Petals Of Greedy

Petals Of Greedy

Bab 01 | Sebelum Tragedi

Bab 01 Bunga Keserakahan

Kedua kekasih ini sedang berbicara mengenai hubungan mereka, perbincangan keduanya makin memanas usai setengah jam berlalu. Widia menyilangkan tangan seraya manyun, dia senantiasa memperoleh penolakan selepas meminta kekasihnya untuk segera mungkin menikahinya.

"Widia, udah aku bilang berkali-kali, mengapa kamu tidak berusaha memahaminya?" Tanya remaja laki-laki itu, dengan ekspresi muka muram.

Pura-pura tak mendengarkan, Widia kini dia memalingkan muka dan tidak memiliki niatan untuk mencerna kata-kata kekasihnya. Yang diinginkan dia sekarang yaitu laki-laki ini menerima keinginannya, dengan keras kepala, menolak semua lisan yang terlontar keluar dari mulutnya.

Lawan bicaranya menggertakkan gigi merasa marah usai mengerti bila pasangannya ini tidak mengacuhkan sepatah kata pun. "Walaupun ucapanku tadi untuk egoku sendiri, tetapi inilah kenyataannya, tau!" Jelas kekasihnya.

"Itu yang aku gak suka dari kamu, kamu seakan ngomong nggak ada perasaan sama aku dan ngencani aku cuma buat ego kamu doang," ungkap Widia menuturkan kalimat yang selalu dipendam dalam hatinya.

Kekasih memegangi pelipis, dengan sesudah helaan dari napasnya dia membuka mulut, "lebih baik kamu pikirin dulu sampai minggu depan," saran kekasih sembari pergi.

Widia terus-terusan keukeuh enggan menatap balik pada lawan bicara, hingga dia pamit pulang. Meskipun begitu mata gadis itu mengikuti punggung kekasihnya yang makin lama semakin jauh, lewat pantulan jendela rumah. Usai lelaki itu tidak kelihatan lagi, gadis ini menoleh pada pot-pot bunga yang berjajar rapi di depan kedua kakinya.

Sungguh, meski dia seorang lelaki, dia ini cenderung lebih mirip perempuan bila dilihat dari kegiatan beserta impian yang dikejarnya.

"Tapi kayaknya..." lirih Widia, perlahan-lahan berhenti.

Saat memikirkan hal-hal manis dari kekasihnya, dia yang awalnya dengan bibir yang mengembang, sekarang pikirannya melayang dan termenung menyadari suatu perihal. Mimpi manis kekasihnya perlahan-lahan dilahap oleh waktu dan kenyataan, yang seperti akan ditelannya. Itulah pemikiran yang berputar-putar di dalam benaknya.

Kekasihnya dulu berwatak seorang idealistis, disamping mimpi-mimpi manis dan cinta 'kan tanah air itu, Widia sangat menyukai sisi dari si kekasihnya mencita-citakan semua itu dan berjuang dengan caranya sendiri. Namun, wataknya sekarang lebih serupa berusaha agar realistis.

Sebelum melupakan mimpi-mimpi, dia selalu melakukan sesuatu dengan alasan menginginkan hal-hal untuk impian dan egonya. Dia merasa tidak buruk memberikan egonya untuk berperan, misalkan sekarang kadangkala kekasihnya mengikuti kegiatan membersihkan sampah biarpun upah kecil sambil berusaha menyadarkan orang-orang untuk tidak membuang sampah sembarang.

"... bener deh, dia kayaknya berubah..." gumam Widia. Dia tidak pernah memperhatikan kekasihnya sedetail mungkin, dulu saat melakukan kegiatan bersih-bersih dia akan berbicara kepada anak-anak atau orang dewasa seperti tengah menceramahi supaya tidak melemparkan sampah itu secara semena-mena untuk mencegah banjir. Tapi.., kini kekasihnya membersihkan selama diberi upah.

Widia tersenyum kecut dan membelai rambutnya seraya bergumam, "Dii... kurasa omonganmu ada benernya deh."

"Kak Widia, ngapa kakak ngomong sendirian gitu di teras kayak orang gila?" Tanya adiknya lewat.

"Apaan sih, ganggu orang lagi mikir aja!" Jawabnya Widia.

Sekalipun kekasihnya ini menjadi realistis, Widia berharap jikalau dia menerima tawaran dan menikah secepatnya. Selepas memikirkan itu dia teringat jikalau adiknya juga selalu realistis, masa kecilnya penuh impian dan cita-cita, tapi mereka berdua mulai berubah setelah mulai dewasa.

"Kak, kamu kekanak-kanakan mulu, deh."

