Ailen kaget setengah mati saat menyadari tengah berbaring di ranjang bersama seorang pria asing. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tubuh mereka tidak mengenakan PAKAIAN! Whaatt?? Apa yang terjadi? Bukankah semalam dia sedang berpesta bersama teman-temannya? Dan ... siapakah laki-laki ini? Kenapa mereka berdua bisa terjebak di atas ranjang yang sama? Oh God, ini petaka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 20
(Dia lagi?)
Ailen terpaku diam menatap sosok tampan yang sedang tersenyum di hadapannya. Begitu membuka pintu, dia langsung disuguhi pemandangan yang sialnya cukup menyegarkan. Tak bisa berbohong, Derren sangat tampan.
"Kenapa? Sedang mengagumi ketampanan pria-mu?" gurau Derren sambil meng*lum senyum. Dia bahkan berani bersumpah tak akan menolak jika Ailen memintanya untuk pamer abs. Dengan senang hati dia akan membuka semua pakaiannya.
"Derren, apa kau tidak punya pekerjaan lain selain menggangguku?" tanya Ailen.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena mengganggumu adalah aktifitas yang paling ku suka sejak kita menghabiskan malam bersama. Kenangan malam itu terlalu membekas, sayang. Aku bahkan hampir gila."
Tanpa ragu Derren mengakui kembali perasaannya yang langsung jungkir balik setelah kehilangan keperjakaan. Anggaplah dia tak punya rasa malu. Siapalah orangnya yang mampu bersikap munafik di kala malam indah yang sangat berkesan terus berputar di dalam pikiran? Derren tak senaif itu. Dan ya, dia telah mengambil keputusan akan mengejar Ailen sampai di mana pun juga.
"Ekhmm!" Pipi Ailen sedikit bersemu merah. Malu ketika kejadian malam itu kembali diungkit. "Kau bukan hampir gila, tapi memang sudah gila. Tahu?"
"Tidak masalah. Entah itu gila atau tidak, yang penting aku bisa terus melihat kau tersenyum. Sadar tidak, kau itu sangat cantik. Cantik sekali malah," ucap Derren terang-terangan memuji.
"Pria yang pandai membual sepertimu pasti punya banyak sekali wanita simpanan. Iyakan?"
"Mana buktinya kalau aku adalah seorang Casanova?"
"Mana aku tahu,"
"Berarti tuduhanmu tak berdasar, sayang. Lupa ya kalau kau adalah wanita pertama yang menikmati keperkasaan juniorku?"
Blusshhh
Wajah Ailen langsung memerah seperti buah tomat mendengar ucapan vulgar Derren. Antara malu dan juga kikuk, dia memukul dada pria tersebut kemudian mengunci pintu. Harus segera pergi dari sana. Jika tidak, Derren pasti akan kembali menggodanya.
Tap
"Mau ke mana, hm?" bisik Derren di belakang telinga Ailen. Posisi mereka kini seperti sedang berpelukan dari arah belakang. Sangat romantis. Menurut Derren pastinya. Hehe.
"Ke-ke mana lagi kalau bukan ke rumah sakit," jawab Ailen gugup. Posisi ini membuatnya bisa merasakan ada benda tumpul menegang di bawah sana. Dan itu membuat Ailen menjadi panas dingin.
"Aku akan mengantarmu,"
"A-apa?"
"Seluruh dunia harus tahu kalau kau adalah wanitaku. Kau wanitanya Derren. Mengerti?"
Gluk
Ailen menelan ludah. Tetapi itu bukan karena ucapan Derren, melainkan sosok wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"OMG. Vitamin apa yang Tuhan berikan pada mataku di waktu sepagi ini?" ucap Juria sambil menggosok mata, memastikan kalau dirinya tak salah melihat.
"Juria, jangan salah paham dulu. Kami .... "
"Astaga, mereka nyata. Aku tidak salah melihat!"
Derren acuh saat saat perbuatannya tertangkap basah oleh orang lain. Masa bodo. Wajar jika sepasang kekasih saling bermesraan. Hal yang normal.
"Ailen, Tuan Derren, kalian benar pacaran ya?" tanya Juria. Dia masih berada di posisinya dengan satu kaki terayun di udara. Maklum, dia mendadak jadi patung saat sedang berjalan.
"Ya,"
"Tidak!"
Jawaban berbeda membuat Juria mengerutkan kening. Kenapa tidak kompak sekali mereka. Dia kemudian memutuskan mendekat, menyerahkan diri menjadi obat nyamuk. "Jadi mana yang benar? Kalian pacaran atau tidak?"
