Dilarang Boom Like!!!
Tolong baca bab nya satu-persatu tanpa dilompat ya, mohon kerja sama nya 🙏
Cerita ini berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga yang terlihat sempurna ternyata menyimpan rahasia yang memilukan, merasa beruntung memiliki suami seperti Rafael seorang pengusaha sukses dan seorang anak perempuan, kini Stella harus menelan pil pahit atas perselingkuhan Rafael dengan sahabatnya.
Tapi bagaimanapun juga sepintar apapun kau menyimpan bangkai pasti akan tercium juga kebusukannya 'kan?
Akankah cinta segitiga itu berjalan dengan baik ataukah akan ada cinta lain setelahnya?
Temukan jawaban nya hanya di Noveltoon.
(Please yang gak suka cerita ini langsung Skipp aja! Jangan ninggalin komen yang menyakitkan. Jangan buka bab kalau nggak mau baca Krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertian nya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bilqies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENDUA 28
🍁Mansion Mama Elena🍁
Pagi itu, udara di luar Mansion Mama Elena terasa segar, dengan kabut tipis yang menggelantung di antara pohon-pohon besar di halaman. Di ruang makan, sinar matahari yang lembut menyusup melalui tirai yang terbuka, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai marmer menambah kehangatan suasana mansion.
Stella duduk di meja makan, menatap kosong ke secangkir kopi yang masih panas di depannya. Matanya yang merah dan lelah mengisyaratkan bahwa tidurnya tidak nyenyak semalam. Hatinya masih berat, teringat akan perbuatan Rafael, suaminya yang telah berselingkuh dengan Angel, sahabatnya sendiri.
Tak lama, langkah kaki yang ringan terdengar di lantai marmer. Mama Elena masuk ke ruang makan, wajahnya yang cantik, meski sudah berumur tetap terlihat mempesona.
"Stella, apa kamu baik-baik saja, Nak?" Tanya Mama Elena lembut sambil menyentuh bahu putrinya dengan kasih sayang, kemudian menarik sebuah kursi dan duduk di samping Stella.
Stella hanya mengangguk dan menghela nafas panjang. "Aku baik-baik saja, Ma."
Mama Elena menatapnya dengan cemas, tahu betul ada yang mengganjal di hati putrinya. "Mama tahu kamu pasti masih memikirkan semuanya. Tapi, mama minta jangan biarkan dirimu terlalu larut dalam perasaan ini. Kamu harus memikirkan apa yang terbaik untuk Rafella."
Stella terdiam. Matanya menatap ke luar jendela, melihat putrinya yang sedang bermain di halaman depan, membuatnya merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Namun, di saat yang sama, rasa sakit dan amarah terhadap Rafael kembali menyeruak ke permukaan. Bagaimana bisa pria yang dia cintai mengkhianatinya dengan sahabatnya sendiri?
Tanpa disadari, jemarinya mengusap perlahan cincin kawin yang masih melingkar di jari manisnya.
Setelah beberapa detik keheningan, akhirnya Stella melontarkan perkataan yang berhasil mengejutkan Mama Elena. "Mama ... aku sudah memutuskan untuk pergi ke villa. Aku butuh waktu untuk berpikir dan menenangkan diri, Mama."
Mama Elena mengerutkan kening. "Ke villa? Apakah itu keputusan yang terbaik, Stella? Kamu tidak sendirian di sini. Kita bisa melewati semua ini bersama."
"Tapi, Mama ... aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan." Jawab Stella dengan suara tercekat, matanya mulai memerah. "Aku ... aku sudah tidak bisa tinggal bersama Rafael. Aku tidak bisa memaafkannya."
Mama Elena menghela nafas panjang. "Baiklah, apapun itu mama akan mendukung kamu. Mungkin dengan kamu tinggal disana kamu bisa mendapatkan sedikit kedamaian di sana. Mama berharap kamu bisa mengambil sebuah keputusan yang tepat walaupun itu menyakitkan."
🍁Villa Keluarga Stella🍁
Suasana di villa milik keluarga Stella terasa sepi. Dengan pohon-pohon besar yang mengelilingi, dan udara sejuk pegunungan yang menenangkan. Villa itu adalah tempat yang sudah lama tidak pernah dia kunjungi sejak menikah dengan Rafael, tetapi sekarang rasanya tempat itu menjadi pilihan terbaik untuk menenangkan dirinya, melupakan segala hiruk pikuk dan kesedihan yang dirasakan. Dia membutuhkan waktu untuk merenung, untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Rafael yang masih menghantui.
Namun, hari-hari di villa tidak sepenuhnya menyembuhkan luka Stella. Setiap kali dia melihat Rafella bermain atau tertidur, hatinya selalu dipenuhi rasa cemas. Rafella yang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi antara Mommy dan Daddy nya, dia terus bertanya perihal Daddy nya yang tak kunjung datang untuk menemuinya. Membuat Stella merasakan sesak kembali di dadanya.
