Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6.
Menyadari ada orang yang memasuki kamarnya, Mirna berusaha membuka matanya. Walaupun berat kelopak matanya terbuka, tapi dia masih bisa mengenali mamanya.
"Ada apa, Ma?" Lirihnya.
"Nak, kamu ke klinik dokter ya sayang. Nanti Mumu yang akan membawa kamu ke sana." Buk Fatimah duduk di samping kasur sambil memijit-mijit tubuh Mirna.
"Na tak bisa, Ma. Tubuh Na lemes."
Buk Fatimah menatap Mumu seolah-olah meminta dukungan.
"Buk, sebaiknya Kak Mirna kita kasi makanan dulu biar bertenaga. Jika kondisinya seperti ini, maka jalan satu-satunya dia harus menginap di rumah sakit karena harus dipasang infus." Ini adalah pengetahuan dasar yang pernah Mumu baca dari buku-buku kesehatan di perpustakaan.
Buk Fatimah mencoba mencerna ucapan Mumu. Sepertinya benar juga.
Ini bisa tambah ribet. Jika harus di rawat di rumah sakit. Ujung-ujungnya pasti ketahuan prihal kehamilan Mirna. Jika sudah dirawat tak mungkin dia tak menjenguk anaknya sendiri. Beda jika hanya Mumu yang menjaga dan membawa Mirna. Orang-orang tak kenal mereka berdua.
"Tapi masalahnya, Mirna tak bisa makan. Jika makan dia langsung muntah." Ucap buk Fatimah kemudian.
"Ooo begitu ya..." Mumu tampak berfikir sejenak, lalu ia berkata, "Bisa tak tolong dimasak sayur seperti ini, Buk...?"
Lalu Mumu menyebutkan cara memasak sayur bagi ibu hamil di awal-awal masa kehamilan yang lagi-lagi pernah Mumu baca dari buku perpustakaan.
"Baik lah, biar Saya menyuruh Bik Esah masak seperti yang Mumu katakan." Walaupun setengah percaya, buk Fatimah pun berlalu ke dapur.
"Eh...!" Mumu terperangah.
Sesuatu menganggu fikirannya.
Ia memang telah membaca banyak buku dari berbagai jenis buku yang ada di perpustakaan pada waktu senggangnya.
Tapi ia hanya membacanya, bukan menghafal!
Tapi sekarang apa yang ia sampaikan tadi jelas-jelas dari buku yang telah ia baca. Bagaimana cara ia bisa mengingat apa yang ia baca. Mumu tahu betul selama ini ia bukanlah orang yang cerdas. Ia bukan jenius. Tapi kini....
Jika ia bisa mengingat apa yang pernah ia baca, bagaimana jika...
Mumu cepa-cepat mengkonfirmasi hal tersebut.
Ternyata benar! Ia bisa mengingat apa yang ia baca dari buku pengobatan tradisional itu dan juga bisa mengingat praktek yang ia lakukan dalam mimpi.
'Alhamdulillah' Mumu tak henti-henti bersyukur kepada Allah. Ini pasti anugrah dari-Nya.
Oleh sebab itu ia bertekad akan menggunakan kelebihannya itu untuk kemaslahatan umat.
Mumu mengingat cara meredakan mual dan menambah nafsu makan dengan menekan titik-titik saraf tertentu di tubuh.
Ingatan itu langsung mengalir difikirannya seolah-olah langsung dipraktekkan di depan matanya.
Masalahnya apakah Mirna mau jika diobati olehnya. Mumu melirik Mirna yang tetap berbaring sambil memejamkan mata.
Mumu memutuskan menunggu buk Fatimah saja.
Sekitar dua puluh menit kemudian buk Fatimah memasuki kamar dengan membawa makanan yang masih mengepul asapnya.
Rupanya baru siap dimasak langsung dibawa ke sini.
"Letakkan di samping pintu saja, Buk! Takut baunya sampai di sini." Pinta Mumu.
Setelah meletakkan makanan di sana, buk Fatimah menatap Mumu.
"Bagaimana caranya, Mumu?"
"Anu, Buk... Sebelum memberi makanan itu izinkan saya memijat titik refleksi kak Mirna agar dia bisa makan tanpa muntah."
"Apa ada hal seperti itu?" Sangsi buk Fatimah sambil melihat mata Mumu. Seolah-olah ingin membongkar kebohongan di sana. Tapi buk Fatimah tidak menemukan apa yang dia cari. Akhirnya dia berkata, Terserah kamu saja kalau begitu. Yang penting Mirna benar-benar bisa makan.
