Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan dari Bayangan
Alia terduduk di lantai kamarnya, menatap surat di tangannya. Tulisan tangan Rian yang acak-acakan dan kalimat ancaman itu terus menghantui pikirannya. Sejenak ia terdiam, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan sosok misterius yang mengikuti mereka semakin menguat di benaknya. Ia sadar bahwa Rian benar-benar serius, dan kini ia merasa ancaman itu lebih nyata dari sebelumnya.
Ponsel di genggamannya bergetar, menampilkan nama Ardi di layar. Alia segera menjawab, suaranya sedikit gemetar.
“Ardi… aku… ada surat di bawah pintuku. Dari Rian.”
Di seberang telepon, Ardi terdiam sesaat. “Kamu yakin itu dari dia?”
“Ya. Tulisan tangannya berantakan, dan dia bilang kalau aku tidak bisa sembunyi darinya. Dia tahu di mana aku berada, Ardi.”
Ardi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku akan datang sekarang. Jangan tinggalkan kamarmu, Alia. Aku akan segera sampai.”
Alia mengangguk, meski Ardi tak bisa melihatnya. Setelah panggilan berakhir, ia berdiri dan mengunci pintu kamarnya. Ia menunggu dengan hati-hati, telinganya mencoba menangkap setiap suara di luar. Sementara itu, pikirannya penuh dengan bayangan tentang apa yang mungkin dilakukan Rian selanjutnya.
Tak lama kemudian, ketukan terdengar di pintu. Alia mengintip dari lubang intip, dan begitu melihat wajah Ardi, ia segera membukakan pintu.
“Apa yang tertulis di surat itu?” tanya Ardi begitu masuk.
Alia mengulurkan surat tersebut padanya. Ardi membaca, lalu mengepalkan tangan. “Dia makin berani. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut, Alia. Kita harus bertindak.”
Alia mengangguk, meski ia juga bingung langkah apa yang sebaiknya diambil. “Apa yang bisa kita lakukan, Ardi? Kita bahkan tidak tahu dari mana dia muncul atau apa yang sebenarnya dia inginkan.”
Ardi menghela napas dalam, menatap Alia dengan serius. “Satu-satunya cara adalah mencari tahu lebih banyak tentang dia. Mungkin masih ada petunjuk dari masa lalu yang bisa kita temukan.”
“Bagaimana kalau kita mencari tahu tentang keluarganya? Teman-temannya, atau bahkan tempat-tempat yang sering dia datangi dulu?” Alia mengusulkan.
Ardi merenung sejenak sebelum mengangguk. “Itu ide bagus. Aku akan coba menghubungi beberapa kenalan lama yang mungkin tahu di mana Rian sekarang.”
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan pembicaraan, terdengar ketukan lain di pintu. Alia dan Ardi bertukar pandang, lalu Alia melangkah hati-hati ke arah pintu.
“Siapa di sana?” tanya Alia dengan suara tegang.
Tidak ada jawaban. Namun, ketukan itu terdengar lagi, lebih pelan kali ini. Jantung Alia berdegup kencang. Ardi mendekat, memberi isyarat agar ia tetap tenang.
Ardi membuka pintu sedikit dan menatap ke luar. Seorang pria berpenampilan asing berdiri di sana, wajahnya tidak familiar bagi mereka.
“Maaf, saya dari bagian keamanan asrama. Apakah Anda, Alia?” pria itu bertanya, suaranya terdengar sopan, namun ada sesuatu yang membuat Alia merasa tidak nyaman.
Ardi berdiri di samping Alia, tangannya siap melindunginya. “Ya, ini Alia. Ada apa?”
“Maaf mengganggu, tetapi kami menerima laporan bahwa ada seseorang mencurigakan yang terlihat di sekitar asrama. Kami hanya ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja,” jelas pria tersebut.
Alia dan Ardi bertukar pandang, lalu Ardi berkata, “Kami juga mengalami gangguan, ada surat ancaman yang masuk ke kamar Alia.”
Petugas keamanan itu terlihat serius mendengar informasi tersebut. “Surat ancaman? Apakah Anda punya surat itu? Kami bisa menggunakannya sebagai bukti.”
Alia mengangguk dan menyerahkan surat dari Rian pada pria itu. Setelah memeriksanya sebentar, ia mengangguk dengan wajah serius.
“Kami akan meningkatkan pengamanan di sekitar asrama. Kalau ada hal lain yang mencurigakan, segera hubungi kami,” kata petugas itu sebelum pergi.
Ketika pintu tertutup, Alia menarik napas lega, tapi Ardi masih terlihat khawatir.
“Menurutmu, dia benar-benar dari keamanan asrama?” tanya Ardi, nada suaranya penuh keraguan.
Alia merenung sejenak, mulai merasa ragu. “Entahlah… sepertinya aku juga merasa aneh. Tapi kita tidak punya bukti apa pun.”
“Kalau begitu, kita tetap waspada. Jangan pernah membuka pintu kecuali kamu yakin siapa di luar sana,” tegas Ardi.
Alia mengangguk, perasaannya masih belum tenang. Setelah memastikan semuanya aman, Ardi pun pulang. Namun, saat malam semakin larut, ketakutan Alia kembali menghantui. Setiap bayangan dan suara kecil membuatnya gelisah.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, pesan teks muncul di layar. Nomornya tidak dikenal, tapi pesannya hanya satu kalimat: “Kamu tidak bisa lari, Alia.”