Sudah satu minggu Stella dan Rafella tinggal di villa yang tenang itu. Stella yang sedang duduk di ruang tengah menonton layar kaca lebar, tiba-tiba terdengar suara tangisan halus yang tidak biasa dari kamar Rafella sontak Stella segera beranjak dan berjalan menuju kamar putrinya.
Rafella, kini terbaring lemah di atas ranjang king size yang ada di dalam ruangan itu, yang dihiasi dengan boneka dan selimut warna-warni. Terlihat jelas wajahnya yang pucat dan berpeluh membuat Stella terkejut. Rafella berguling-guling, tampak gelisah, dan mulutnya terus mengigau, menyebut nama yang begitu familiar di indra pendengar Stella. "Daddy ... Daddy ...." suara lembutnya terdengar begitu pilu.
"Rafella ... Sayang, ayo bangun, ini Mommy." Stella berbisik lembut sambil mengusap kening putrinya, namun tak ada respon. Tubuh kecil itu menggigil, matanya terpejam, namun kata-kata yang keluar dari bibir putrinya seperti terngiang di hati Stella, membuatnya semakin kacau.
Tak lama, Mama Elena yang tiba-tiba datang berkunjung ke villa untuk melihat keadaan Stella dan Rafella, cucunya. Melihat suasana yang begitu sepi, Mama Elena memutuskan bergegas menuju kamar Rafella.
"Stella, ada apa dengan Rafella?" Tanya Mama Elena khawatir setelah melihat kondisi cucunya yang terlihat pucat dengan mengigau menyebut Daddy nya, membuat Mama Elena muak dengan apa yang terjadi dengan cucunya.
"Mama, Rafella demam." Jawab Stella singkat.
Mama Elena langsung menghampiri Rafella, meraba kening cucunya, dan mengelus rambutnya. "Sabar, Sayang. Rafella cuma rindu Daddy nya. Itu wajar, anak-anak selalu begitu, terutama saat mereka pertama kali berpisah." Ujar Mama Elena lembut, mencoba menenangkan Stella yang terlihat tertekan.
"Tapi, Ma ..." Stella bergumam, matanya berkaca-kaca, "Aku tidak bisa melihat Rafella menderita seperti ini. Apa yang harus aku lakukan?"
Mama Elena memegang tangan Stella, memberikan dukungan yang dalam. "Kamu harus mendengarkan apa kata hatimu, Stella. Kamu bukan hanya ibu bagi Rafella, kamu juga seorang wanita. Kamu berhak bahagia. Tapi, jangan biarkan keputusanmu dipengaruhi oleh rasa takut atau kebingungan. Percayalah, Rafella akan baik-baik saja, suatu hari nanti dia akan mengerti. Yang penting, kamu harus yakin dengan jalan hidup yang kamu pilih."
Stella menatap putrinya yang masih tertidur. "Tapi, aku merasa seperti tidak bisa memberi yang terbaik buat Rafella. Dia tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan Rafael." Kata Stella, matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku ingin dia bahagia, tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa terus hidup dengan laki-laki yang mengkhianatiku." Sambung Stella yang masih menatap sendu putrinya dengan kegelisahan yang menyelimuti dirinya.
Mama Elena duduk di samping Stella, menggenggam tangannya. "Sayang, kamu sudah melalui begitu banyak hal. Dan Rafella ... dia akan mengerti, meski mungkin bukan sekarang. Cinta itu bukan hanya soal tetap bersama dalam kondisi apapun. Terkadang melepaskan adalah yang terbaik untuk kedamaian hati kita dan juga anak kita. Kamu perlu merasa bebas untuk melangkah ke depan, bukan terbelenggu oleh rasa sakit yang terlalu lama."
Stella menatap ibunya, terhenyak mendengar kata-kata yang penuh kebijaksanaan itu. "Lalu bagaimana dengan Rafella? Apakah dia bisa menerima kalau kedua orang tuanya bercerai?"
Mama Elena tersenyum lembut. "Anakku, dunia memang tidak selalu adil, tapi kamu sudah memberi Rafella cinta yang cukup. Rafella perlahan akan belajar untuk menerima kenyataan dengan caranya sendiri. Yang terpenting, kamu harus tetap menjadi ibu yang kuat dan memberi kehangatan baginya."
Rafella tiba-tiba terbangun, menatap Stella dengan tatapan lelah. "Mommy ... aku mau bertemu dengan Daddy, aku rindu Daddy, Mom ...." Rafella terus merengek di hadapan Stella dan Mama Elena, tatapan nya begitu sendu berharap sang Mommy bisa mengabulkan permintaannya itu.
