Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Dion terdiam sejenak, matanya liar mencari jalan keluar, tapi cengkeramannya di pergelangan tanganku justru semakin kuat. Polisi mengelilinginya dari berbagai sisi, senjata siap terarah ke arahnya, namun jarak mereka terlalu dekat untuk bertindak.
“Kau pikir aku akan menyerah begitu saja, Kirana?” bisiknya dingin di telingaku, nadanya penuh kebencian dan kepedihan yang bercampur menjadi satu.
Aku menelan ludah, mencoba mencari celah untuk bebas. “Dion, tolong. Ini sudah cukup. Semua sudah berakhir,” kataku, berusaha membuatnya goyah.
Polisi mendekat dengan hati-hati, salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tegap, bicara dengan tenang, “Pak Dion, tolong lepaskan Ibu Kirana. Kita bisa bicara baik-baik.”
Dion malah tertawa sinis. “Bicara? Kalian pikir bicara bisa menyelesaikan semua ini?” Ia menoleh padaku, tatapan matanya dipenuhi amarah dan kekecewaan yang tak tersampaikan.
Andi berdiri tak jauh dari kami, menatap tajam ke arah Dion. “Kau sudah menghancurkan hidupnya, Dion. Biarkan Kirana pergi. Ini kesempatanmu untuk melakukan hal yang benar.”
Dion mendengus. “Kau selalu ada di antara kami, Andi. Kau pikir aku tak tahu apa yang kau inginkan dari Kirana?” Dion menunduk, menarikku lebih dekat, seolah aku adalah tamengnya.
Aku menggenggam tangannya yang mencengkeramku, mencoba untuk melunakkan hatinya meskipun aku sendiri diliputi ketakutan. “Dion, ini bukan cara untuk memperbaiki segalanya. Aku mohon, lepaskan aku.”
Dia menatapku dalam-dalam, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang. Namun, di balik semua itu, kemarahan dan frustrasi tampaknya jauh lebih kuat menguasai dirinya. “Kau tak pernah mengerti, Kirana. Aku melakukan semua ini untuk kita!”
Aku mencoba bicara dengan lebih tenang, berharap dia akan sadar. “Dion, ini bukan cara yang benar. Tak ada lagi yang bisa kau perbaiki dengan cara seperti ini.”
Suasana semakin mencekam saat seorang wanita tak dikenal masuk ke ruangan, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Wajahnya tak asing, namun aku tak bisa mengingat siapa dia. Wanita itu memandangi Dion tanpa rasa takut sedikit pun.
Dion membeku saat melihatnya, seolah melihat hantu dari masa lalunya. “Kau… apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, suaranya goyah.
Wanita itu melangkah mendekat, pandangannya tajam, namun bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Sudah cukup, Dion. Aku tak akan membiarkanmu merusak hidup orang lain lagi.”
Dion terlihat terpukul, matanya berkaca-kaca, tangannya mulai gemetar. “Kau… kau tak mengerti… Mereka semua—”
Wanita itu menggeleng, suaranya penuh ketegasan. “Aku paham segalanya, Dion. Ini saatnya kau melepaskan, berhenti menghancurkan dirimu dan orang lain.”
Suasana semakin tegang. Para polisi saling berpandangan, seolah menunggu sinyal untuk bertindak. Andi meraih tanganku, mencoba menarikku perlahan, namun Dion segera menyadarinya dan menggenggamku lebih kuat.
“Dion, tolong,” desakku lagi, mataku mulai basah.
Dia menoleh padaku, dan untuk pertama kalinya, kulihat ketakutan dalam matanya. “Kirana… aku tak ingin kehilanganmu,” bisiknya.
Namun, tiba-tiba, sebuah suara tembakan terdengar, menggema di seluruh ruangan. Semua bergerak lambat dalam sekejap. Dion terjatuh, genggamannya terlepas dariku, dan aku mundur dengan gemetar, masih syok dengan apa yang baru saja terjadi.
Polisi segera menangkap Dion, memborgol tangannya yang terluka, dan mengangkatnya perlahan. Andi menarikku ke pelukannya, berusaha menenangkanku. Aku hanya bisa berdiri diam, tubuhku menggigil hebat.
Wanita itu mendekat, menatapku dengan ekspresi penuh empati. “Maafkan aku, Kirana. Seharusnya aku datang lebih cepat.”
Aku mengangguk, tak bisa berkata-kata, masih berusaha memahami semua yang baru saja terjadi. Andi membantuku menuju pintu, meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi suara bisikan dan kesibukan para polisi.
Saat kami mencapai mobil, Andi membukakan pintu untukku. Aku masuk, duduk dengan tangan yang masih gemetar. Dia duduk di sampingku, menggenggam tanganku erat-erat.
“Kau sudah aman sekarang, Kirana,” ucapnya lembut.
Namun, sebelum aku bisa meresapi ketenangan itu, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Aku membuka ponsel, dan kata-kata di layar membuat darahku berdesir.
“Permainan belum selesai.”
Ponselku nyaris terlepas dari genggaman, namun tatapan tajam Andi membuatku berusaha menahan diri untuk tidak panik. Ia mendekat, membaca pesan di layar dengan rahang mengeras.
"Siapa yang mengirim ini?" bisiknya, meski suaranya mengandung nada tak percaya.
"Aku... aku tak tahu." Suaraku tercekat, pandanganku kembali pada layar. Kata-kata singkat itu seperti jerat yang siap mengikat kami kembali pada mimpi buruk yang baru saja kulepaskan.
