Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak
Malam ini, Kian memutuskan untuk keluar bersama Shintaro, mencari tempat-tempat menarik yang bisa mereka kunjungi dalam beberapa hari ke depan. Udara malam yang dingin membuatnya memilih mengenakan pakaian tebal, siap menjelajahi kota.
Setelah berpakaian rapi, Kian berjalan menghampiri istrinya, Keira, yang sedang duduk di meja rias, merapikan rambutnya.
“Ra, aku keluar dulu ya,” ucap Kian sambil mendekatinya.
Keira menoleh, “Mau kemana?” tanyanya dengan sedikit penasaran, tangannya berhenti merapikan rambut.
“Ada lah, pengen jalan-jalan aja,” jawab Kian dengan senyum simpul.
“Oh yaudah, hati-hati ya,” Keira mencium tangan Kian, sebuah kebiasaan kecil yang selalu mereka lakukan setiap kali Kian akan pergi keluar. “Dadah,” tambahnya, melambaikan tangan saat suaminya melangkah keluar kamar.
Di ruang tamu, Tara duduk di sofa, fokus pada layar laptopnya. “Mau kemana lu, Ian?” tanya Tara tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
“Gua mau jalan sama Shintaro, pengen observasi tempat-tempat buat jalan-jalan sama Keira, rencana buat beberapa hari ke depan,” jawab Kian sambil meraih sepatu dan memakainya.
Tara mengangguk, seolah paham. Namun, seketika ia teringat sesuatu dan mengangkat pandangan dari laptopnya. “Eh, lu mau kemana aja, Ian? Lusa gua ada rencana ngajak lu, Keira, sama bini gua buat nyewa kimono. Seru kan?”
Kian tersenyum mendengar ajakan Tara. “Wah, bisa tuh! Ntar gua atur jadwalnya. Tapi malam ini gua sama Shintaro dulu ya. Besok kita ngobrolin lagi,” jawab Kian, bersemangat memikirkan rencana mereka.
Setelah memastikan semuanya siap, Kian berpamitan dan melangkah keluar rumah, udara dingin langsung menyambutnya saat ia menutup pintu di belakangnya.
Kian segera menghampiri mobil yang terparkir di depan rumah, udara dingin mulai menusuk, namun tak menyurutkan semangatnya. Ia masuk ke kursi pengemudi, di mana Shintaro sudah menunggu dengan sabar di sebelahnya.
"Maaf lama, Shin," ucap Kian sambil buru-buru mengenakan sabuk pengaman.
“Nggak masalah kok, santai aja,” balas Shintaro dengan senyum tenang.
Kian mengangguk dan langsung menancap gas, meninggalkan rumah. Suasana malam yang lengang dan udara dingin memberikan ketenangan tersendiri. Sepanjang perjalanan, Shintaro merekomendasikan beberapa tempat menarik untuk makan malam. Setelah hampir satu jam berkeliling, mereka akhirnya berhenti di sebuah restoran sushi yang tampak cozy.
“Tempatnya kelihatan bagus nih,” ujar Kian sambil memarkir mobil.
Mereka memutuskan untuk makan di sana. Suasana restoran yang hangat kontras dengan hawa dingin di luar, menciptakan suasana nyaman. Ketika sedang asyik menikmati makanan mereka, ponsel Shintaro tiba-tiba berdering. Ia memandang layar sejenak sebelum berkata, "Ian, izin sebentar ya, ada telepon masuk." Shintaro bangkit dan berjalan keluar restoran untuk mengangkat telepon.
Kian hanya mengangguk sambil melanjutkan makannya. Sesaat kemudian, Shintaro kembali.
"Udah selesai?" tanya Kian setelah meneguk air mineral.
“Udah,” jawab Shintaro sambil duduk kembali di kursinya. “Lu udah kenyang? Mau nambah lagi nggak sushi-nya?”
Kian menggeleng. “Udah cukup, kayaknya gua udah kenyang. Lu gimana?”
“Gua juga udah cukup. Oh iya, gua panggil 'lu' aja ya, nggak usah formal-formal banget,” ujar Shintaro, sedikit ragu.
Kian tertawa kecil. “Iyalah, nggak usah kaku-kaku amat, kita udah temenan lama, kan?”
Shintaro tersenyum lega. “Oke, deal. Ayo balik.”
Setelah membayar dan meninggalkan tip, mereka berjalan keluar restoran dan kembali ke mobil. Kali ini, Shintaro yang mengambil alih kemudi. Kian lebih memilih fokus pada ponselnya, mungkin mencari lebih banyak referensi tempat jalan-jalan untuk beberapa hari ke depan bersama Keira.
Beberapa saat kemudian, Shintaro melirik Kian dan berkata, “Ian, boleh nggak kita mampir bentar? Gua ada urusan kecil.”
Kian yang sedang sibuk dengan ponselnya, hanya mengangguk tanpa banyak bertanya. Namun, ketika mobil berhenti di depan sebuah klub malam, Kian mendongak dari layar ponselnya, menatap sekeliling dengan bingung.
“Lu mau ke sini, Shin?” tanya Kian, alisnya sedikit terangkat.
“Cuma sebentar kok. Lu mau ikut, atau nunggu di mobil?” tawar Shintaro dengan nada ringan.
Kian melirik jam tangan. Masih setengah sebelas malam. “Boleh deh, gua ikut bentar.”
