Ini merupakan cerita kelanjutan, pelengkap ending untuk cerita Pelahap Tangisan dan baca cerita pertamanya sebelum cerita ini.
Di sebuah kota terdapat seorang gadis, dia dikaruniai keluarga beserta kekasih dan hidup selayaknya gadis remaja. Hidupnya berubah drastis dikarenakan kekasihnya meninggal sewaktu tengah bekerja, disebabkan itu Widia sangatlah terpukul akan apa yang terjadi dan tidak sanggup menerimanya. Dalam keadaan kehilangan arah, tiba-tiba saja boneka yang diberikan kekasihnya hidup dan memberitahu jikalau jiwa kekasihnya masih bisa tinggal di dunia.
Dengan harapan itu, Widia memulai perjalanan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Akankah Widia mampu mengembalikan nyawa kekasihnya? Yuk! Ikuti petualangan Widia untuk merebut kembali sang pujaan hatinya. Tetap ikuti dan dukung cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fadly Abdul f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Setelah perdebatan panjang akhirnya Diana yang enggan memberikan bantuan bila Widia tidak berkompromi dengannya, mendapatkan hasil. Sekarang ini, dia sedang memperhatikan persiapan tentara-tentara di dunia ini yang sudah berkembang pesat mengikuti bumi. Sungguh dia tidak yakin bahwa dia yang mengawali semua hal ini.
"... apa hanya itu?"
"Ya."
"Benar-benar hanya itu?"
"Iya!"
Komandan pasukan yang dipinjamkan putri Diani kepada Adiira kelihatan heran. Dia diminta mengosongkan area sekeliling naga itu, pada akhirnya planet ini menjadi seperti bumi, dengan perbedaan ukuran lebih besar saja bahkan isinya sama. Jadi Adiira ingin mereka mengevakuasi penduduk yang ada, supaya tidak terlibat.
"Anu..."
"Apa?! Jangan bertanya apakah aku serius atau tidak, apa kau mau warga mati terinja--!"
"Seperti yang anda ketahui, planet ini beribu-ribu kali lebih besar dari bumi. Bahkan ukurannya cukup kecil, mahkluk itu juga jauh dari pemukiman... tidak ada yang perlu..."
"Ah!"
Adiira kini melongo baru menyadari fakta itu. Sejak awal dia tidak usah repot-repot meminta bantuan putri, meskipun ada mahkluk itu, planet ini takkan merasakan dampak apa-apa. Dengan merasa bodoh Adiira terdiam menyender di sofa, memalingkan mukanya dan harus menghadapi dua gadis sekaligus kalau Widia menerima.
"Kurasa aku benar-benar sudah pikun," keluh Adiira.
Komandan pasukan dengan bersimpati menyentuh bahu Adiira dan berkata, "itu sudah wajar, bagaimanapun Anda harusnya sudah pensiun dan bukan mengurusi urusan antar dunia. Kesampingkan penampilan, anda sudah tua."
Dengan menghapus ingatan-ingatan tidak penting Adiira masih merasa berumur 23 tahun, tapi tetap tidak mengubah fakta, bahwa dia kini sudah berumur ratusan tahun. Pada akhirnya, dia mengesampingkan urusan itu serta mengurusi kadal yang sedang mengamuk di sana.
Entah merasakan kejengkelan mendalam, Adiira seperti orang gila naik menuju angkasa memerintahkan para pasukan yang dipinjamkan Diana menjaga perbatasan saja. Tidak lama kemudian mata semua orang Netral terdiam pada langit-langit mereka, kumpulan paus orca berenang-renang, pemandangan menakjubkan dan mengerikan itu juga ditonton oleh putri Diani dari istana.
"..."
"Kekuatan mengerikan apa itu?"
Sekawanan paus orca berenang-renang mengelilingi tuan mereka, terbungkus oleh cahaya spektrum warna yang indah dan cantik menanti instruksi Adiira. Mereka seolah-olah tercipta dari kumpulan bintang di angkasa malam, berenang bebas memperhatikan makan mereka.
Pedang Adiira berputar, dia mengambil perhatian semua orca, memutar pedangnya dan menunjuk kepada naga yang sedang meraung-raung. Karena mendapatkan perintah, para orca seperti bahagia langsung bersamaan menuju makanan mereka, berbondong-bondong tertawa.
Mata Diani terpaku dalam ketakutan bersama takjub, dia menyaksikan sekumpulan paus orca yang dicipta dari cahaya. Mengikuti perintah Adiira, mereka memangsa Destyn naga, bahkan tidak sedikit dari mereka mempermainkan mangsa dan mengigit secara bersama. Belasan orca terus mengoyak daging naga, sampai mati.
Naga itu meronta-ronta, lebih parah daripada dikerubungi ikan piranha dia dipermainkan dan dimangsa dalam waktu yang sama, bahkan para orca terus-menerus mengeluarkan suara tawa yang lucu. Mereka yang hanya mendengar suara tawa, akan menganggap tawa itu sungguh lucu nan imut, tapi bagi mereka yang menonton siksaan ini takkan menganggap demikian apalagi korban.
