Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 20
Kegugupan tampak terlihat jelas memenuhi wajah Abram saat ia melihat lelaki paruh baya membuka pintu dan berjalan dengan langkah sangat tegas mendekat ke arahnya. Abram yang barusan sedang mengusap perut Stevani pun menghentikan kegiatannya dan langsung berdiri untuk menyambut.
Namun, belum juga membuka suara, tubuh Abram sudah jatuh tersungkur saat pukulan papa mertua mendarat di wajahnya. Mata Abram terpejam saat merasakan nyeri bahkan kepalanya sampai terasa pusing. Ia merasakan getir saat menelan ludah karena ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Hendarto merasa puas. Pukulan demi pukulan terus melayang bukan hanya mengenai wajah Abram saja. Sudah merembet sampai ke perut lelaki itu.
Suasana di ruangan itu mendadak gaduh karena teriakan Stevani yang menyuruh Hendarto agar berhenti. Wanita itu menangis dan terus berteriak karena tidak tega melihat Abram yang terus dipukuli.
"Jangan, Pa!" Gisela menahan lengan sang papa yang hendak memukul Abram lagi padahal lelaki itu sudah lemas dengan beberapa luka lebam di wajah.
"Biarkan papa beri pelajaran untuk lelaki bajingan ini!" Suara Hendarto meninggi. Urat di lehernya tampak jelas bahkan rahangnya terlihat mengetat kuat.
"Berani sekali kamu memukul Mas Abram. Lihat saja, aku akan melaporkan kalian ke polisi!" ancam Stevani. Air mata sudah membasahi seluruh wajah wanita itu.
Hendrarto tersenyum licik. "Kamu bilang akan melaporkan ke polisi? Kamu pikir aku akan takut? Tidak akan pernah! Justru akulah yang akan melaporkan lelaki brengsek itu!" ucapnya tegas. Sorot matanya yang sangat tajam seketika membuat tubuh Stevani beringsut takut.
Hendarto menahan Gisela yang hendak mendekati Abram. Menatapnya sangat tajam. Kepala Gisela pun tertunduk. Jika sang papa sedang dipenuhi emosi seperti ini. Hal yang perlu dilakukan hanyalah diam dan jangan sekalipun membantah.
"Aku akan membawa Gisela pulang dan mengurus perceraian kalian. Kamu urusi saja wanita sialan itu dan janinmu yang ada di rahimnya. Aku tidak sudi lagi memiliki menantu sepertimu. Cih!" Hendarto meludah tepat di depan Abram.
Kemudian, ia menarik tangan putrinya untuk pergi dari ruangan itu. Ia akan membawa putrinya pulang ke rumah. Kecewa. Hati Hendarto merasa sangat kecewa karena putri yang sudah ia besarkan dengan penuh kasih sayang harus jatuh kepada lelaki yang salah.
Setibanya di rumah, Hendarto langsung menyuruh Gisela untuk duduk berhadapan dengannya. Tatapan lelaki itu masih setajam elang dan Gisela sama sekali tidak berani mengangkat kepala.
"Kenapa kamu selama ini diam saja? Tidak mengadu kepada papa. Apakah papa tidak berarti lagi untukmu?" Nada bicara Hendarto menyiratkan sebuah kekecewaan. Meskipun bukan ucapan bernada tinggi, tetapi mampu membuat hati Gisela terasa bergetar. Ia menyesal.
"Maafkan Gisel, Pa. Gisel dan Mas Abram hanya butuh waktu untuk saling mengenal." Gisela memberanikan diri untuk membuka suara.
"Astaga." Embusan napas Hendarto terdengar cukup keras. "Papa membesarkanmu bukan untuk menjadi budak cinta seorang lelaki. Jika sikap Abram yang cuek, papa masih bisa menerima. Tapi ini sudah sangat keterlaluan. Katakan kepada papa, berapa kali dia sudah menamparmu?"
Gisela terdiam. Membuat Hendarto makin menaruh curiga kepada putrinya. Diamnya Gisela seolah menjadi jawaban kalau Abram tidak hanya sekali dua kali melakukan kekerasan kepada putrinya.
"Gisela Thania Ayudia. Dengarkan papa, Sayang. Lihat mata papa."
Gisela pun mendongak dan menatap kedua mata Hendarto yang terlihat sendu dan menyorotkan luka. Ia tidak tega melihat papanya sesedih itu hanya karena dirinya.
"I-iya, Pa."
"Dengarlah, kamu boleh jatuh cinta dengan siapa pun. Melabuhkan hati untuk siapa saja, papa tidak akan pernah melarang. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat. Jangan hanya karena cinta kita menjadi orang yang bodoh," nasehat Hendarto.