🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Ganti baju lo, jangan kek gembel gini." protes El saat melihat Ruka lagi-lagi mager di atas tempat tidur.
"Ogah! Gue nyaman pakai baju gini. Ribet lo!"
"Gue bilang ganti Ruka! Lo mau—"
"Mau gue gantiin atau ganti sendiri?" sambar Ruka yang sudah sangat hafal dengan pola ancaman El.
El terdiam, mulutnya sedikit terbuka seolah hendak membalas, tetapi akhirnya hanya terkekeh pelan. "Wah, sekarang lo udah paham pola gue, ya? Hebat juga."
Ruka melipat tangannya di dada, menatap El dengan tatapan menantang. "Ya iyalah, gue udah kebal sama gaya lo. Jadi, stop ngatur-ngatur hidup gue, oke? Gue nyaman pakai baju gembel ini. Lo gak suka, jangan liat."
El mendekat, menyipitkan mata sambil menunjuk kaos kebesaran dan celana kolor belel yang dikenakan Ruka. "Gembel ini bukan cuma gak enak dilihat. Ini juga bikin mata sakit, Ruka. Gue gak ngerti, lo nganggap ini nyaman atau cuma males doang?"
"Denger, El. Ini bukan tentang males. Ini tentang... fashion statement."
El terbahak, "Fashion statement? Gila, gue gak tahu kalau lo masuk majalah mode edisi 'Gembel Chic'! Ntar gue beli deh!"
"Terserah!" Ruka merebahkan diri kembali ke tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya. "Lo ngapain juga repot ngurusin gue. Hidup lo sendiri udah cukup berantakan kan?"
Mendengar itu, El mendadak terdiam. Senyumnya perlahan memudar, tetapi hanya sesaat. Dia mengambil selimut Ruka dengan gerakan cepat, menariknya hingga tubuh Ruka terpapar sepenuhnya. "Bangun! Ganti baju sekarang, atau gue telanjangi dan gue pake in baju."
Ruka mengerang kesal, menendang-nendang selimut yang kini sudah direbut El. "Ribet lo, nyusahin orang!?"
"Gue hitung sampai tiga, kalau gak—"
"Iya-iya! Bosen gue lo ancem mulu."
El tersenyum tipis, berdiri dan mengangkat tangan untuk mengacak rambut Ruka asal, "nah gitu dong nurut sama suami."
"Nih giti ding nirit simi siimi." ulang Ruka mengejek.
"Gue tunggu dibawah, dandan yang cantik ya istriku, kita dinner."
"Dindin ying cintik yi..." Ruka melempar bantal ke arahnya, tapi El berhasil menghindar sambil tertawa lebar.
***
"Apa-apaan lo!" El mendengus kesal saat melihat Ruka menghampiri dengan Hoodie kebesar dan dipadukan dengan celana pendek yang hanya sejengkal. "lo mau jadi cabe-cabean? Ganti celana lo!"
"Apa sih, gue nyaman pakai ini."
"Haruka!"
"Apa?"
"Ganti celana lo, atau kalau gak, gak usah pakai celana aja sekalian."
Ruka melongo mendengar ucapan El. Wajahnya yang awalnya datar kini memerah, campuran antara kesal dan malu. "Lo gila ya? Ngomong apa barusan?!"
El hanya mengangkat bahu dengan santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Gue serius. Kalau lo niat keluar rumah dengan outfit kayak gitu, mending sekalian aja gak usah pakai celana. Sama aja, kan?"
Ruka menggeram, tangannya mengepal. "El, lo itu ngapain sih, ngurusin gue sampai detail begini? Gue nyaman pakai ini, jadi udah. End of discussion!"
"Gue risih, serasa jalan sama cabe-cabean, tau gak sih! Gue gak suka, paham?"
"Lo gak suka? Yaudah, tutup mata lo. Gue keluar pakai ini, dan lo gak usah lihat."
"Ganti Haruka!"
"El, gue udah gede! Gue tahu apa yang pantas gue pakai dan apa yang enggak. Lo gak punya hak ngatur gue, oke?"
"Gue suami lo, gue ingetin lagi kalau lo lupa."
Ruka speechless, tak bisa mendebat lagi. Ya, El Zio memang punya hak untuk mengatur hidupnya.
"Yaudah," akhirnya Ruka menurut, walaupun sambil menggerutu berbalik menuju kamar. "Lo menang. Gue ganti, tapi abis ini jangan ngatur-ngatur gue lagi."
"Jangan lama-lama, gue lapar."
Dari dalam kamar terdengar suara bantingan pintu lemari. Ruka masih mengomel, tapi El hanya terkekeh. "Dasar kepala batu," gumamnya sambil menyeringai.
***
Kini mereka berdua ada di sebuah warung pinggir jalan. "Mau beli mie ayam aja ribet, pakai suruh-suruh gue ganti baju." gerutu Ruka sambil duduk di meja. El mendudukkan dirinya disebelah Ruka.
"Disana masih luas, ngapain lo deket-deket gue."
"Disini adem kena kipas, jangan ke GR-an lo."