Alia terhenyak, dan rasa takutnya semakin dalam. Ia segera menghubungi Ardi, namun panggilannya tidak tersambung. Panik, ia mencoba lagi beberapa kali, tapi tetap tidak ada jawaban.
Ketika akhirnya Ardi mengangkat, ia terdengar tergesa-gesa. “Maaf, Alia. Aku sedang di luar rumah. Ada apa?”
“Pesan lagi, Ardi. Kali ini dari nomor tak dikenal. Dia bilang aku tidak bisa lari,” jawab Alia, suaranya bergetar.
Ardi terdiam sejenak. “Tenang, Alia. Jangan panik. Aku akan segera ke sana. Jangan buka pintu untuk siapa pun.”
Alia mengangguk meskipun Ardi tidak bisa melihatnya. Ketika akhirnya Ardi tiba di asrama, Alia merasa sedikit lega, meski ketakutan masih membayangi.
“Alia, aku sudah berbicara dengan Rio lagi. Dia bilang ada satu tempat di mana Rian sering bersembunyi ketika sedang merencanakan sesuatu.”
“Di mana itu?” tanya Alia penasaran.
“Gudang tua di luar kampus. Rio bilang Rian sering menggunakannya untuk menyimpan barang-barang pribadinya. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa memberi kita petunjuk.”
Alia merasa ragu, tetapi ia tahu mereka tidak punya pilihan lain. “Kalau begitu, ayo kita ke sana besok pagi. Tapi kita harus hati-hati.”
Pagi berikutnya, Ardi dan Alia berangkat menuju gudang tua tersebut. Ketika mereka sampai, tempat itu terlihat menyeramkan dengan dinding yang hampir runtuh dan pintu yang berderit. Mereka masuk pelan-pelan, jantung berdebar karena tidak tahu apa yang akan mereka temukan.
Saat mereka menelusuri ruangan gelap di dalam gudang, Alia melihat sebuah kotak di sudut ruangan. Ia mendekati kotak itu, berharap menemukan petunjuk. Namun, saat ia membuka kotak tersebut, sesuatu yang mengejutkan menunggunya.
Di dalam kotak itu, ada tumpukan foto dirinya. Foto-foto yang diambil dari kejauhan, di kampus, di asrama, bahkan saat ia bersama Ardi. Ada juga beberapa catatan kecil dengan tulisan tangan Rian, penuh ancaman dan kalimat yang menakutkan.
“Ardi, lihat ini…” bisik Alia dengan suara bergetar.
Ardi mendekat, dan wajahnya langsung tegang melihat foto-foto dan catatan itu. “Dia sudah mengikuti kita sejak lama. Ini lebih parah dari yang kita bayangkan.”
Alia menatap Ardi, matanya dipenuhi ketakutan. “Apa yang sebenarnya diinginkan Rian dariku? Mengapa dia begitu terobsesi?”
Ardi menggelengkan kepala, tak tahu harus menjawab apa. Namun, sebelum mereka sempat beranjak, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mereka saling bertukar pandang, lalu Ardi menarik tangan Alia, berbisik, “Kita harus sembunyi. Seseorang ada di sini.”
Dengan cepat, mereka bersembunyi di balik rak tua yang hampir roboh. Dari balik rak, mereka mengintip, melihat bayangan seseorang masuk ke dalam gudang.
Alia menahan napas saat melihat wajah pria itu. Wajah yang selama ini hanya ia lihat dari bayang-bayang ancaman. Wajah Rian.
Rian melangkah pelan ke tengah ruangan, tatapannya liar menyapu sekeliling gudang tua itu, seolah-olah tahu bahwa ada sesuatu — atau seseorang — yang bersembunyi di sana. Alia menahan napas, tangan Ardi menggenggam erat lengannya, memberi isyarat agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Aku tahu kalian di sini,” suara Rian bergema, tajam dan tenang, namun cukup membuat Alia merinding. “Alia, aku tidak akan menyakitimu kalau kamu muncul sekarang. Kita bisa bicara, seperti dulu.”
Alia berusaha mengendalikan ketakutannya, namun pikirannya penuh dengan bayangan buruk. Bagaimana kalau Rian tahu persis tempat mereka bersembunyi? Bagaimana kalau dia benar-benar berniat jahat? Tatapannya bertemu dengan Ardi yang tampak tegang, dan dalam sekejap ia merasa lebih tenang. Bersama Ardi, ia merasa memiliki kekuatan.
Rian bergerak semakin dekat ke arah mereka. Langkahnya semakin pelan, sementara tangannya merogoh sesuatu dari sakunya. Alia nyaris tak bisa mengendalikan debaran jantungnya saat melihat sebuah benda metalik yang Rian genggam, tampak berkilauan di bawah cahaya yang masuk dari jendela kecil di atas.
Ardi memandang Alia, memberi isyarat untuk siap bergerak. Mereka saling bertukar pandang, komunikasi tanpa kata, penuh ketegangan. Jika Rian menemukan mereka, mereka hanya punya satu pilihan: lari atau melawan.
Namun, sebelum mereka sempat mengambil keputusan, suara keras dari luar gudang membuat mereka semua terkejut. Seseorang berteriak, “Polisi! Siapa pun di dalam, segera keluar dengan tangan di atas!”
Rian terhenti, wajahnya penuh kebingungan dan kemarahan. Ia menatap sekeliling dengan panik, menyadari bahwa ia mungkin dalam bahaya yang lebih besar. Ardi dan Alia saling memandang, merasakan secercah harapan — mungkin ini saatnya mereka bisa lolos dari bayang-bayang mengerikan Rian.