Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9
Keringat dingin membasahi dahi Gathan, napasnya tersengal-sengal di dalam mobil yang terbengkalai. Ia berjongkok di kursi belakang, jantungnya berdetak tak beraturan, berusaha menenangkan diri sambil terus mengawasi jalanan melalui jendela yang retak. Kelompok zombie bergerak lambat di kejauhan, tapi jumlah mereka terus bertambah, seperti badai yang perlahan tapi pasti. Desah angin malam yang dingin menambah mencekam suasana, membelai wajahnya seolah mengingatkan bahwa setiap detik berharga.
"Jasmine... balas dong!" Gathan berbisik dalam hati, tangannya gemetar saat menggenggam ponselnya. Pesan yang ia kirimkan masih belum mendapat balasan, membuat perasaan cemas terus menggerogotinya. "Kenapa dia nggak jawab? Ada apa di sana?"
Ia berusaha keras memikirkan skenario terburuk. Pandangannya beralih ke gerombolan zombie yang lebih besar, mulai bergerak ke arah jalan utama. Jika zombie-zombie itu sampai menyebar ke seluruh kota, situasi akan menjadi tak terkendali. Kepanikan sudah terasa menggantung di udara, dan Gathan tahu, waktu mereka semakin habis.
Sementara itu, Jasmine merasakan kekuatan di balik setiap hantaman pada pintu rumahnya. Tangannya yang kecil dan gemetar berusaha sekuat tenaga untuk menahan pintu yang terus didobrak dari luar. "Tolong... jangan jebol sekarang," desisnya, matanya terbuka lebar dalam ketakutan. Hati kecilnya menjerit, tetapi tidak ada yang bisa mendengarnya.
Pintu itu berguncang hebat, suara kayu retak terdengar memekik di udara. "Oh tidak..." gumamnya, jantungnya berdebar kencang. Dan dalam sekejap, pintu itu hancur. Zombie-zombie yang kelaparan menyeruak masuk, menebarkan bau busuk yang membuat Jasmine ingin muntah. Tanpa banyak pilihan, ia berlari—kakinya menghentak lantai keras-keras—naik ke tangga, menuju atap rumahnya dengan satu-satunya harapan, bertahan hidup.
Tiba di atap, Jasmine menarik napas panjang, matanya terbelalak melihat kegelapan kota yang membentang. Begitu sepi, tapi ia tahu, di bawahnya ada kematian yang menunggu. "Aku terjebak di sini," pikirnya, tangannya meremas ujung jaket dengan gemetar. Dari atas, ia bisa mendengar suara zombie merangkak di seluruh rumah, menghancurkan apa pun yang ada di depan mereka.
"Berapa lama aku bisa bertahan di sini?" Jasmine memandang ke bawah, lututnya lemas melihat jarak yang memisahkannya dari tempat aman. Tapi tidak ada jalan keluar, hanya kegelapan, kematian, dan keputusasaan yang menunggunya.
Di dalam mobil, Gathan menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Diamnya Jasmine, pesan-pesan yang tak terjawab, hanya memperkuat firasat buruk yang menghantui benaknya. "Dia pasti dalam bahaya," pikirnya, perasaan tak berdaya menyelimutinya. “Aku nggak bisa duduk diam di sini.”
Rasa panik mulai mendominasi pikirannya, tapi kemudian muncul tekad yang kuat. "Aku harus menyelamatkan dia," batinnya dengan tegas. Tanpa berpikir panjang, Gathan membuka pintu mobil perlahan, memeriksa sekeliling sebelum keluar. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa bau busuk yang menusuk. Jalanan kosong, tapi tidak ada waktu untuk ragu.
Namun, baru saja ia melangkahkan kaki keluar, sebuah suara geraman tajam terdengar dari belakang. Jantungnya melompat, tubuhnya kaku sejenak, sebelum akhirnya ia menoleh dengan cepat. Dari bayangan gelap, sekelompok zombie dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari yang ia duga mulai mengejarnya.