Andi menarik napas dalam, lalu menatap lurus ke depan, seolah berpikir keras. "Kirana, kita harus memberitahu polisi. Ini bukan pesan biasa."
Aku mengangguk, meski tubuhku masih gemetar hebat. Pikiranku berputar pada Dion yang baru saja dibawa pergi dalam keadaan tak berdaya. Bagaimana mungkin ada seseorang lagi yang mengancamku? Apakah ada bagian dari masa lalu Dion yang belum kuketahui?
Namun, sebelum aku sempat menenangkan diriku, ponselku kembali bergetar. Kali ini, pesannya lebih panjang.
"Kau mungkin merasa aman sekarang, tapi ini hanya awal. Kau mengambil sesuatu yang bukan milikmu, Kirana. Aku akan mengambil semuanya darimu, satu per satu."
Aku merasakan dingin merayap hingga ke ujung jari. "Andi, dia... dia bilang akan mengambil semuanya dariku."
Tatapan Andi semakin serius. "Kita harus bertindak cepat. Tak bisa lagi menunggu." Tanpa basa-basi, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi petugas yang tadi menangani Dion, menjelaskan pesan ancaman yang baru kami terima.
Sementara Andi bicara, aku hanya bisa memandang lurus ke depan, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Siapa yang begitu dendam padaku? Apakah ini ada hubungannya dengan Dion, atau ada rahasia lain yang Dion sembunyikan?
Andi menutup teleponnya dan menatapku, raut wajahnya cemas. "Mereka akan mengirim petugas untuk berjaga di sini, dan kita diminta untuk tetap berada di tempat yang aman sampai situasi bisa diatasi."
Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata-katanya. "Tapi siapa yang melakukan ini, Andi? Siapa lagi yang menyimpan dendam sebesar ini?"
Andi menggenggam tanganku erat, seolah ingin meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kirana, apa kau yakin tak ada lagi yang pernah mengancam Dion sebelumnya? Mungkin seseorang yang pernah memiliki masalah dengannya?"
Aku menggeleng pelan. "Dion memang selalu tertutup. Bahkan saat aku tahu tentang perselingkuhannya, dia tetap berusaha menyembunyikan alasan-alasan di balik tindakannya. Aku... aku tak tahu banyak tentang masa lalunya."
Andi menatapku dalam, seolah mencoba mencari jawaban dari mataku. "Kirana, kau sudah melalui banyak hal. Aku janji, aku akan membantumu keluar dari ini. Kita akan menemukan siapa yang mengirim pesan itu."
Aku mengangguk, meski keraguan masih menggelayut dalam hatiku. Bagaimana jika ancaman ini tidak berhenti? Bagaimana jika ini adalah perangkap lain yang lebih besar dari yang pernah kubayangkan?
Saat malam semakin larut, rumah terasa semakin sunyi. Hanya desahan angin malam dan suara langkah petugas di luar rumah yang sesekali terdengar, memberi sedikit rasa aman di tengah kepungan rasa takut. Andi duduk di sebelahku, menggenggam tanganku tanpa henti.
“Kirana, kalau kau merasa siap, mungkin sudah saatnya menceritakan semuanya kepada polisi,” katanya, suaranya lembut tapi tegas.
Aku menatapnya, menimbang-nimbang. “Tapi, bagaimana jika ini malah membuatku semakin dalam terlibat? Bagaimana kalau ancaman ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih buruk?”
Andi tersenyum tipis, mencoba menenangkanku. “Percayalah, semakin lama kita menyembunyikan, semakin besar risikonya. Dengan mengungkap semuanya, setidaknya kita tahu apa yang harus dihadapi.”
Aku mengangguk pelan. “Kau benar. Besok aku akan bicara dengan mereka. Tapi malam ini...”
Dia memotong ucapanku dengan tatapan hangatnya. “Malam ini, kita istirahat. Aku akan memastikan kau aman.”
Namun, di tengah kedamaian sejenak itu, terdengar ketukan pelan di pintu depan, membuat kami berdua terkejut. Andi bangkit, bergerak hati-hati menuju pintu. Petugas seharusnya berjaga di luar, jadi siapa yang datang di tengah malam seperti ini?
Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras kali ini.
Andi memberi isyarat padaku untuk tetap duduk di belakang, sementara ia membuka pintu perlahan. Sesosok wanita berdiri di sana, mengenakan mantel tebal dan syal yang menutupi sebagian wajahnya. Tatapannya tajam, penuh dengan intensitas yang membuat Andi terlihat sedikit waspada.
“Kirana,” panggilnya pelan. “Aku ingin bicara denganmu.”
Aku berdiri, terkejut mendengar namaku disebut. Suara itu terdengar asing tapi familiar, seperti bagian dari masa lalu yang terpendam. Aku melangkah mendekat, dan saat aku melihat wajahnya lebih jelas, seluruh tubuhku menegang.
Itu dia—wanita yang tadi datang ke kantor polisi, yang membuat Dion terpukul saat melihatnya.
Wanita itu menatapku tajam, senyum tipis di wajahnya mengisyaratkan sesuatu yang lebih gelap. "Aku tahu siapa yang mengirim pesan itu padamu, Kirana," katanya tanpa basa-basi.
Aku tercekat, menatap Andi yang juga terlihat kebingungan. "Siapa... siapa kau sebenarnya?"
Wanita itu tersenyum, ekspresi dingin dan menusuk. "Aku orang yang paling Dion takuti. Dan sekarang, aku akan membuatmu tahu kebenaran yang tak pernah kau bayangkan."