Widia memahami maksud keduanya, meski perasaannya tidak mendukung pemikiran mereka. Kekasihnya menolak untuk menikah memikirkan aspek sosial jikalau Widia hamil di usia sekarang, mereka musti menghadapi stigma negatif dan memikirkan gadis yang hamil pada usia muda, memperoleh diskriminasi dalam masyarakat.

Dia juga mengkhawatirkan kesehatan fisik dan mentalnya Widia, biarpun mereka dapat mengesampingkan perihal finansial akibat dukungan pihak keluarga Widia, Adi selalu enggan keluarga mereka nanti ketergantungan pada orang-tua mereka, terlebih lagi dia belum berpenghasilan tetap. Itulah landasan mengapa Adi menolak pinta Widia.

Lepas mendengarkan perkataan Widia, adiknya memukul kening sembari bergumam, "misalkan kak Adi itu masih jomblo.. udah aku kejar-kejar sampai mau sana aku, deh."

"Kakak gak mau punya genre cinta segitiga di kisah hidup ini," kata Widia menatap tajam adiknya.

"Ya, lupain aja kata-kataku barusan. Yang mau aku bilang tuh, jangan sia-siakan cowok modelan begitu..."

"Kakak malu tau, temen-temen kakak dah pada nikah, lho. Sedangkan kakak belum...!" geram Widia, mengalihkan perhatian dan menggigit bibirnya.

Adiknya tersenyum kecut bicara, "... cuma gegara gengsi, kakak mau nikah muda? Terus, kuliah kakak gimana dong kelanjutannya?"

"Oh. Dii juga bilang, 'setidaknya selesaikan dulu kuliahmu terus cari pengalaman buat kerja, nanti kalau aku mati duluan atau hilang, kamu bisa cari kerja tanpa kesusahan karena udah kuliah' katanya."

Widia mengerti bila pasangannya itu akhir-akhir ini sudah melihat segala kemungkinan terburuknya, sebelum mengerjakan sesuatu. Seakan-akan seusai menikah terus memiliki anak 'kan terjadi sesuatu dan mengharuskannya bekerja. Namun, karena Widia putus sekolah pastinya akan menyulitkannya mencari pekerjaan, apalagi dirantai oleh anak yang jadi beban ekonomi yang cukup besar.

Pikiran gadis ini larut, karena segala sesuatu yang diucap menunjukan kekhawatiran kekasih kepada dirinya dan dengan kesadaran penuh, menolak nafsu supaya mereka bisa menjalani kehidupan tanpa perlu ada drama yang merepotkan. Walau Widia mengerti, namun keegoisan pada hatinya, merasakan pukulan telak dari logikanya itu.

"Terus kenapa kakak kesel gitu? Harusnya kakak bahagia udah dapetin hati cowok yang beneran cinta, bukan mau enaknya doang. Toh kalo cowok lain pasti nerima aja soalnya ada dukungan dari papah juga soal biaya, tinggal laksanakan aja!" Gadis itu dengan ringannya nyerocos depan kakak, yang jelas-jelas ia sedang menahan jengkel.

"Napa sih dia harus mikirin kalo habis nikah bakalan mati duluan, nggak boleh 'kah kakak berharap ngejalani hidup mati berdua? Sambil punya mabelas anak mesra-mesraan sampe tua bangka, gitu.." tuturnya Widia menjelaskan isi hatinya.

Gadis di sampingnya menghela napas berbicara, "pikirin aja seorang ayah musti ngurusin lima belas anak, nggak bingung gimana tuh?"

"Ya udah, mau lima aja."

"Agak normal dikit, sih."

Waktu berlalu setengah hari, kini mereka sedang berada di meja makan dan Widia membicarakan mengenai penolakan kekasihnya tadi pagi. Bersamaan keluar tawa kecil ayahnya menggelengkan kepala, tolakan kekasih anaknya benar-benar sudah dia terka sejak awal putrinya mengatakan ingin segera menikahi kekasihnya sekarang.

"Dari wataknya aja kelihatan. Pacar kamu tuh betul-betul sungguh mau berumahtangga sama kamu, Widia. Dipikirin segitunya mau bahagiain kamu," cakap ayahnya.

Ibu meletakkan gelas, menarik napas sebelum berkata, "padahal udah biasa anak kuliahan nikah, lagian meski udah nikah juga masih bisa kuliah... antara pikiran maju atau pesimis aja pacarmu."

Widia tidak berkomentar lagi. Ayah serta adiknya setuju dengan pemikiran kekasih, meski ibu kelihatan netral, Widia yakin dia juga sepakat dengan suaminya dan adik. Memikirkan itu saja gadis ini baru menyadari bahwa dia sudah salah, karena keseriusan itulah dia memikirkan matang-matang dan berniat menjaganya usai telah siap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!