"Apa... mereka bisa lari?!" pikirnya dengan ngeri, tubuhnya seketika bereaksi. Tanpa berpikir lagi, Gathan berlari sekuat tenaga, seolah hidupnya tergantung pada setiap langkah. Napasnya mulai tersengal, udara dingin menusuk paru-parunya, tapi zombie-zombie itu tidak memberi ampun.
"Aku harus sampai di rumah Jasmine. Aku nggak boleh berhenti sekarang," Gathan berpikir keras, kakinya berderap cepat di atas aspal. Tetapi ketegangan semakin memuncak, langkah-langkah berat di belakangnya semakin dekat. Desahan geraman terdengar makin jelas. "Sial... mereka makin dekat!"
Kota yang biasanya ramai kini seperti kota mati. Hanya suara langkahnya yang terputus-putus dan erangan mengerikan dari zombie yang mengisi malam itu.
Dengan napas yang semakin berat, Gathan tahu waktunya hampir habis. Zombie-zombie itu semakin dekat, dan ia merasa tenaga di tubuhnya mulai menipis. Dalam sekilas pandang ke depan, ia bisa melihat rumah Jasmine—mereka hanya tinggal beberapa blok lagi.
"Sedikit lagi... aku hampir sampai," pikirnya, tetapi langkahnya mulai goyah. Lututnya bergetar, dan kelelahan mulai merasuk. "Tidak... aku tidak boleh jatuh di sini," batinnya sambil mencoba menarik napas lebih dalam.
Namun saat ia melompat ke persimpangan jalan terakhir, tiba-tiba sebuah tangan zombie yang dingin dan busuk meraih bahunya dari belakang.
BRAK! Gathan terjatuh ke tanah, tubuhnya menghantam keras trotoar. Pikirannya berteriak, tubuhnya berusaha meronta, tetapi cengkeraman zombie itu semakin kuat. Sementara dari kejauhan, rumah Jasmine tampak semakin jauh dari jangkauan...
*****
Langit malam yang gelap semakin terasa mencekam, hawa dingin membawa bau busuk kematian. Nizam, Azzam, dan Nafisah berdiri dengan napas yang memburu di depan rumah mereka. Dari dalam, mereka telah melihat kengerian dunia luar yang kini terasa begitu dekat—zombie-zombie berkeliaran di jalanan, suara geraman yang lirih namun menakutkan bergema di telinga mereka.
Nizam, yang biasanya tenang, mengusap keringat dingin di dahinya. "Kita nggak bisa tinggal di sini lagi. Mereka makin banyak," gumamnya dengan nada rendah, mencoba meredam ketakutan yang mulai menguasainya.
"Jadi... kita harus ke mana?" Azzam berbisik, matanya lebar penuh kecemasan. Tubuhnya gemetar, jari-jarinya meremas tepi jaketnya. Ia melirik ke jalanan yang penuh dengan kegelapan, sementara bayang-bayang menyeramkan mulai bermunculan di sudut-sudut.
Nafisah, yang biasanya logis dan penuh perhitungan, menghela napas panjang. "Kita nggak punya pilihan. Kita harus keluar dari sini, atau kita akan terjebak," desisnya, suaranya bergetar tipis, tapi wajahnya mencoba menahan ketakutan.
Dalam keheningan yang berat, mereka memutuskan untuk melangkah. Setiap langkah terasa seperti mendekat pada bahaya. Udara dingin semakin menusuk, menciptakan suasana yang tak nyaman, seolah memberi peringatan pada mereka.
Saat mereka tiba di jalan, mereka langsung berhadapan dengan beberapa zombie. Bayang-bayang mengerikan itu muncul dari sudut gelap, gerakan lamban tapi mengerikan, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Kita nggak bisa lari tanpa melawan," Nafisah menyadari situasinya dengan cepat, tangannya mulai gemetar. "Mereka terlalu dekat."
