Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam
Gadis itu menegakkan punggung, suaranya lembut namun terdengar sangat percaya diri saat menjawab. "Namaku Laras, Bu. Dan ini Mamaku, Wati."
Sintia mengangguk, menyunggingkan senyuman manis. "Oh, senang sekali bisa mengenal kalian. Nama saya Sintia."
Wati, yang duduk di sebelah Laras, membalas dengan anggukan kecil. "Kami juga senang sekali bisa berkenalan dengan Bu Sintia. Kebetulan sekali tadi kita nggak sengaja tabrakan di koridor. Jadi bisa mengenal satu sama lain."
"Iya, benar," Sintia menyahut dengan nada ramah, lalu memusatkan perhatian pada Laras kembali. "Jadi, Laras, apa kesibukanmu sekarang, Sayang? Sudah kuliah atau masih sekolah?"
Laras tersenyum, tampak sedikit gugup. "Aku masih sekolah, Bu. Kelas tiga SMA."
"Oh? Kelas tiga SMA?" Sintia tampak terkejut, lalu tersenyum lebih lebar. "Kebetulan sekali. Anak bungsu saya juga kelas tiga SMA. Kalian seumuran, dong."
Laras hanya tersenyum kecil tanpa berkomentar, sementara Wati ikut menimpali, "Wah, kebetulan sekali. Anaknya Ibu sekolah di mana, kalau boleh tahu?"
"Di SMA Penabur Harapan," jawab Sintia sambil tersenyum ramah.
Laras seketika terbelalak, menoleh pada ibunya dengan ekspresi terkejut saat mendengar nama SMA Penabur Harapan disebut. Itu adalah sekolah terfavorit di Jakarta. Biayanya memang mahal, tapi fasilitasnya lengkap dan kualitas pendidikannya nomor satu
Namun, ibunya justru tampak biasa saja karena tidak mengetahui mengenai sekolah-sekolah elit dan mahal yang ada di Jakarta.
Sebelum ada reaksi lebih lanjut, pelayan datang membawakan pesanan mereka, mendorong kereta penuh hidangan yang beraroma menggugah selera.
"Akhirnya!" Sintia tersenyum puas melihat meja mulai dipenuhi berbagai menu. "Lihatlah, ada kepiting saus Padang, udang galah bakar madu, cumi goreng tepung, kerang hijau saus tiram, dan sup tom yam."
"Banyak sekali, Bu, pesannya," komentar Laras menatap ke arah hidangan yang tersedia. Sementara dia dan ibunya hanya memesan sushi dengan ukuran sedang saja.
Sintia tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Kalian suka seafood, kan? Makan saja sepuasnya hidangan ini."
Laras dan Wati serempak mengangguk dengan canggung, lalu mengucapkan terima kasih sebelum pelayan pergi. Saat Sintia sibuk memastikan piringnya tertata rapi, Laras menunduk ke arah ibunya dan berbisik, "Ma, itu SMA Penabur Harapan. Sekolah elit yang biayanya mahal banget. Anak-anaknya orang kaya dan konglomerat semua."
Mendengar bisikan itu, Wati nyaris menjatuhkan sendok di tangannya. Matanya membulat saat menatap Sintia yang sedang menuangkan sup tom yam ke mangkuknya. Fakta bahwa wanita anggun di depannya mampu menyekolahkan anak di tempat mahal khusus anak-anak orang kaya dan konglomerat membuatnya terdiam.
Wati, yang biasanya gemar memamerkan pencapaian dirinya kepada orang baru, kali ini menahan diri. Status Sintia yang diduga sebagai seorang konglomerat membuatnya gentar.
Suasana makan malam berlangsung hening, hanya sesekali terdengar bunyi sendok dan piring. Namun, di tengah menyantap makanan, Sintia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Laras dan Wati dengan serius.
"Saya ingin menawarkan sesuatu kepada kalian," ucapnya dengan nada lembut namun penuh otoritas.
Laras dan Wati mengangkat wajah, tampak penasaran.
"Saya sedang mencari seseorang untuk membantu saya. Pekerjaan ini tidak terlalu sulit, tapi saya pastikan kalian akan mendapatkan gaji yang sangat besar. Seratus juta per bulan," kata Sintia sambil tersenyum.
