Kamu akan tepati janji kamu, kan?" 

Karina tersenyum. Kemudian, mengangguk. "Aku janji, Mas. Aku akan selalu di samping kamu." 

Sekali lagi, Nino memeluk istrinya. Ia selalu merasa nyaman jika berada dipelukan Karina. 

***

Karina mengambil bingkai foto yang tersimpan di meja kerjanya. Itu adalah foto dirinya dengan Nino ketika mereka liburan di Dieng dua bulan lalu. Karina rindu hari-hari mereka yang dipenuhi dengan kehangatan. Ia rindu dengan senyuman hangat suaminya. 

Sore ini, ia dan Nino akan bertemu dengan Amira. Sebenarnya Karina malu karena sempat menuduh Nino berselingkuh dengannya. Namun, ia rasa, ia juga harus bertemu dengan wanita itu. 

"Dilihatin mulu fotonya dari tadi," ujar Safira saat ia menghampiri kubikelnya, karena jam istirahat sudah tiba.

Karina tersenyum. Lalu, meletakkan kembali foto itu di tempat semula. 

"Lagi kangen aja sama suami gue."

"Jadi kemarin beneran berantem sama suami lo?" 

Karina berkerut kening. "Perasaan, gue gak bilang berantem, deh."

"Itu cuma asumsi gue aja karena lo kelihatan murung plus gak diantar-jemput." 

"Gue gak berantem sama dia. Kemarin emang lagi sibuk aja, jadi dia gak ada waktu buat gue," dalih Karina. "Berangkatnya juga selalu pagi-pagi banget." 

Safira mengangguk-angguk. "Itu sebabnya juga dia jadi kurusan?" 

Karina terenyak, ternyata Safira juga melihat perubahan pada suaminya. 

Karina tersenyum kaku. "Iya, karena kecapekan juga." 

Safira melirik jam tangannya. "Makan, yuk. Dah laper, nih." Safira mengelus perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi.

Karina mengangguk. "Ayo." 

***

Menjelang jam pulang, Karina mendadak gugup. Entah karena akan bertemu dengan Amira atau ia takut mendengar hal-hal buruk tentang kondisi Nino. Meski itu bukan pertemuan untuk pemulihan Nino, tetapi Karina merasa waswas. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Amira tentang Nino. 

Nino bilang, Amira sudah menanganinya sejak ia mengidap trauma itu. Jadi, sudah pasti dia tahu penyebab Nino seperti ini. 

Setelah bubar kantor dan Nino sudah menjemputnya, Karina sudah menarik napas dalam berkali-kali. Nino melirik sejenak pada istrinya yang terlihat gugup. 

Nino menggenggam tangan Karina. "Kok kamu yang gugup, sih?" 

"Aku baru pertama kali ketemu psikiater. Mungkin karena itu." 

Nino tersenyum. "Enggak apa-apa. Mbak Amira baik, kok." 

Dalam beberapa hari ini, keadaan Nino cukup baik. Ia juga sudah mulai kembali bekerja. Hal itu membuat Karina sedikit lega, tetapi terkadang khawatir jika kecemasannya tiba-tiba bisa kambuh saat di kantor. Tidak ada yang bisa memprediksi, bukan? 

Tak lama kemudian, mereka sampai di kafe bernuansa vintage—-tempat Nino bertemu dengan Amira beberapa minggu yang lalu—-Karina terkesima saat melihat wanita itu dari dekat. Rambut sepunggung bergelombangnya tergerai, alis mata yang tegas, sehingga jika yang melihat sekilas saja akan menganggap dia bukan orang ramah. Penampilannya tampak elegan, blouse putih dipadukan dengan rok span selutut berwarna biru. Ia membandingkan dengan penampilannya yang memakai jeans dan kemeja saat itu, dirinya jauh dari kata anggun.

Dari mana Nino mengenal wanita secantik Amira? Jika kenalannya secantik ini, kenapa pria itu malah menikahinya? Karina mengenyahkan semua pikiran itu. Ini bukan saatnya insecure melihat penampilan orang. 

Setelah Karina dan Amira saling berkenalan. Mereka duduk dan memesan minuman. 

"Padahal pertemuan waktu itu saya berharap kamu diajak," ujar Amira sambil tersenyum.

Karina hanya tersenyum. Saat itu, ia menuduh Amira selingkuhan Nino.

Nino terkekeh. "Pertemuan pertama kita waktu itu, Karina sempat salah paham karena kita bertemu cuma berdua." 

Karina mendelik pada Nino. Kenapa dia malah menjelaskannya. 

Amira tertawa pelan. "Kamu jangan khawatir, Karina. Nino bukan orang yang gampang tergoda perempuan. Lagipula, saya udah punya suami." 

Oh, syukurlah. Karina bernapas lega. Namun, dilihat dari interaksi mereka, Karina menebak hubungan mereka bukan sekadar seorang pasien dan terapis. Amira seperti sudah tahu banyak mengenai Nino. Apa mereka sudah lama saling kenal? Atau justru mereka pernah menjalin hubungan? Aargh. Karina sebal dengan pikirannya sendiri. 

Mereka banyak mengobrol dalam waktu cukup singkat. Amira ternyata orang yang sangat ramah, hanya penampilan luarnya saja yang tampak tidak ramah, dan Nino sepertinya sangat nyaman mengobrol dengan Amira. Karina yakin, mereka sudah lama mengenal satu sama lain. 

Di tengah percakapan mereka, Nino pamit pergi ke toilet. Karina rasa, ini kesempatan untuk bertanya perihal trauma Nino. Saat Karina akan bicara, Amira mendahuluinya. 

"Saya senang Nino mendapatkan istri seperti kamu," ujar Amira. "Saya sempat khawatir kalau dia gak mau menikah." 

Karina mengernyit. "Mbak Amira … udah lama kenal Mas Nino?" 

Amira mengangguk. "Sepuluh tahun lebih. Tapi, kita sempat hilang kontak beberapa tahun ini. Karena saya sempat pindah ke Malaysia selama dua tahun setelah Nino menjalani terapi pertamanya." 

"Saya boleh tanya sesuatu tentang trauma Mas Nino?" Karina ragu-ragu. 

Amira tersenyum. "Tentu." 

"Apa yang menyebabkan Mas Nino seperti ini, Mbak? Maksud saya, apa dia punya kenangan buruk?" 

Senyum Amira sedikit memudar. Ada tarikan napas cukup dalam sebelum Amira menjawab pertanyaan Karina. "Dia … melihat calon istrinya bunuh diri. Satu minggu sebelum mereka menikah." 

1
Haraa Boo
bantu suport-nya juga kak, di novelku "Istri Sewaan Tuan Muda" 🥰🙏
Umrida Dongoran
Mantap kk, Sukses somoga ya thor
Star Kesha
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Fahyana Dea: Terima Kasih~~ /Heart//Heart/
total 1 replies
kuia 😍😍
Terinspirasi banget sama karaktermu, thor! 👍
dziyyo
Mengguncang perasaan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!