Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Bayangan Terakhir di Balik Pintu Gelap
Kegelapan yang tak berujung menjadi latar dunianya saat ini. Langit kelam tak berbintang menggantung seperti kubah raksasa yang menekan jiwa siapa pun yang berani melangkah. Di bawah kakinya, tanah berpasir yang dingin berbisik, seakan menggambarkan penderitaan tak berujung. Setiap langkah Ardan menggema, seperti ada yang mengikuti dari belakang, tapi setiap ia menoleh, hanya kehampaan yang menyapa.
Saat ini, Ardan berdiri di tepi jurang yang menganga. Di hadapannya, bayangan kabur sebuah kastil terlihat seperti siluet dalam kabut. Kastil itu tampak menjulang tinggi, tetapi begitu ia mencoba memfokuskan pandangan, wujudnya berubah. Tembok yang tadinya kokoh tiba-tiba seperti terurai menjadi rantai-rantai raksasa yang membelit sesuatu di tengahnya.
Bayangan pria misterius yang ia temui sebelumnya masih terngiang dalam benaknya. Kata-kata pria itu seperti mantra yang terus berputar dalam pikirannya. “Kunci untuk keluar dari sini bukan hanya tentang bertahan, tapi menerima apa yang tidak ingin kau lihat.”
Ardan mencoba mencerna, tapi maknanya terlalu kabur. Ia merasa dirinya bukan hanya terjebak dalam dunia asing ini, tapi juga dalam konflik batin yang ia sendiri tak sepenuhnya pahami.
Ketika ia memutuskan untuk melangkah lebih dekat ke kastil itu, suara langkah kaki lain terdengar. Perlahan ia memutar tubuhnya, jantungnya berdetak cepat.
“Siapa di sana?” serunya, suaranya menggema namun tak mendapat jawaban.
Bayangan kecil muncul dari kejauhan, bergerak lambat. Ardan memicingkan mata, mencoba mengenali wujud itu. Sosok itu tampak seperti seorang anak kecil, seorang gadis, dengan gaun putih yang koyak. Namun, wajahnya tertutup oleh rambut panjang yang kusut.
Ardan merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi rasa ingin tahu membakar dirinya. Ia melangkah maju, mendekati sosok itu.
“Apa kau tersesat di sini?” tanyanya, berusaha membuat suaranya terdengar tenang.
Gadis itu tidak menjawab, hanya berdiri diam dengan kepala tertunduk. Ketika Ardan mendekat cukup dekat, gadis itu mengangkat wajahnya perlahan. Mata kosong tanpa bola mata menatap langsung ke arahnya, dan senyuman kecil yang aneh muncul di wajah pucatnya.
Jantung Ardan terasa seperti berhenti. Gadis itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah kastil. Tanpa berkata apa-apa, dia memutar tubuhnya dan berjalan pergi, langkahnya menyeret di tanah.
Ardan tidak tahu harus merasa lega atau cemas. “Apa maksud semua ini?” gumamnya.
Ketika ia memandang kembali ke arah kastil, pintu gerbang raksasanya tiba-tiba terbuka dengan suara gemuruh yang menggema di udara. Tidak ada yang menyambutnya di sana, hanya kegelapan yang pekat.
Namun, ada sesuatu yang mendorong Ardan untuk melangkah masuk. Perasaan ini seperti magnet, menariknya tanpa henti. Dengan napas berat, ia akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju gerbang.
Ketika ia melewati pintu, seluruh dunia terasa berubah. Udara di dalam kastil terasa lebih berat, dingin yang menusuk tulang merayap di kulitnya. Cahaya remang dari lilin-lilin yang entah berasal dari mana menerangi lorong panjang dengan dinding batu yang lembap.
“Selamat datang,” suara rendah dan serak bergema di ruangan itu, seperti datang dari segala arah sekaligus.
Ardan langsung berputar, matanya menyapu sekeliling, tapi tidak ada siapa pun di sana. “Siapa kau?”
Suara itu tidak menjawab langsung, melainkan tertawa kecil. “Seorang penjaga… atau mungkin sekadar ujian bagi jiwamu.”
Langkah kaki Ardan berhenti. Ia merasa ada sesuatu yang mendekatinya, namun ia tidak bisa melihatnya. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, berusaha tetap tenang meskipun tubuhnya gemetar.
“Aku tidak menginginkan apa-apa. Kau yang datang ke sini, bukan?” Suara itu semakin dekat, dan bayangan kabur muncul di depannya, wujudnya seperti asap hitam yang terus berubah bentuk.
“Jika kau ingin kembali ke duniamu, kau harus menghadapi yang tersembunyi. Tapi ingat, semakin dalam kau melangkah, semakin sulit untuk kembali.”
Asap itu mendadak hilang, meninggalkan Ardan sendiri di lorong. Di hadapannya, sebuah pintu kayu dengan ukiran rumit berdiri kokoh. Ia mendekati pintu itu dan menyentuhnya dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, pemandangan di baliknya membuatnya membeku.
Ruang itu dipenuhi cermin-cermin besar, masing-masing menampilkan bayangan dirinya. Tapi bayangan itu tidak seperti yang ia kenal. Salah satu bayangan terlihat memegang pisau, dengan tatapan marah. Bayangan lain terlihat menangis, berlutut dengan darah mengalir dari tangan. Dan ada satu bayangan yang berdiri di tengah, menatap langsung padanya dengan senyum yang tidak wajar.
Ardan mundur selangkah, rasa takut mulai menguasai dirinya. “Apa ini…?”
Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, cermin-cermin itu mulai bergerak, seperti mencoba mendekatinya. Ia terpojok ke dinding, mencoba mencari jalan keluar.
Bayangan di cermin tengah berbicara, meskipun bibirnya tidak bergerak. “Kau tidak bisa lari dari dirimu sendiri, Ardan. Apa yang kau lihat di sini hanyalah bagian kecil dari kebenaran.”
Tiba-tiba, bayangan itu keluar dari cerminnya, wujudnya sekarang menjadi lebih nyata. “Apa kau siap menerima semuanya?” tanyanya, suaranya bergema seperti guntur.
Ardan tidak menjawab. Ketakutan dan kebingungan bercampur menjadi satu. Namun, ia tahu satu hal: untuk keluar dari tempat ini, ia harus menghadapi apa pun yang datang padanya.
Dengan langkah berat, ia maju mendekati bayangan itu, siap untuk menghadapi kegelapan yang ada di dalam dirinya sendiri.