"Terima kasih, Buk."
Mumu langsung mendekati Mirna, "Mohon izin tangannya aku pegang sebentar, Kak."
"Hmm." Mirna tidak menolak. Dia mendengar pembicaraan Mumu dan mamanya. Selain ingin sehat, dia juga penasaran. Apakah Mumu memang punya keahlian atau hanya sekadar bohong saja.
Mumu meraih tangan Mirna dengan perlahan. Lalu ia mulai menekan titik akupuntur di antara jempol dan jari telunjuk untuk mengurangi rasa mual dan menambah tenaga.
Mumu juga menekan titik dipergelangan tangan Mirna sekitar 1 menit.
Setelah dirasa cukup, Mumu pun menyingkir sambil meminta buk Fatimah untuk menyuapi Mirna.
Dalam hati masih ada sedikit keraguan terhadap ilmu yang ia praktekkan tadi. Bukan karena ilmu itu tidak bermanfaat tapi karena kekurangannya sendiri sehingga ilmu itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Untunglah keraguan itu tidak terbukti.
Mirna dengan lancar menelan makanan yang disuapi oleh mamanya.
Setelah tujuh suap, Mumu meminta buk Fatimah menghentikan aktivitasnya.
"Jangan banyak-banyak dulu, Buk! Takutnya nanti lambung kak Mirna bermasalah. Istirahat dulu sekitar setengah jam nanti bisa dilanjutkan lagi.
Buk Fatimah sangat gembira melihat anaknya sudah bisa makan. Ini semua karena Mumu. Sehingga apa yang Mumu ucapkan, dia langsung menurut.
Mulai saat ini bagi buk Fatimah, Mumu benar-benar dianggap sebagai menantunya. Bukan lagi orang luar.
"Kalau begitu saya mohon pamit dulu, Buk. Ini resep masakan dan cara memasaknya untuk besok-besok ya, Buk." Mumu menyerahkan secarik kertas yang sudah ia tulis tadi.
Nanti diselingi dengan makan buah-buahan tidak apa-apa, Buk. Tapi hindari buah-buahan yang asam atau kecut. Tak bagus buat lambung kak Mirna."
Terima kasih, Nak Mumu. Kalau tak ada Nak Mumu entah apa lah jadinya dengan Mirna."
Cara memanggil Mumu pun sudah berubah. Pada awalnya hanya kamu atau Mumu sekarang sudah ditambah menjadi Nak Mumu. Ini merupakan suatu hal yang baik bagi Mumu.
Mumu akhirnya pulang setelah sebelumnya dipaksa untuk makan di ruang makan keluarga.
Buk Fatimah benar-benar sudah menganggap Mumu adalah bagian dari keluarganya.
Mumu langsung pulang ke ruangannya. Hari ini ia tidak masuk kerja karena sudah mendapat izin dari pak Kadis.
Ada yang ingin Mumu buktikan lagi. Oleh karena sesampainya di ruangan tempat tinggalnya, Mumu langsung mengambil buku secara acak dan mulai membacanya.
Sepuluh menit kemudian Mumu meletakkan buku yang tadi ia baca. Kemudian ia memejamkan matanya untuk mengingat apa yang sudah ia baca tadi.
Subhanallah, ternyata benar. Semua yang telah dibaca tadi sekarang terekam di otaknya. Mumu sekarang mempunyai daya tangkap yang luar biasa. Tak henti-hentinya ia bersyukur.
Mumu jadi lebih bersemangat.
Ia membongkar buku-buku bekas dari dalam kardus dan mulai membacanya sampai lupa waktu.
Mumu hanya istirahat sholat dan makan. Jika lelah dan mengantuk, Mumu menyempatkan diri untuk bermeditasi menggunakan metode pernafasan yang ia pelajari dari mimpi itu.
Setelah dirasa cukup, Mumu melanjutkan bacaannya seperti orang gil*.
Hingga jam 22.10 wib Mumu baru selesai membaca semua buku yang dibawanya. Tapi anehnya ia tak merasa lelah seperti biasanya.
Sungguh luar biasa metode pernafasan yang telah ia peroleh secara tak sengaja itu.
Tiba-tiba handphonenya berbunyi.
'Pak Kadis? Kenapa dia menelpon malam-malam begini?'
Jawab apa tidak ya? Mumu bimbang.
Raminten