Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 : Lompatan Gila
Di tengah keheningan yang aneh di ruas jalan kota yang seharusnya ramai, mobil Raisha melaju dengan kecepatan penuh. Suara mesin menderu dan bunyi angin yang menerpa kaca jendela semakin menambah ketegangan di dalam mobil.
Arya duduk dengan tubuh menegang, mencengkeram erat sabuk pengaman di samping Raisha, sementara bibinya yang duduk di belakang tampak lemah, menekan luka di lengannya yang berdenyut nyeri di bawah perban.
Raisha mencoba tetap fokus, mengintip sosok pria kekar yang mengejar mereka melalui kaca spion. Pria belum menyerah. Dia tampak serius dan tanpa ragu menembakkan peluru-peluru yang menghantam sisi belakang mobil mereka, menyebabkan percikan kecil di bodi kendaraan.
Raisha tak gentar, tangannya cepat mengaktifkan mode kendali otomatis penuh.
"Zigzag dan percepat!" perintah Raisha pada sistem AI mobil.
Mobil segera merespons, mulai bergerak dalam pola zigzag yang lincah, menyebabkan pria di belakang mereka kesulitan membidik sasaran. Tembakan-tembakan kembali berdesing, tapi kini meleset dan mengenai aspal kosong atau mobil lain di kejauhan.
Sistem AI mobil mengatur gerakan dengan gesit, bahkan berbelok tajam di persimpangan, membuat mereka selangkah lebih jauh dari pengejaran.
Raisha lalu membuka jendela di sisinya, meraih pistol yang terselip di balik jaket hoodienya. Dengan cekatan, Raisha memposisikan diri, mengambil ancang-ancang untuk membidik ban mobil pria kekar itu.
Arya di sampingnya hanya bisa melihat dengan napas tertahan, wajahnya pucat dan tangan berkeringat dingin.
Raisha melepaskan satu tembakan, namun pria itu menghindar tepat waktu, membuat peluru hanya menggores bodi mobilnya.
"Tetap fokus, Arya," ucap Raisha pelan namun tegas, sekadar menguatkan dirinya sendiri dan Arya. Ia kembali mengatur fokusnya, kali ini mengambil waktu lebih lama untuk mengincar.
Sebuah suara letupan terdengar lagi dari belakang. Peluru hampir mengenai kaca belakang mobil mereka, menciptakan suara yang memekakkan telinga.
Arya mengernyit ngeri, tubuhnya ikut terguncang seiring gerakan mobil yang terus bermanuver tajam untuk menghindari tembakan. Setiap tikungan yang mereka ambil terasa mencekam, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti seabad.
"Ya Allah, semoga kita selamat," bibir Arya bergetar, suaranya hampir tak terdengar.
Raisha, tak menghiraukan desakan takut yang mulai mengintainya, tetap membidik dengan ketenangan luar biasa.
"Kali ini, aku harus berhasil," gumam Raisha sambil mengarahkan pandangannya lagi pada ban mobil pria itu.
Namun lagi-lagi, laju mobil pria tersebut terlalu gesit. Ia terus membelok tajam dengan ketangkasan yang nyaris mengungguli sistem otomatis mobil Raisha. Bahkan sistem AI mengeluarkan peringatan tentang tingkat risiko pengejaran yang semakin meningkat.
"Sial," Raisha mendesis sambil mengisi ulang peluru pistolnya. Ia menarik napas dalam-dalam, membidik lagi, sementara tangannya sedikit bergetar akibat adrenalin yang berpacu di tubuhnya. Ia tak boleh meleset lagi.
Sementara itu, bibinya yang terluka semakin tampak kesakitan, menggigit bibirnya untuk menahan nyeri di lengan. Arya mencoba menenangkan bibinya, meskipun ia sendiri merasakan ketakutan luar biasa, mendengar suara tembakan yang semakin dekat.
Arya berusaha menenangkan diri, tetapi suara peringatan dari sistem mobil tentang bahan bakar yang mulai menipis membuat jantungnya berdegup makin kencang.
Raisha mendengar peringatan itu juga, menyadari bahwa waktu mereka semakin sedikit. Dengan cepat, ia menutup jendela mobil, mengambil alih kemudi sepenuhnya, dan mempercepat laju mereka.