Mereka turun dari mobil dan berjalan masuk ke klub. Begitu masuk, suara musik keras langsung menyergap telinga Kian, membuatnya sedikit tidak nyaman. Ia melirik ke sekeliling, suasana penuh dengan cahaya kelap-kelip dan orang-orang yang menari di lantai dansa.
"Ya Allah, kuatkan iman hamba untuk tidak tergoda oleh hal-hal buruk di sini," batin Kian sambil menahan godaan. Ia terus mengikuti Shintaro dari belakang, berusaha fokus.
Setelah beberapa langkah, mereka berhenti di sebuah meja kecil. “Ian, lu duduk dulu di sini ya, gua nggak lama,” ujar Shintaro sebelum berlalu pergi.
Kian hanya mengangguk dan duduk di kursi, menundukkan kepala, kembali fokus pada ponselnya. Namun, suasana di sekitarnya mulai membuatnya gelisah. Beberapa wanita berpakaian minim melintas dan mencoba menarik perhatiannya, namun Kian hanya menolak dengan sopan.
Sepuluh menit berlalu, namun Shintaro belum juga kembali. Kian mulai merasa sedikit tidak nyaman ketika tiba-tiba seorang wanita mendekatinya, membawa sebotol wine di tangan.
“Permisi, boleh duduk di sini?” tanya wanita itu dengan senyum ramah.
Kian mendongak, matanya bertemu dengan seorang wanita berkulit kuning langsat dan rambut cokelat panjang yang terurai hingga punggung. Ada sesuatu yang aneh tentang wanita ini, membuat Kian langsung waspada.
“Orang Indonesia?” tanyanya, dan wanita itu mengangguk.
“Gua tadi nggak sengaja denger lu ngobrol pake bahasa Indonesia sama temen lu, jadi gua mampir. Siapa tau kita bisa jadi kenalan. Gua Wanda,” ucap wanita itu, memperkenalkan diri sambil tersenyum.
“Kian,” jawab Kian singkat. Tapi dalam hatinya, ia mulai merasa curiga. "Kok feeling gua bilang dia uler dan nggak bisa dipercaya ya?" pikirnya.
“Mau minum?” tawar Wanda sambil menuangkan wine ke gelas yang tersedia di meja.
Kian tampak berpikir sejenak. “Gua ikutin alurnya aja,” gumamnya dalam hati. Ia mengambil gelas dan mengangkatnya.
“Cheers,” ucap Wanda dengan senyum, kedua gelas mereka beradu, dan Kian meminum wine itu. Namun, baru beberapa tegukan, kepalanya langsung terasa pusing. Penglihatannya mulai berbayang.
"Ini oplosan apa cap tikus, kuat banget alkoholnya," batin Kian yang semakin pusing. Sebelum ia bisa menolak, Wanda sudah menuangkan lebih banyak wine ke gelasnya.
“Mau lagi?” tawar Wanda sambil tersenyum licik.
Kian menggeleng lemah, tubuhnya mulai terasa berat dan sulit untuk bergerak. Namun, Wanda tidak menyerah. Ia memegang rahang bawah Kian, memaksanya membuka mulut, lalu menuangkan wine itu langsung ke dalamnya.
Kian terpaksa menelan cairan itu, tubuhnya melemas, pandangannya semakin kabur hingga akhirnya ia blackout.
......................
Kini, sebuah mobil meluncur ke sebuah rumah tradisional Jepang di tepi danau. Di luar rumah, seorang pria bertubuh tegap dengan tato memenuhi lengannya berdiri menunggu. Ketika mobil berhenti, Wanda turun bersama anak buahnya dan langsung berlari memeluk pria itu.
“Halo, baby,” ucap Wanda mesra sambil mencium pipi pria tersebut.
“Hai,” balas pria itu. "Dimana dia?"
Wanda memberi isyarat kepada anak buahnya, yang segera mengeluarkan tubuh Kian yang tak sadarkan diri dari dalam mobil. Pria bertato itu menatap tubuh Kian dengan senyum penuh arti. “Kita mau apain dia?”
“Biasa, kita jebak dia, seperti yang lain,” jawab Wanda, senyum liciknya semakin lebar.
Mereka membawa Kian ke dalam rumah, di mana seorang wanita berbaring di tempat tidur, selimut tipis menutup tubuhnya. Anak buah Wanda melempar tubuh Kian ke tempat tidur, tepat di samping wanita itu.
Sementara itu, pria bertato itu menyerahkan dua gelas minuman kepada Wanda, dan tanpa ragu, Wanda menuangkannya ke mulut Kian dan wanita tersebut. Beberapa saat kemudian, tubuh Kian mulai bereaksi, penglihatannya kembali normal namun penuh kabur, panas tubuhnya meningkat.
Dalam kondisi mabuk dan tak berdaya, Kian akhirnya melakukan dosa yang jauh dari prinsip-prinsip yang dipegangnya selama ini.
Pagi harinya, matahari terbit dengan lembut, sinarnya menembus jendela rumah tradisional itu. Kian membuka matanya perlahan, merasakan kepalanya masih berat dan pusing. Namun, yang membuatnya terkejut adalah sosok wanita telanjang di sampingnya dan membelakanginya.
"Stella?" ucap Kian dengan suara gemetar.
Bersambung...