"Sisakan kepalanya," titah Adiira.
Salah satu orca mengangguk-angguk dengan manis, dia tidak lama menoleh salah satu rekannya yang sedang mengoyak-ngoyak kepala naga. Orca itu langsung mulai ikut digerogoti, mereka benar-benar cerminan mahkluk lucu yang haus darah nan kejam. Dan yang disuka Adiira.
Adiira menonton bagaimana amukan naga ini, sewaktu ia dimangsa orca miliknya. Jika dia mengamuk seperti itu di bumi, pastinya letak geografis akan berubah sekaligus peta akan dirombak ulang, Adiira tidak mau perkara semacamnya terjadi maka membawanya kemari adalah pilihan yang tepat. Meskipun, agak sedikit menyesalinya.
Setelah tiga jam berlalu, para orca yang telah kenyang itu bermain-main berenang naik-turun, seolah sedang mencoba menarik perhatian Adiira. Bahkan dari mereka mengitari tulang rusuk, berenang selayaknya dalam lomba halang rintang dan bersenang-senang usai makan.
"Ah, akhirnya aku menemukanmu."
"Bagaimana bisa...?"
"Apanya?"
Adiira menemukan Wiraka bergabung dengan Destyn-nya berada di otak tubuh naga raksasa ini. Bagian bawah tubuhnya hancur. Dirinya sudah tak memiliki kesempatan untuk hidup, menatap tajam kepada Adiira, ingin tahu bagaimana caranya, ia mampu memiliki kekuatan destyn.
"Kita juga pernah bertarung, 'kan? Ketika kau meneteskan darah, kau sudah kalah..." ungkap Adiira. Dia menoleh para orca dan balik bertanya, "mengapa kau tak memberi perlawanan? Setidaknya kau bisa membunuh salah satu."
"Kau masih menjadi panutan bagiku. Karena itu aku tahu aku takkan menang melawanmu, tapi sampai saat terakhir, Destyn milikku yang melawanmu. Sedari dahulu aku udah kalah," jawab Wiraka tersenyum dengan lembut.
Destyn yang tidak mampu memenuhi tugas jiwanya akan menghilang, sebagai suatu hukuman. Bersama helaan napas Adiira mempercepat kematian Wiraka, sungguhan dia sudah lelah menggenggam pedang serta membunuh sembari menekan perasaannya. Dia merasa jikalau jiwanya belum sepenuhnya ada rasanya ada yang kurang.
Akhirnya dia kembali ke bumi bersama Diani, usai selesai menitipkan kerajaan pada saudarinya. Tentu saja Aria hanya bisa tertawa kosong dan membisu, selagi putrinya menyeret Diani bersamanya, kedua laki-laki ini menonton kerusakan yang dialami negara mereka bahkan ada retakan di bumi yang memisahkan tujuh pulau negara ini.
***
Berbulan-bulan berlalu Adiira tinggal para kediaman Aria selaku menantu, pemerintah memberikan dia identitas baru sebagai penerus divisi anti-penyihir. Sesudah terungkap bila adanya dunia lain. Pemerintah menyakini bahwa tidak ada jaminan, tidak ada ada invasi dari mahkluk asing ditahun-tahun berikutnya dan berharap Adiira membantu mereka mempertahankan dunia bumi.
Diani yang menjadi perwakilan dunia lain mereka, angkat bicara, "apakah anda menganggap dunia kami selaku ancaman?"
Presiden yang menjadi kepala negara tersenyum kosong dan menjawab, "kami tidak ingin memiliki musuh. Tapi pedang dibalas pedang, mata dibalas mata, mungkin itu yang bisa saya katakan sekarang. Namun, mengetahui kita berbicara bahasa yang sama saya harap kita menjadi saudara yang saling menopang untuk bertahan hidup."
"Ah... begitu ya?" ucap Diani.
Selesai membahas tentang masa depan, presiden mulai menarik langkah dan meninggalkan kediaman bersama para pengawalnya. Adiira menghela napas sementara Diani dan Widia sedang bercakap-cakap, mereka cukup seperti kawan ketimbang saingan, agak melegakan hati.
"Dii," panggil Widia.
Adiira menoleh menyahut, "ada apa?"
"Kamu belum beres," kata Widia serta Diani bersamaan.
Mereka berkata bila begitulah kondisi Adiira sesudah dia bangun dari koma. Dia juga merasakan hal yang sama, seakan-akan ada yang hilang dan karena kesibukan kota yang sedang dalam pemulihan Adiira menghela napas. Dia merasa ada yang hilang dan sesuatu itu tidak mengharapkan dia mencarinya, bahkan menghindarinya.
Adiira melemparkan boneka dan benda membesar sekali jatuh. Maira memiringkan kepala, dia menoleh Widia mencoba bertanya, tapi kedua gadis itu secara serempak menaikan bahu mereka. Tiba-tiba saja Adiira meminta dibawakan kertas dan pena, bersama senyuman masam, laki-laki ini menatap langit-langit dengan ekspresi suram.