Mobil pria itu tetap mengejar dengan intensitas yang sama, tak memberi celah bagi mereka untuk kabur.
Raisha mengepalkan setir, pikirannya bekerja keras memikirkan langkah berikutnya. Di depannya, terlihat persimpangan tajam yang mungkin bisa ia manfaatkan.
"Arya, Bibi, pegang erat-erat!" serunya tanpa menoleh.
Arya dan bibinya menurut, menggenggam erat kursinya dan menahan napas saat Raisha membelok tajam di persimpangan itu. Mobil mereka hampir tergelincir, tetapi dengan sigap Raisha menguasai kemudi, membuat mobil mereka kembali stabil. Namun, dalam sekejap, ia melihat di spion bahwa pria kekar itu masih saja berada tepat di belakang mereka.
Situasi semakin genting. Raisha menggigit bibir, matanya terpaku pada pria yang mendekat itu. Tubuhnya menegang, keringat mulai bercucuran di dahinya, tetapi dia tahu, dia harus segera membuat keputusan. Sambil mencoba mengatur napas, Raisha meraih senjatanya lagi, bersiap untuk satu upaya terakhir.
Tepat saat ia akan membidik, tiba-tiba mobil mereka oleng karena ceceran oli di atas aspal, membuat Raisha kembali bergegas membantu sistem AI mengendalikan laju mobil.
Deru mesin yang semakin keras menyelimuti kabin, sementara jarak antara mobil mereka dan pengejar semakin menipis. Raisha mengintip dari spion, si pengejar, pria kekar dengan wajah dingin, tampak tak gentar terus memburu, melepaskan peluru demi peluru yang sesekali mengenai badan mobil mereka, meninggalkan bekas goresan dan dentuman yang menggema.
“Raisha, dia semakin dekat! Apa yang harus kita lakukan?!” Arya panik, tubuhnya gemetar, sementara bibinya terdiam di kursi belakang dengan wajah pucat.
Raisha tidak menjawab segera. Matanya fokus ke jalan di depan. Tampak di ujung sana sebuah jembatan layang yang baru dibangun sebagian, menjulang dengan permukaan aspal yang menanjak, berakhir pada tepi yang terpotong dengan kasar.
Ruas jalan layang itu seperti menjadi titik akhir, dengan jarak terbuka di depannya yang menganga lebar, membentang pada ketinggian.
Dengan sigap, Raisha memindai informasi dari hologram yang terpancar di dashboard. Peta digital itu menunjukkan detil dari jembatan yang belum selesai, termasuk ketinggian, sudut kemiringan, dan kemungkinan jarak yang dapat ditempuh jika mobilnya melaju dengan kecepatan penuh.
Raisha segera mengambil keputusan cepat, mengetik beberapa instruksi pada layar sentuh untuk mengaktifkan fitur manuver darurat.
“Mesin, aktifkan sistem manuver lompatan dan pendaratan. Siapkan sirip stabilisator dan roket pendorong untuk menghadapi gravitasi,” perintahnya, suaranya stabil namun penuh ketegasan.
Mobil mereka segera merespons. Suara mesin berubah menjadi raungan yang lebih dalam saat kecepatan semakin meningkat, membuat tubuh mereka terdorong ke belakang. Speedometer menunjukkan angka yang hampir mendekati batas maksimal, sementara lampu indikator berkedip-kedip, menunjukkan bahwa sistem manuver lompatan dan pendaratan sudah aktif.
“Apa kita akan terbang?” tanya Arya, matanya terbelalak ketakutan.
Raisha menoleh sekilas, senyumnya tipis namun penuh kepastian. “Tidak, kita tidak akan benar-benar terbang. Hanya melompat, kemudian mobil ini akan mengendalikan arah dan pendaratan.”
Mobil terus melaju dalam kecepatan seperti peluru mendekati ujung jalan layang yang menanjak, dan detik berikutnya, dengan kecepatan tinggi mobil itu menapak ke tepi tanjakan dan meluncur ke udara.
Dalam sekejap, perasaan ringan muncul, seperti gravitasi mendadak lenyap. Mobil itu melayang di ruang kosong, sementara angin yang menerjang menghentak kabin, membuat Arya semakin panik dan cemas.