"Tidak, Juria. Astaga!" jawab Ailen mulai frustasi. Dia lalu menyikut dada Derren yang masih betah memeluknya. "Jangan diam saja. Bantu aku menjelaskan pada Juria kalau kita tidak pacaran."
"Malas."
Singkat, padat, dan jelas. Malas. Pun Derren sangat setuju disalah-pahami oleh wanita yang bernama Juria. Itu akan membawa keberuntungan sendiri untuknya.
"Jangan begitu, Derren. Perbuatanmu membuat temanku jadi salah paham pada kita. Tolonglah. Please,"
"Kau malu punya kekasih sesempurna diriku?"
"Bukan malu, tapi kita tidak sedang terikat hubungan apapun."
"Ya sudah kalau begitu tinggal ikat saja apa susahnya. Iyakan?"
"Yakk!!"
Juria terus memperhatikan dua sejoli yang malah asik berdebat sendiri. Kalau begini sih dokter Fredy sudah pasti kalah. Rivalnya adalah pria tampan sekaligus pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Dokter Fredy tak akan sanggup mengungguli kelebihan Tuan Derren. Kasihan.
(Aku tidak boleh sampai salah memihak. Menjadi pendukung Tuan Derren ku rasa adalah keputusan terbaik. Hehehe)
"Sayang, aku mengantuk. Semalaman tak bisa tidur karena diteror oleh sepasang jin. Tolong temani aku istirahat di kamarmu ya? Aku janji tidak akan macam-macam," ucap Derren lesu. Gara-gara ulah Zara, dia tak bisa tidur barang sejenak akibat teror dari ibunya.
"Jangan gila, Derren. Siapa kau berani memintaku menemanimu tidur? Di kamarku pula. Yang benar saja!" omel Ailen bersungut-sungut kesal. Dia sungguh tak habis pikir dengan keinginan pria ini.
"Aku kekasihmu."
"Ngawur. Kita .... "
"Perlu ku ungkit tentang pertemuan pertama kita yang erotis?"
Kedua mata Juria melotot. Pertemuan pertama yang erotis? Jangan-jangan ....
"Tuan Derren, boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Juria penuh selidik. Feeling-nya mengatakan pria yang telah membungkus Ailen adalah orang ini. Clue-nya terlalu jelas, tinggal memastikan saja.
"Hmmm,"
"Beberapa waktu lalu apa kau pernah bertemu dengan wanita yang sedang mabuk? Di club."
Derren melirik sekilas ke arah Juria. Setelah itu dia memejamkan mata membenamkan wajah di rambut Ailen. Derren berbisik. "Coba tebak reaksi seperti apa yang akan muncul di diri temanmu jika tahu kalau malam itu kau menginap bersamaku. Pasti heboh. Dan aku jamin seisi rumah sakit akan tahu kalau kita pernah menghabiskan malam yang begitu berkesan."
Sekujur tubuh Ailen merinding hebat mendengar tarikan napas Derren yang begitu berat. Juga dengan ancaman mengerikan yang diucapkannya.
"Jangan katakan. Ku mohon,"
"Kalau begitu biarkan aku masuk dan tidur di ranjangmu. Sungguh, aku tak tahan lagi ingin segera memejamkan mata."
"Oke,"
Tanpa mengindahkan keberadaan Juria, Ailen kembali membuka pintu kamar apartemennya kemudian menarik Derren masuk ke dalam. Setelah itu dia mengajaknya ke kamar, merelakan ranjang empuk miliknya untuk ditiduri.
"Sudah puas sekarang?"
"Belum." Derren menatap Ailen sambil berbaring. Satu tangannya menepuk bantal, memberi kode agar si pemilik kasur segera datang mendekat. "Temani aku tidur. Atau aku akan memberitahu Juria tentang apa yang terjadi di club. Bagaimana?"
"Kau jangan malah tidak tahu diri begitu, Derren. Aku harus segera berangkat ke rumah sakit untuk bekerja. Tolonglah,"
Derren menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil ponsel di saku celananya. Menunggu orang yang dia telpon menjawab, dia terus menatap Ailen yang terlihat kesal. "Julian, hari ini Ailen punya tugas yang jauh lebih penting ketimbang merawat para pasien di ruang bedah. Tolong kau urus surat ijinnya."
Ailen melongo.
"Sekarang sudah beres. Kau tidak lagi punya alasan untuk menolak menemaniku tidur. Jadi kemarilah. Peluk dan manjakan aku seperti bayi,"
"Derren,"
"Ya, sayang. Kenapa? Ingin memuji kepintaranku?"
"Kau ... sangat menjengkelkan. Huh!"
"Yes, i'm."
***