"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Yang terungkap
Bab 19: Kebenaran yang Terungkap
Suara mesin monitor jantung Nayla berdetak pelan, memenuhi ruangan sunyi di rumah sakit. Lampu putih di langit-langit menyinari wajah pucat gadis kecil itu, yang kini tertidur lemah dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.
Di sampingnya, Rini duduk dengan mata sembab, menggenggam tangan kecil Nayla erat-erat. Matanya sesekali melirik ke arah Aditya, yang juga terjaga dan duduk di ujung ranjang adiknya, berusaha tetap kuat meskipun hatinya hancur melihat kondisi Nayla.
Tak lama kemudian, pintu kamar rumah sakit terbuka. Bu Lastri masuk dengan wajah serius, membawa sebuah kantong plastik berisi makanan. Dia meletakkannya di meja kecil dekat ranjang, lalu duduk di kursi di samping Rini.
“Rini, kamu sudah makan?” tanya Bu Lastri dengan nada lembut.
Rini menggeleng pelan. “Saya tidak lapar, Bu…” suaranya serak karena terlalu banyak menangis.
Bu Lastri menghela napas panjang. “Aku mengerti… tapi kamu tetap harus jaga kesehatan. Kalau kamu sampai sakit, siapa yang akan menjaga Nayla dan Aditya?”
Rini menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia tahu Bu Lastri benar, tapi bagaimana bisa dia memikirkan dirinya sendiri saat Nayla masih berjuang untuk hidup?
Setelah beberapa saat hening, Bu Lastri akhirnya membuka suara dengan nada lebih serius.
“Rini… aku perlu bicara sesuatu.”
Rini menatap majikannya dengan heran. “Ada apa, Bu?”
Bu Lastri menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku tahu semua yang terjadi sebelum aku datang ke rumahmu tadi malam… tentang bagaimana kamu meminta bantuan kepada Bu Ayna.”
Mata Rini membesar, dadanya terasa sesak. “B-bu… bagaimana bisa Ibu tahu?”
“Aku mendengar gosip dari Bu Ayna sendiri.”
Rini menegang.
Penghinaan yang Menyakitkan
Bu Lastri menatap Rini dengan penuh empati. “Aku tadi sore tidak sengaja lewat depan rumah Bu Ayna, dan aku mendengar dia berbicara dengan tetangga-tetangga yang lain… tentang kamu.”
Rini menahan napas.
“Ayna mengatakan bahwa kamu datang ke rumahnya seperti pengemis, menangis-nangis minta beras. Dia mengatakan bahwa kamu hanya bisa meminta-minta, tidak tahu malu, dan tidak becus menjadi seorang ibu.”
Mata Rini mulai berkaca-kaca.
“Dia bahkan bilang… kalau Nayla sakit, itu adalah balasan atas kemiskinanmu. Katanya, ‘anak miskin memang tidak layak hidup enak. Kalau mati, ya mati saja.’”
“TIDAK MUNGKIN!!” Rini menjerit, tubuhnya bergetar.
Bu Lastri menggenggam tangannya erat. “Aku tahu itu kejam, Rini… tapi itulah yang aku dengar.”
Air mata Rini jatuh tanpa bisa ia tahan. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa berkata seperti itu tentang anak kecil yang sedang berjuang untuk hidup?
“Aku tidak tahan mendengar semua itu, Rini,” lanjut Bu Lastri, suaranya bergetar marah. “Itulah kenapa aku langsung pergi ke rumahmu semalam. Aku khawatir. Aku takut terjadi sesuatu pada Nayla…”
Rini menutupi wajahnya, bahunya bergetar hebat. Dia tidak bisa menahan tangisnya lagi.
“Kenapa mereka begitu jahat, Bu…?” isaknya. “Apa salah saya? Apa salah Nayla?”
Bu Lastri menarik napas panjang, lalu berkata dengan penuh ketegasan, “Rini, dengarkan aku baik-baik. Jangan biarkan kata-kata mereka menghancurkanmu. Kamu bukan ibu yang buruk. Kamu wanita kuat. Kamu telah melakukan segalanya untuk anak-anakmu.”
Rini mengangkat wajahnya, menatap Bu Lastri dengan mata penuh air mata.
Bu Lastri melanjutkan, “Aku akan membantumu, Rini. Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian menghadapi semua ini.”
Rini terisak, tidak bisa berkata apa-apa. Hanya ada rasa haru yang mengalir di hatinya. Setidaknya… masih ada orang baik di dunia ini.
Di tempat tidur, Nayla masih tertidur lemah, sementara Aditya menggenggam tangan adiknya lebih erat, seolah berjanji tidak akan membiarkannya pergi.
Dan di dalam hati Rini, satu tekad mulai tumbuh.
Dia tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak selamanya.