Raisha tetap tenang, memperhatikan sistem yang bekerja. Begitu ban depan meninggalkan permukaan jalan, sirip-sirip aerodinamis di bagian samping dan belakang mobil otomatis terbuka dan bergerak otomatis menyesuaikan kondisi, membuat posisi mobil tetap stabil dan horizontal.
Sirip-sirip ini bukan hanya sekadar penyeimbang, tapi juga membantu mengarahkan dan menyesuaikan gerakan mobil di udara.
Roket pendorong di bagian belakang menyala sebentar, memberikan sedikit tambahan dorongan yang diperlukan untuk mencapai sisi seberang jembatan yang masih jauh.
Asap putih tipis keluar dari pendorong itu, menambah kecepatan mobil yang kini sepenuhnya berada di udara. Namun, Raisha tidak hanya mengandalkan dorongan tunggal. Dia dengan cepat mengaktifkan roket-roket kecil di sisi kiri, kanan, dan bawah mobil, masing-masing menyala secara bergantian untuk menyesuaikan arah terbang mobil serta mencegahnya dari kemiringan yang berbahaya.
“Kenapa kita melayang seperti ini?!” Arya bertanya lagi, suaranya nyaris tenggelam dalam ketakutan.
“Tenang saja, Arya. Roket-roket ini akan menyeimbangkan kita,” jawab Raisha dengan tenang, sambil terus memperhatikan detil di dashboard.
Roket di bagian bawah mobil menyala dalam dorongan pendek, memperlambat kecepatan agar posisi mobil tetap dalam jalur yang benar.
Sirip-sirip di bagian belakang mulai bergerak menyesuaikan, sementara sirip serupa sayap kecil di sisi samping mobil terbuka lebih lebar untuk menjaga keseimbangan dalam gerakan melayang.
Ini bukan sekadar penerbangan biasa. Sistem di mobil Raisha dirancang untuk memastikan pendaratan yang presisi meskipun dengan kecepatan penuh dan keadaan melayang di udara.
Di belakang mereka, pengejar tampaknya baru menyadari medan di depan dan langsung membanting kemudi untuk berhenti, namun terlambat. Mobilnya berhenti tiba-tiba, hanya beberapa sentimeter dari bibir jembatan yang curam.
Melihat mobil Raisha meluncur di udara, pria kekar itu hanya bisa menatap dingin, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Raisha melihat jeda ini sebagai kesempatan. Dengan sigap, dia menurunkan kaca jendela dan meraih pistol. Dalam posisi melayang, dia membidik dengan hati-hati ke arah mobil pengejar, lalu melepaskan satu tembakan yang tepat menghantam ban depan mobil pria itu.
“Dorr!”
Sebuah ledakan kecil terdengar, diiringi bunyi pecahan ban. Ban mobil pengejar itu bahkan hampir terlepas, membuat kendaraan hitam itu tak bisa kemana-mana.
Mobil Raisha mulai menuruni jalur lintasan udara mereka, sementara gravitasi perlahan-lahan menarik mereka kembali ke permukaan.
Sirip-sirip yang terbuka secara otomatis menyesuaikan posisi pendaratan, sementara roket pendorong memberikan semburan api pendek untuk memperlambat laju.
Dalam beberapa detik yang menegangkan, ban depan menyentuh permukaan jalan seberang dengan hentakan kecil, diikuti ban belakang yang mengikis aspal, hingga akhirnya mobil mendarat sempurna.
Sirip-sirip yang terbuka kembali melipat otomatis, dan roket pendorong berhenti menyala begitu sistem mendeteksi pendaratan yang aman.
Raisha menahan napas sejenak, mengamati jalan di depan dan memastikan bahwa mobil mereka masih dalam kendali penuh. Arya masih duduk terdiam, terengah-engah, dan bibinya tampak menggenggam sabuk pengaman dengan tangan bergetar.
“Apa... yang baru saja kita lakukan?” Arya berbisik.
Raisha tersenyum tipis, melepaskan napas lega. “Kita baru saja meloloskan diri.”
Namun, di tengah rasa lega itu, Raisha menangkap bayangan di spion. Pria kekar itu masih di sana, meski mobilnya rusak. Dengan langkah sedikit terpincang ia meninggalkan mobilnya dan seperti mencari jalan lain untuk menyusul mereka.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!