Stella merasa hatinya kembali hancur mendengar suara putrinya.
'Ya Tuhan ... apa yang harus ku lakukan? Bagaimana jika keputusanku ini salah? Bagaimana jika aku merusak kebahagiaan putriku?'
🍁Mansion Rafael🍁
Rafael baru saja pulang dari perjalanan bisnis yang panjang. Pintu mansion besar itu terbuka, namun suasana yang menyambutnya justru kekosongan yang menyesakkan.
Setibanya di dalam mansion, dia tidak mendapati siapapun. Semua terasa sangat sunyi. Begitu dia memasuki ruang keluarga yang biasa dipenuhi tawa dan ceria putrinya Rafella, kali ini hanya ada keheningan yang memuakkan. Pilar-pilar marmer di sekelilingnya seakan menatapnya kosong, seolah ikut merasakan ketiadaan yang mendalam.
Langkah Rafael berat, pelan, penuh kecemasan. Dia menelusuri setiap ruangan satu per satu kamar tidur, ruang makan, dapur, bahkan taman belakang akan tetapi semua kosong. Hanya ada kesan rumah yang seakan ditinggalkan begitu saja, tak ada Stella, dan Rafella yang biasanya berlarian kecil.
Pikirannya berputar cepat, membayangkan berbagai kemungkinan buruk. "Kemana mereka?" Gumam Rafael sembari menyapu pandang seluruh ruangan. Rafael yang belum ada waktu untuk merenung lebih lama, tiba-tiba terdengar bunyi bel pintu utama yang memecah keheningan mansion yang hampa itu.
Rafael berhenti sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Suara bel pintu seperti harapan yang menembus kegelapan.
"Apa itu Stella ...."
Dengan langkah terburu-buru, Rafael berlari menuju pintu utama, berharap itu adalah pintu yang akan menjawab segala pertanyaannya. Dengan nafas yang sedikit terengah-engah, Rafael membuka pintu besar itu, mengharapkan wajah Stella muncul di depannya.
Namun, yang dia temui justru adalah Angel wanita yang selama ini diam-diam menjadi pengganggu dalam rumah tangganya.
Angel berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun simpel namun masih terlihat cantik. Wajahnya tampak tak mengenal rasa bersalah sedikitpun, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Seolah, kehadirannya di sana adalah hal yang biasa.
"Angel...?" Rafael menatapnya, terkejut dan bingung. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Angel tidak memberikan jawaban langsung. Dia hanya menatapnya dengan tatapan yang penuh tekad, seakan tahu apa yang ingin dia katakan, dan itu bukan hal yang biasa. Perlahan, Angel masuk ke dalam mansion tanpa ada ragu sedikit pun.
"Rafael, Aku datang karena ada hal penting yang harus kamu dengar." Suara Angel datar namun penuh dengan penekanan.
Rafael mencegah Angel untuk tidak masuk lebih jauh ke dalam mansion, dengan nada yang mencoba mempertahankan kendali. "Kamu seharusnya tidak ada di sini. Ada perlu apa kamu datang ke sini, Angel?"
Angel menatapnya, tidak terpengaruh oleh kata-kata Rafael yang bernada menuntut penjelasan. "Aku ingin kamu bertanggung jawab. Kamu harus menikahiku, Rafael. Ini adalah tanggung jawabmu!" Tegas Angel pada Rafael.
"Apa yang kamu bicarakan, Angel?" Suara Rafael terdengar gemetar, namun penuh dengan penolakan. "Aku tidak akan menikahimu. Aku tidak bisa meninggalkan Stella. Aku ingin memperbaiki semuanya, Angel. Aku ingin kembali kepada keluargaku."
Angel tidak mendengarkan. Dengan penuh penekanan, dia mendekat dan memegang bahu Rafael. "Kamu tidak punya pilihan, Rafael. Kamu harus menikahiku, atau aku akan mengungkapkan semuanya ke Stella. Semua yang kita lakukan. Semua yang terjadi di belakang punggungnya.”
Rafael merasa seakan hidupnya terjepit di antara dua dunia yang berbeda. Satu sisi, ada kesalahan besar yang telah dia lakukan, dan di sisi lain, ada janji kepada dirinya sendiri untuk kembali ke keluarga yang sudah hancur akibat ulahnya sendiri. Namun, saat itu juga, hatinya penuh dengan perasaan bersalah dan frustasi. Seharusnya dia di rumah, di samping Stella, bukan terjebak dalam masalah yang dia ciptakan sendiri.
"Aku tetap tidak akan menikahimu, Angel!" Suara Rafael tegas, meski dalam hati dia dipenuhi dengan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
*
"Stella, bagaimana dengan keputusanmu nak ...."
.
.
.
🍁Bersambung🍁