Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 25
Intan duduk dengan gelisah di depan penginapan. Berkali-kali ia melihat jam tangannya. Entah mengapa jarumnya terasa bergerak begitu lambat.
Andre sebenarnya belum terlambat menjemputnya, tapi nyatanya dia sudah tak sabar untuk segera pergi ke rumah ayah tirinya.
Beberapa menit kemudian, mobil Andre tiba. Intan dengan tergesa menghampiri dan segera masuk ke dalamnya.
"Kau sudah menungguku dari tadi?", tanya Andre heran melihat Intan sudah siap bahkan menunggunya di depan penginapan.
Intan hanya mengangguk, sepertinya ia enggan bercakap-cakap. Pikirannya hanya tertuju pada Tiara.
Cukup lama mereka berkendara sebelum akhirnya sampai di kediaman ayah mereka. Di halaman juga terlihat mobil yang dikenali Andre sebagai mobil Pierre. Dalam hatinya, Andre kembali merasa geram mengingat pengakuan Pierre tadi siang. Kemudian dia melihat ke arah Intan yang sepanjang perjalanan hanya diam dan tampak murung.
Muncul rasa iba dalam hatinya setelah melihat kekecewaan dari Intan dan juga Tiara. Dalam hati dia sudah menetapkan, di pihak mana dia akan berdiri. Dan yang pasti bukan di pihak ayah dan kakaknya.
Intan ingin buru-buru masuk ke dalam, tapi Andre mencegahnya.
"Intan, sabar. Aku tahu kau berharap bertemu Tiara di dalam. Tapi alangkah baiknya, kau melakukan ini dengan elegan. Jangan sampai kau menampakkan emosimu di depan Pére dan yang lainnya", ucap Andre mengingatkan.
Intan menghela nafasnya. Ia merasa apa yang dikatakan Andre ada benarnya. Kemudian dia merapikan pakaian dan hijabnya lalu menggandeng tangan Andre. Mereka berdua kemudian berjalan perlahan menuju rumah Phillippe.
Sesampainya di dekat teras, ada seorang wanita berhijab yang membawa beberapa berkas menghampiri mereka.
"Maaf Tuan de Bourbon, saya yang ditugaskan untuk menemui anda. Ini beberapa dokumen yang harus segera dievaluasi dan membutuhkan persetujuan anda malam ini juga. Saya terpaksa mengganggu anda di sini. Saya tadi menunggu anda di kantor, tapi sepertinya anda tidak jadi ke sana", ucapnya gugup.
Andre mengerutkan dahinya tak senang. Dia mengerti pentingnya dokumen-dokumen itu, tapi urusan Intan dan Tiara saat ini menjadi prioritasnya.
"Aku lupa", sahutnya enteng.
"Dari mana?!", tanya Andre dengan wajah gusar.
"Cabang Lyon, tuan", wanita itu sedikit gugup melihat ekspresi Andre.
"Aku harus ke dalam dulu. Setelah selesai urusanku, baru nanti akan aku periksa", Andre mengajak Intan untuk segera masuk ke dalam rumah.
Intan merasa iba melihat wanita itu. Terlihat sekali di wajahnya rasa lelah dan kekecewaan karena harus kembali bersabar untuk menunggu atasannya. Apa dia sudah makan? Bagaimana kalau dia perlu sholat?
Tapi pikirannya tentang itu tiba-tiba buyar, ketika dilihatnya sosok yang begitu dirindukannya tengah duduk diam di salah satu sofa di ruang tengah.
"Tiara!", panggil Intan dengan haru.
Tiara melihat ke arahnya, kemudian langsung menghampiri dan memeluknya. Untuk beberapa saat, mereka hanya bisa menangis.
"Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?", tanya Intan dengan derai air mata yang tak bisa dihentikan.
Tiara mengangguk, juga dengan tangisan yang masih terdengar lirih.
"Selamat datang kembali di rumah, Intan putriku", terdengar suara Phillippe yang terlihat baru turun dari lantai atas dengan pakaian formal serta tatanan rambut yang rapi klimis.
Intan tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sepertinya Phillippe benar-benar tak merasa bersalah.
Sementara Andre dan Pierre saling menatap tajam. Kemudian terlihat Celine seperti mengingatkan Pierre untuk lebih tenang.
"Hari ini adalah hari terbaik, karena semua anak dan cucuku berkumpul di sini. Aku tak bisa mengharapkan yang lebih lagi dari ini", ucapnya dengan wajah sumringah, tapi tidak dengan wajah anak-anaknya.