Wati langsung membelalakkan mata, hampir tidak percaya dengan jumlah yang disebutkan. Laras, meski lebih menahan diri, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Seratus juta, Bu?" ulang Wati, seolah ingin memastikan dia tidak salah dengar.
"Ya," jawab Sintia ringan. "Tapi ada satu syarat. Laras harus bersedia menikah dengan anak sulung saya."
Kalimat itu membuat suasana seketika berubah. Laras terpaku, tubuhnya mendadak kaku di kursinya. Wati juga tampak terkejut, meski tidak mengatakan apa-apa.
"Tapi, Bu Sintia, aku masih sekolah..." Laras akhirnya membuka suara, nadanya pelan dan penuh keraguan.
"Tenang saja," potong Sintia cepat, suaranya terdengar penuh keyakinan. "Itu urusan mudah. Kamu bisa tetap sekolah setelah menikah. Saya tidak akan membiarkan pendidikanmu terganggu."
Wati, yang awalnya merasa ragu, mulai memikirkan tawaran itu dengan serius. Seratus juta per bulan adalah jumlah yang sangat besar, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, dia tetap merasa bimbang karena Laras masih terlalu muda untuk menikah.
"Bu Sintia," kata Wati dengan hati-hati. "Laras ini masih sangat muda. Saya khawatir dia belum siap untuk berumah tangga..."
"Ah, jangan khawatir soal itu," sahut Sintia cepat. "Saya akan memastikan semuanya berjalan lancar. Lagipula, anak saya laki-laki yang luar biasa. Tampan, cerdas, dan tentu saja akan mewarisi seluruh bisnis keluarga kami. Laras akan hidup seperti seorang putri."
Kata-kata itu membuat Wati semakin tergiur. Dia melirik Laras, berharap putrinya mau mempertimbangkan tawaran itu. Laras, di sisi lain, merasa hatinya berdebar tak karuan. Ide menikah di usia muda benar-benar membuatnya ragu, tapi harapan ibunya, ditambah bujukan Sintia yang begitu meyakinkan, membuatnya merasa ingin.
Akhirnya, setelah beberapa saat hening, Wati mengangguk pelan. "Baiklah, Bu Sintia. Kalau Laras setuju, saya juga tidak keberatan."
Laras terdiam, merasa seluruh dunianya berubah dalam sekejap. Dengan suara kecil, dia akhirnya berkata, "Kalau Mama setuju... Aku juga ikut."
Senyum puas merekah di wajah Sintia. Rencananya berjalan lancar. Sekarang, dia hanya tinggal memastikan semua langkah berikutnya sesuai dengan kehendaknya.
***
Sintia melangkah dengan penuh semangat memasuki ruang keluarga yang luas dan megah, wajahnya bersinar cerah. Tono, suaminya, yang sedang duduk di kursi santai, langsung menatapnya dengan penasaran saat melihat ekspresi gembira istrinya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Tono, matanya menyiratkan rasa ingin tahu.
Sintia duduk di sebelahnya, masih dengan senyum lebar yang tak terbendung. "Mama sudah menemukan gadis yang cocok untuk Abraham, Pa," jawabnya, suaranya penuh kepuasan. "Namanya Laras. Dia luar biasa, Pa. Seorang lulusan universitas Columbia di New York, jurusan psikologi. Begitu pintar dan berkarakter."
Tono menatapnya dengan antusias. "Laras? Wah, itu luar biasa. Papa sangat senang mendengarnya! Kalau begitu, kita harus segera pertemukan garis ini dengan Abraham."
Sintia mengangguk, merasa yakin bahwa rencananya berjalan mulus. "Mama pikir kita bisa mengundangnya untuk makan malam di sini besok malam. Mama ingin keluarga gadis itu dan keluarga kita bisa lebih mengenal satu sama lain. Ini juga bisa menjadi kesempatan yang baik untuk Laras dan Abraham berkenalan dengan lebih akrab."
Tono merenung sejenak, memikirkan saran istrinya. Setelah beberapa saat, dia tersenyum puas. "Itu ide yang bagus. Ramon, tolong hubungi Abraham dan pastikan dia datang ke makan malam besok. Papa mau semuanya berjalan lancar."
Segera setelah itu, Tono menoleh ke arah putra bungsunya, Ramon, yang sedang duduk di meja makan dekat jendela sambil memeriksa ponselnya.