Nizam tanpa berpikir dua kali, melirik sekeliling dan menemukan sebuah pipa besi tergeletak di pinggir jalan. Tangan gemetarnya menggenggam pipa itu dengan erat. "Aku nggak pernah... melakukan ini sebelumnya," pikirnya dalam hati, namun wajahnya kini dipenuhi tekad yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Demi bertahan hidup...," bisiknya sambil mengayunkan pipa itu ke kepala zombie yang pertama mendekat. Debum keras terdengar ketika besi itu menghantam tengkorak, darah hitam muncrat, dan zombie itu terjatuh tak bergerak di tanah. Nafas Nizam tersengal, tapi matanya dipenuhi teror. "Astaga... aku benar-benar melakukannya..."
Azzam yang melihat pemandangan itu hanya bisa berdiri terpaku. "Apa... apa aku bisa melakukannya juga?" pikirnya, dadanya naik turun dengan panik. Namun, ketika zombie lain bergerak mendekat, dia tahu dia tak punya pilihan. Ia meraih batu yang tergeletak di dekatnya dan dengan tangan yang gemetar, melemparkannya ke arah zombie. Batu itu menghantam bahu zombie, membuatnya terhuyung. Meskipun tak cukup kuat untuk menjatuhkan, itu memberi mereka sedikit waktu.
"Ini gila... ini benar-benar gila," batin Azzam. Kakinya terasa berat, tapi ia tahu tidak bisa berhenti sekarang. "Aku harus... bertahan."
Meski satu zombie telah tumbang, rasa lega itu tak bertahan lama. Dari sudut-sudut gelap, semakin banyak zombie muncul, seolah tertarik oleh suara. Nafisah, yang biasanya mampu berpikir jernih, kini merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. "Mereka makin banyak," suaranya gemetar, matanya melebar melihat kerumunan yang tak terhentikan mendekat.
"Berapa lama lagi kita bisa bertahan?" pikir Nafisah dengan panik, otaknya berusaha menemukan solusi. Namun, ketakutan yang terus menggerogotinya membuatnya sulit berpikir. "Ini nggak akan berakhir dengan baik..."
Nizam melihat wajah cemas Nafisah, dan meskipun ia juga ketakutan, ia mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus terus bergerak," katanya tegas, matanya tetap waspada pada setiap gerakan zombie. "Kita nggak bisa tinggal di sini!"
"Baiklah, baiklah...," gumam Azzam, tapi jelas suaranya gemetar. Tangannya masih menggenggam batu, tapi ia tahu itu tidak akan cukup lama lagi.
Dalam kepanikan yang semakin menyesakkan, mereka menemukan sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan. "Di sana!" Nafisah menunjuk, nadanya penuh harapan.
Tanpa berpikir panjang, mereka bergegas menuju mobil itu. Nafisah mencoba membuka pintu dengan cepat. "Ayo, cepat!" ia berteriak sambil menarik gagang pintu. Pintu itu terbuka, dan mereka segera masuk ke dalam.
Namun, ketika Nafisah mencoba mencari kunci, wajahnya berubah pucat. "Kunci mobilnya... nggak ada!" serunya, panik. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. "Sial... apa kita terjebak di sini?"
Nizam mengutuk pelan di bawah napasnya, sementara Azzam hanya bisa menatap keluar jendela, melihat zombie-zombie mulai mendekat. "Apa kita nggak punya pilihan lain?!" teriak Azzam, suaranya penuh putus asa.
Zombie-zombie mulai mengelilingi mobil, suara geraman mereka terdengar semakin keras. Nafisah menatap Nizam dan Azzam, wajahnya penuh ketakutan. "Kita harus melakukan sesuatu sekarang, atau kita mati di sini," pikirnya dengan ngeri, tubuhnya membeku sejenak.
Sementara itu, Nizam menggenggam pipa besinya lebih erat, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. "Kalau kita nggak bisa keluar dengan cara ini... maka kita harus bertarung."