Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20_Kehidupan Baru di Rumah Nenek
“Lihatlah kelakuan bapakmu, Nak. Ibu sudah tidak sanggup lagi. Rasanya ibu ingin mati saja,” ujar Sumi dengan suara bergetar kepada Santi, anak sulungnya.
“Jangan berkata begitu, Bu. Kalau ibu pergi, siapa yang akan menemani Santi dan adik-adik? Ibu harus sabar,” ucap Santi menenangkan.
Sumi hanya terdiam. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Hatinya hancur, merasa Burhan—suaminya—begitu tega kepada dirinya dan anak-anak mereka.
“Riski, Ridho, Ujang, pijat punggung bapak. Bapak capek menunggu kalian tadi di teras rumah. Bapak juga lelah membereskan semua barang kalian yang tadi diletakkan di luar,” perintah Burhan dengan nada arogan.
Ia telah berbaring tengkurap, menunggu ketiga anak laki-lakinya untuk memijat tubuhnya.
Riski, yang masih trauma karena tamparan keras dari ayahnya sebelumnya, hanya diam. Dalam hatinya, ia ingin sekali melawan, tetapi takut.
“Ayo, Riski, Ridho, Ujang, pijat punggung ayah. Jangan jadi anak durhaka! Nanti kalian kualat,” tambah Burhan, seperti biasanya mengeluarkan ancaman untuk menutupi kesalahannya sendiri. Ia merasa berkuasa hanya karena statusnya sebagai orang tua.
Namun, Riski memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, diikuti oleh Ujang dan Ridho tanpa berkata sepatah kata pun.
Burhan yang menyadari sikap anak-anaknya merasa amarahnya memuncak, tetapi ia mencoba menahannya. Ia sadar ini bukan rumah mereka, melainkan rumah Pak RT, sehingga ia hanya mampu menggigit bibir, menahan emosi.
“Kenapa kalian ke sini? Bukannya istirahat?” tanya Santi saat melihat adik-adiknya masuk ke kamar.
“Males, Mbak. Kesal lihat bapak. Aku mau istirahat di sini saja,” jawab Riski sembari membentangkan kasur lipat yang ada di kamar.
“Aku juga malas, Mbak. Gara-gara bapak, kita jadi seperti ini. Tapi anehnya dia masih punya muka menyuruh kita mijat dia,” sambung Ridho dengan nada kesal.
Ujang hanya diam, lalu ikut berbaring di samping Riski.
“Baiklah, kalian tidur saja,” ujar Sumi sambil menghela napas panjang. “Santi, kunci pintu. Ibu juga mau tidur.”
Santi segera beranjak dan mengunci pintu. Malam itu, mereka semua terlelap. Namun, kelelahan fisik mereka tidak seberapa dibandingkan kelelahan hati dan pikiran yang terus menghantui.
*****
Tepat pukul 17.30, suara ketukan pintu terdengar dari luar.
“Tok… tok… Bu Sumi, Santi, ayo makan, Nak,” panggil Bu Lela, istri Pak RT, dari balik pintu.
Santi yang terbangun langsung menuju pintu, sementara adik-adiknya mulai terbangun satu per satu, meskipun tidur mereka tidak nyenyak.
“Eh, Bu RT,” sapa Santi dengan senyum kecil.
“Bangunkan adik-adikmu, San. Ibu sudah memasak banyak untuk kalian. Jangan sungkan, ayo makan bersama,” ucap Bu Lela ramah.
Bu RT dan suaminya memang dikenal baik hati. Meski kehidupan mereka juga sederhana, mereka selalu ringan tangan membantu warga yang membutuhkan.
“Iya, Bu RT. Terima kasih,” jawab Santi, lalu kembali ke dalam kamar.
“Dek, ayo kita makan. Bu RT sudah memanggil,” ajak Santi kepada adik-adiknya.
Namun, Riski menggeleng. “Males, Mbak. Kita ikut makan di sini saja, ya?” ucapnya pelan. Adik-adiknya yang lain mengangguk, setuju dengan Riski.
Santi kemudian membangunkan ibunya. “Bu, bangun, Bu. Bu RT sudah memanggil kita untuk makan,” ujarnya sambil menggoyang tubuh Sumi yang masih terbaring.
Namun, tidak ada respon.