Ruka memutar bola matanya, merasa kesal. "Alasan lo selalu bikin gue pengen jitak kepala lo," gumamnya.
"Jitak aja, asal lo bayar makanan gue abis ini."
Ruka menatapnya tajam. "Lo yang ngajak makan, kok gue yang bayar?"
"Kan lo istri gue. Istri baik hati itu selalu mendukung suaminya, termasuk soal makan."
"Elo yang sebagai suami, mana ada lo kasih gue nafkah?"
"Ada."
"Mana?"
"Nanti pulang dari sini gue kasih lo nafkah batin."
"Cih!" Ruka berdecih, "itu sih mau lo!"
"Emang lo gak mau?"
"Apaan sih, gaje banget. Dasar omesh!"
El terkekeh, mencondongkan tubuhnya ke arah Ruka. "Omesh-omesh gini juga, harusnya lo bersyukur punya gue. Gue itu suami yang perhatian."
"Perhatian apanya? nyebelin, iya."
"Nyebelin tapi ngangenin kan?" balas El tanpa ragu, sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. "Mau sesebal apa pun, ujung-ujungnya lo tetap di sini makan bareng gue."
Ruka diam, tak ingin memperpanjang adu mulut yang hanya akan membuat kepalanya tambah panas. Dalam hati, dia mengakui kalau El memang benar-benar menyebalkan, tapi entah kenapa kehadirannya membuat Ruka merasa... sedikit lebih baik.
Tak lama, mie ayam mereka datang. El langsung menyeret mangkuknya mendekat, sementara Ruka hanya memandangi asap yang mengepul dari kuah hangat di hadapannya. "Gue makan duluan, ya," kata El santai sambil menyendok mie ke mulutnya.
"Lah, siapa juga yang mau nungguin lo makan duluan," balas Ruka sambil mengambil sumpit. Meski kesal, dia mulai menyantap makanannya dengan perlahan.
Sambil makan, El menoleh ke Ruka, memperhatikan wajah gadis itu yang mulai lebih rileks. "Enak, kan? Gue bilang juga apa, makan itu bikin lo happy. So, kalau lagi kesel mending makan. Gue temenin deh mau kulineran kemanapun."
"Serius?"
"Hmmm..." Jawab El, sambil menyeruput kuah mie ayam.
Ruka mendengus kecil, memainkan sumpitnya sambil melirik ke arah El. "Kayaknya lo cuma cari alasan buat makan gratis, deh."
El meletakkan sendoknya, "ya bisa dibilang begitu." El tertawa renyah, membuat suasana di warung yang semula sederhana jadi terasa lebih hangat.
"Dasar!"
Setelah menyantap mie ayam hingga tandas, El bersandar santai di kursinya, lalu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah kartu debit berwarna gold dan meletakkannya di meja, tepat di hadapan Ruka.
"Bayarin, ya," ujarnya santai. "PIN-nya tanggal pernikahan kita."
Ruka membelalakkan matanya. "Heh?! Serius lo?"
El hanya mengangguk ringan, seperti itu adalah hal paling wajar di dunia. Ia kemudian bangkit dari tempat duduk, merapikan jaketnya, dan bersiap pergi. "Gue tunggu di parkiran. Mau ngerokok dulu."
Tanpa menunggu jawaban dari Ruka, ia melangkah keluar, meninggalkan gadis itu yang masih duduk termangu sambil menatap kartu gold di tangannya.
"Ini gue istri apa babu, sih?!" gumam Ruka, mengerucutkan bibirnya kesal. Tapi, seperti biasa, ia akhirnya menuruti saja permintaan El. Setelah membayar tagihan makan mereka, ia keluar dari warung dan menemukan El tengah duduk santai di pinggir trotoar, rokok terselip di antara jarinya.
Ruka menghampiri El dengan langkah malas, lalu menyodorkan kartu debit yang tadi. "Nih, yang mulia," katanya ketus.
El, yang baru saja mengisap rokoknya untuk terakhir kali, menatapnya dengan senyum samar. Ia mematikan puntung rokoknya di atas trotoar, menginjaknya hingga api kecilnya padam. Kemudian, dengan santai, ia berkata, "Pegang aja. Pakai buat kebutuhan rumah sama kebutuhan lo."
Ruka mengerutkan kening, menatap kartu itu di tangannya seolah itu benda asing. "Apa? Serius lo?" tanyanya, setengah tak percaya.
El mengangguk, lalu berjalan menuju motor mereka tanpa berkata banyak. "Ayo, balik," ujarnya singkat, melambaikan tangan agar Ruka mengikutinya.
Ruka masih diam di tempat, memandangi punggung El yang semakin menjauh. Kartu debit itu terasa dingin di tangannya, tapi entah kenapa ada sesuatu yang hangat di dalam dadanya. Bukan karena kartu itu, tentu saja, tapi karena perhatian kecil di balik tindakan El—meski caranya sering membuat kepala Ruka ingin meledak.
Dengan mendesah panjang, Ruka menyelipkan kartu itu ke dalam kantongnya dan berjalan mengejar suaminya. "Lo tuh ngeselin, tapi... ya udah, deh," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Bersambung...