"Ayo kita ke ruang makan", ajaknya sambil menuntun kedua cucunya, anak dari Pierre dan Celine.
Andre dan Pierre masih beradu mata dengan tatapan permusuhan. Tapi tentu saja mereka tak akan mengumbar emosi di depan Phillippe, ayah mereka. Mereka akan lebih memilih berpura-pura akur satu sama lain.
Makan malam itu berlangsung hambar. Para Chef makanan halal di dapur yang memang disewa Phillippe dalam rangka kedatangan kedua putrinya pun merasa was-was. Baru kali ini masakan mereka tak menuai komentar apapun dari klien. Tak juga ada perbincangan hangat di meja makan itu, apalagi canda dan tawa. Hanya obrolan kaku sekedar basa-basi agar tak terlalu sunyi.
"Baiklah, mungkin ini saat yang tepat bagiku untuk mengumumkan sesuatu pada kalian semua", ucap Phillippe saat mereka semua sudah selesai dengan hidangan makan malam.
Keempat saudara itu hanya saling pandang, takut dengan apa yang akan disampaikan oleh ayah mereka.
"Aku punya berita bagus, Louis Vermont secara resmi sudah melamar Tiara padaku tadi pagi", ucapnya dengan wajah cerah.
Sementara wajah anak-anaknya terlihat tegang, terutama Tiara yang memang belum mengetahui sama sekali tentang permasalahan itu. Segera ia bermaksud protes pada ayahnya, tapi Intan buru-buru mencegahnya dengan menggenggam tangannya dan menggeleng samar.
Tiara menatap heran pada Intan. Intan mengerti kebingungan Tiara, tapi dia tak bisa menjelaskan maksudnya sekarang.
"Sabar Ra, nanti Mbak jelaskan", ucapnya pelan dengan wajah tegang.
Tiara pun menurut saja, meski dengan pikiran yang diliputi banyak pertanyaan dan kebingungan dengan apa yang tengah terjadi.
"Aku menjadwalkan pertemuan antar kedua keluarga lusa nanti. Aku mengharapkan suasana yang akrab dan kekeluargaan. Jadi mungkin kita akan melakukannya di villa milik Andre, karena itu yang terdekat dari Paris", ucapnya tegas tanpa memberikan peluang bagi yang lain untuk memberi usulan, apalagi protes.
Mendengar hal itu, Andre hanya bisa tersenyum pahit.
"Tentu saja, kalau menurut Pére itu yang terbaik", sahutnya sambil menahan gemuruh di dadanya.
Phillippe tersenyum puas mendengarnya.
"Pére, kalau boleh malam ini aku ingin menginap di sini bersama Tiara" pinta Intan.
Phillippe hanya tersenyum seraya mengangguk-angguk.
"Baiklah, tentu saja boleh. Lagipula ini juga rumahmu. Kau boleh menginap di sini kapan pun kau mau"
"Terima kasih Pére", sahut Intan lega.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Oh, maaf. Aku permisi sebentar"
Ia segera menuju ke teras depan dan mendapati pegawai Andre tadi masih setia berdiri menunggu dengan wajah lesu.
"Maaf, apa kau perlu sesuatu? Apa kau sudah makan?", tanya Intan dengan raut prihatin melihat keadaan wanita itu yang sepertinya sangat kelelahan.
"Tidak apa-apa nona. Aku baik-baik saja, terima kasih", sahutnya sungkan.
Namun Intan tak terima begitu saja ucapannya.
"Ikut aku", katanya seraya menarik lengan wanita itu menuju ke sebuah pintu di bagian samping bangunan rumah.
Dari situ, mereka bisa menuju ke bagian dapur. Intan menyuruh wanita itu untuk duduk, kemudian meminta seporsi menu dari seorang chef.
"Makanlah", ucap Intan seraya mengambilkan sebotol air mineral dari kulkas.
Wanita tersebut hanya diam, dengan wajah yang sedikit bingung dan juga khawatir.
"Tenang saja, ini makanan halal. Ayahku mempekerjakan chef muslim untuk aku dan adik perempuanku", terangnya, seolah memahami kekhawatiran tamunya.
Wanita itu tersenyum, kemudian mulai makan dengan lahap namun juga terlihat malu-malu. Intan merasa senang melihatnya.
"Oh ya, namaku Intan", ucap Intan seraya mengulurkan tangan.
"Saya Fatima, terima kasih banyak atas kebaikan anda. Semoga suatu saat saya bisa membalasnya", sambutnya dengan sungguh-sungguh.
