Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Tak pernah ku bayangkan bahwa sepersekian detik statusku berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu semalam.
Hal semacam ini benar-benar tak ada dalam pikiranku sebelumnya.
Aku yang kini sudah sah menjadi seorang istri, menyandang sebagai ibu Sagara, sedikit merasa tertekan sebab di usiaku yang belum genap dua puluh tahun, aku harus di sibukkan mengurus suami. Apalagi suami model Sagara.
Entah kekesalan apa yang akan dia lampiaskan padaku karena wanita yang ia cintai malah menjadi milik pria lain.
Tadi pagi saat mas Lentera mengucapkan ijab qobul untuk kak Lala, mas Sagara sempat mencengkram tanganku kuat-kuat.
Aku bahkan sampai merintih menahan sakit. Kalau saja tidak ku injak kakinya, mungkin kukunya sudah menembus kulitku.
Dan untung saja Gabby dan Emma tidak bisa hadir ke acara yang mereka tahu adalah pernikahan kak Lala, kalau mereka sampai datang, aku nggak yakin mereka akan tutup mulut.
Untuk sesaat mungkin mereka bisa diam, tapi cepat atau lambat teman sekampusku pasti akan tahu juga. Akan aku pastikan mas Sagara tidak membocorkan statusku, selain dia tidak mengenal teman-temanku, dia juga sibuk menjadi dosen di kampus lain.
Setidaknya aku bisa sedikit lega sebab aku sendiri pasti akan bisa menjaga rahasia ini.
Tepat pukul 22:40, mas Sagara yang baru selesai mandi muncul dari balik pintu. Ia sudah memakai kaos tipis dan celana pendek.
Mengenai acara pernikahan yang di gelar hari ini, tadi sore usai resepsi kak Lala langsung di boyong sama mas Lentera ke rumah pribadinya. Sementara aku masih di rumah ayah sampai tiga hari ke depan.
Ba'da maghrib tadi tamu pun kembali datang, itu memang jam khusus untuk tamunya mas Sagara. Akan tetapi aku tak menemuinya sebab aku sempat melihat ada sebagian dosen kampusku yang hadir. Maklumlah dia kan dosen, sesama dosen setidaknya saling mengenal.
Jadi aku sudah berada di dalam kamar sejak pukul tujuh, membuat surat kontrak pernikahan yang akan ku jalani selama enam bulan ke depan.
"Kamu belum tidur?" tanya mas Sagara tanpa melihatku.
"Tanda tangani ini" Aku mengulurkan tangan, menyerahkan secarik kertas berisi perjanjian kontrak nikah ke hadapannya.
"Apa ini?"
"Surat perjanjian nikah kontrak"
Pria di hadapanku tak merespon, ia langsung membaca apa yang ku tulis menggunakan tanganku sendiri dengan mimik wajah yang amat serius.
Hampir sekitar tiga menit berlalu, mas Sagara malah merobek kertas itu, tentu saja mataku sontak membulat lengkap dengan mulut menganga.
"Kok di sobek si?"
"Pernikahan ini mau sebentar atau lama, hanya aku yang berhak memutuskan, mau berjalan enam bulan, satu tahun atau hanya dua bulan sekalipun, hanya aku yang menentukan, mengerti"
"Loh, bukannya mas sudah setuju dengan syarat yang ku ajukan kemarin?"
"Apa aku menganggukkan kepala untuk menyetujui syaratmu itu?" Sinisnya tanpa ekspresi. "Atau aku mengiyakan dengan jelas bahwa aku menerima kesepakatanmu? Tidakkan?"
"Tapi kan mas bilang mau bahas soal ini setelah pernikahan"
"Okay, mari kita bahas" Tandasnya, lalu berjalan ke arah ranjang. "Semua keputusan ada di tanganku, kamu hanya di perbolehkan untuk menurut apa yang aku perintahkan tanpa berani protes ataupun keberatan"
Mas Sagara tampak menata bantal, tak lama kemudian ia merebahkan diri di ranjangku.
Dia benar-benar tidak waras. Aturan macam apa ini, apa dia seorang raja, sehingga aku harus menuruti apa yang dia perintahkan? kata-katanya adalah titah begitu? Hah... Dia pikir dia itu aturan hidupku?
"Apa maksud dari peraturan mas itu?"
Mas Sagara menatap mataku dengan tajam.
"Maksudnya, patuhi peraturanku tanpa banyak bicara. Kedua penuhi kewajibanmu sebagai istri tanpa banyak komplain, protes maupun keberatan"
"Apa ada lagi yang lain?" tanyaku seakan menantang.
Tak langsung menjawab, mas Sagara malah mencermati wajahku penuh intens. Dan tatapannya itu, entah kenapa membuatku merasa gugup.
"Kamu menantangku?" Ucapnya dengan bibir menyeringai.
Saat dia mengatakan itu, pikiranku justru jatuh pada hal konyol yang di lakukan sepasang pengantin baru di malam pertama, sebab tadi, mas Sagara sempat melirik ruang kosong di sebalahnya. Bukan ruang sebenarnya, lebih tepatnya tempat tidur yang belum aku tempati.
"M-maksudku bukan itu" Kataku berusaha tenang.
"Memangnya apa yang kamu pikirkan?"
"S-soal peraturan" Jawabku sekenanya.
"Untuk malam ini cukup, kita akan lanjutkan besok. Sekarang tidurlah, tapi agak ke tepian, jangan sampai tanganmu, atau kakimu itu menyentuhku"
What?? Menyentuhnya?? Tidak berniat sama sekali.
"Dan ingat dengan batas ini" Dia menaruh bantal di tengah-tengah ranjang. "Jangan kamu melewatinya. Aku lelah, tolong jangan berisik! Matikan lampu, nyalakan lampu meja"
Memangnya dia siapa??
Hufftt... Hidupku di pertaruhkan gara-gara dua pria, mas Lentera dan Sagara.
Pernikahan kak Lala jelas bahagia. Pernikahan Rihana yang akan di gelar minggu depan dengan Bara juga kemungkinan akan bahagia.
Apa kabar pernikahanku sendiri.
Aku meracau dalam hati dengan dongkolnya.
Entah apa jadinya jika ayah dan bunda tahu tentang ini.
Aku korbankan hidupku demi kak Lala dan keluarga, tapi mas Sagara yang mendapat ucapan terimakasih dari bunda.
Tak apalah, yang penting kak Lala bahagia, beruntung juga wanita sekalem kakak nggak jadi nikah dengan lelaki macam mas Sagara. Kakak itukan polos, suka ngalah dan sangat penurut.
Karena tak ingin tidur satu ranjang dengan pria aneh yang dengan PDnya menguasai tempat tudurku, aku akhirnya mengalah tidur di sofa panjang yang tersedia di kamarku. Ku raih bantal dan mengambil selimut baru dari dalam lemari.
Bersambung