“Bu… bangun, Bu!” seru Santi lebih keras, tetapi tubuh ibunya tetap diam.
Adik-adik Santi yang mendengar mulai mendekat dan ikut memanggil ibunya. Burhan, yang tidur di kamar sebelah, juga terbangun dan berlari ke arah mereka, diikuti Pak RT dan Bu RT.
“Ada apa ini?” tanya Pak RT cemas.
Santi menangis histeris. “Pak RT, ibu tidak mau bangun,” katanya dengan suara tercekat.
Pak RT segera mengecek denyut nadi Sumi. Setelah beberapa detik, ia menarik napas panjang dan berucap pelan, “Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.”
Sumi telah tiada.
Santi tidak bisa menahan tangisnya. “Ibu… jangan tinggalkan kami, Bu…” suaranya pecah, diikuti tangisan adik-adiknya. Sisil dan Lili yang masih kecil hanya menangis tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
*****
Hari itu, mereka duduk di samping makam ibunya. Santi mengelus lembut nisan ibunya, air matanya kembali mengalir.
“Mbak, kenapa ibu dikubur?” tanya Lili polos. Pertanyaan itu menambah luka di hati Santi. Ia hanya menarik Lili dan Sisil ke pelukannya.
“Kalian harus kuat, ya. Masih ada Mbak yang sayang sama kalian,” ucapnya, mencoba menguatkan mereka.
“Iya, Mbak. Sisil janji tidak akan nakal lagi, tidak akan minta Barbie lagi,” kata Sisil polos, membuat Santi tersenyum getir.
Ia mencium kening kedua adik kecilnya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, bagaimana kehidupan mereka nanti tanpa ibu di sisi. Namun, ia berjanji akan melindungi adik-adiknya sepenuh hati.
Burhan kemudian mendekat. “Santi, bawa adik-adikmu. Kita akan pulang ke rumah nenekmu. Di sini, kita sudah tidak punya tempat lagi,” ujarnya dingin.
Meskipun Riski terlihat ingin marah, ia hanya bisa mengepalkan tangannya. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti ayahnya.
Santi berbisik lembut, “Ayo, Dek. Nanti kita kembali lagi untuk berziarah ke makam ibu.”
*****
Perjalanan ke rumah nenek di kampung terasa panjang dan melelahkan. Burhan telah membeli tiket kereta untuk dirinya dan keenam anaknya. Mereka akhirnya tiba di sebuah stasiun kecil di kota terpencil setelah perjalanan selama empat jam.
“Santi, bangunkan adik-adikmu. Kita sudah sampai,” perintah Burhan setelah turun dari kereta.
Santi membangunkan adik-adiknya satu per satu. Mata mereka masih berat, tetapi mereka segera mengikuti Santi keluar.
“Kita mau ke mana, Mbak?” tanya Ujang sambil mengucek matanya.
“Ke rumah nenek. Orang tua ayah,” jawab Santi sambil membantu adik-adiknya membawa barang-barang.
Hanya Santi yang pernah ke rumah nenek saat kecil. Riski juga pernah, tetapi ia masih terlalu kecil untuk mengingat. Kini, jalan menuju rumah nenek terasa asing bagi mereka semua.
Burhan memesan dua becak untuk mereka. Santi mengatur adik-adiknya dengan sabar, memastikan semua duduk dengan aman sebelum ia sendiri naik.
Jalan menuju rumah nenek masih berbatu dan berlubang, sesekali ada genangan lumpur akibat hujan. Angkutan yang tersedia hanya becak, dan ongkosnya cukup mahal untuk ukuran mereka.
Setelah 30 menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah nenek, sebuah rumah kayu sederhana di pinggir desa.
Mak Erot, ibu Burhan, keluar menyambut dengan ekspresi datar. Jelas terlihat bahwa ia tidak terlalu senang melihat cucu-cucunya ikut serta.
“Bagaimana kabar, Mak?” tanya Burhan sambil memeluk ibunya.
“Baik,” jawab Mak Erot singkat. “Ayo masuk.”
Meski sikap nenek tidak hangat, Santi tahu mereka tidak punya pilihan. Ini satu-satunya tempat yang tersisa untuk mereka berlindung. Dengan hati yang berat, ia menggenggam tangan adik-adiknya, membawa mereka masuk ke rumah nenek yang terasa asing, namun kini harus mereka sebut sebagai rumah.