"Apa kau sudah sholat? Kau bisa melakukannya di salah satu kamar yang tadi kita lewati. Aku akan meminta tolong salah satu pelayan untuk menyiapkannya. Sekarang aku harus kembali ke ruang tengah", ucap Mita yang diangguki Fatima.
Sesampainya di sana, Intan tak mendapati Pierre dan keluarganya. Rupanya mereka sudah pulang. Demikian juga dengan Phillippe yang kini entah ada dimana.
Sementara Andre terlihat masih di situ dan berbicara dengan Tiara. Intan pun segera menghampiri keduanya.
"Mbak, apa betul yang dikatakan Pére dan Andre, kalau aku akan dinikahkan dengan Louis?", tanya Tiara dengan wajah panik.
Intan hanya bisa terdiam.
"Mbak, maksudnya ini gimana? Aku gak mungkin bisa menikah dengan Louis, Mbak. Aku sudah jadi isterinya Mas Arya. Apa Pére gak tahu?", cecar Tiara pada Intan yang dilihatnya tak jua memberikan penjelasan apapun padanya.
Intan masih diam, kemudian mengalihkan pandangannya pada Andre.
"Andre, sebaiknya kau temui karyawanmu tadi. Dia ada di dapur, sedang makan. Kau sungguh keterlaluan membuatnya menunggu sampai kelelahan dan kelaparan begitu. Seharusnya kau bersikap lebih baik ke mereka yang telah membantumu menjalankan bisnismu", ucap Intan ketus.
Andre sedikit kaget dengan ucapan Intan. Ia kemudian berdiri dan berjalan menuju dapur.
"Kita ke kamarmu sekarang. Akan Mbak ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mbak harap kamu bersabar dulu untuk sementara waktu. Mbak akan mencoba mencari jalan keluarnya", ucap Intan sambil menarik tangan Tiara.
*******
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.45 WIB. Sementara itu Rizal dengan motornya sudah sampai di halaman rumah mewah milik Ibrahim Hasan. Ya, Rizal memutuskan untuk datang setelah mempertimbangkan beberapa hal. Zaki betul, kesempatan ini mungkin tak akan bisa mereka dapatkan lain kali.
Sebenarnya Rizal merasa tak percaya diri untuk datang ke sana, apalagi hanya mengendarai motor. Tamu yang lain semuanya menggunakan mobil mahal, sedangkan motor-motor yang ada di situ sepertinya milik para pekerja di rumah itu.
Rizal bahkan sempat gugup saat di gerbang dan diperiksa oleh keamanan. Ia ragu apa mungkin dia akan diijinkan masuk. Tapi yang terjadi ternyata di luar dugaan. Begitu dia menyebut namanya, petugas di situ langsung mempersilahkannya masuk.
Mobil di halaman rumah itu malam ini lumayan banyak. Sepertinya tuan rumah juga tengah mendapat kunjungan dari beberapa orang selain Rizal. Kalau dilihat lagi, suasana rumah ini lebih mirip sebuah kantor ketimbang tempat tinggal.
Rizal jadi lebih bersemangat, berharap bisa bertemu dengan orang-orang di sekeliling Ibrahim Hasan terutama yang anggota kepolisian. Rasa geramnya terhadap oknum yang menyalahgunakan jabatan membuatnya bertekad untuk mencari tahu siapa saja di kesatuannya yang terlibat mafia kasus.
Dia merapikan rambutnya yang sedikit acak bekas memakai helm. Juga pakaiannya yang sedikit kusut akibat terkena angin jalanan. Kemudian dengan mantap dia akhirnya melangkah menuju ke pintu masuk bangunan besar di hadapannya.
Di depan pintu itu, ada dua orang petugas keamanan yang memeriksanya dengan alat pendeteksi sebelum mempersilahkannya masuk ke dalam. Dalam hati Rizal bergumam, begitu ribetnya kehidupan orang kaya. Kalau di rumah orang tuanya, tinggal ucap salam asal datang dengan maksud baik maka akan langsung di suruh masuk.
Di balik pintu masuk itu, ada sebuah ruangan besar yang dipenuhi tempat duduk. Mirip lobi sebuah hotel. Di sana sudah duduk beberapa orang yang memandang ke arahnya, mungkin karena ia baru tiba di sana. Termasuk di antara mereka adalah Hermawan dan Irwan.
Seorang petugas mempersilahkannya duduk di salah satu kursi. Tapi sebelum ia sempat duduk, seseorang memanggilnya.
Bagus...