Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 5
Raynar tertidur di kamar Fisa, anak kecil itu awalnya hanya sedang bermain-main bersama sang kakak, tapi malah tertidur di sana. Sementara itu Arjuna sedang membantu Fisa belajar, gadis itu tertinggal pelajaran cukup banyak karena sebulan belakangan ia tak langsung bisa pindah sebab menanti sang ayah yang harus mengurus pekerjaan terlebih dahulu.
“Arjun, jangan tidur, temani aku.” Fisa mengguncang tubuh Arjuna yang hampir saja terlelap, mereka berdua sedang duduk di lantai beralaskan karpet bulu-bulu yang baru dibeli Kia beberapa minggu lalu. Arjuna sengaja bersandar pada sisi ranjang, dimana adiknya terlelap di sana.
“Ya udah sih, selesaikan saja itu tugasnya nanti bangunkan aku, biar kubantu koreksi.”
“Aaah, Arjuna… jangan tidur ih aku sendirian nih.”
“Kenapa sih Naf,” tanya Arjuna membenahi duduknya. Ia melihat Nafisa melirik ke arah jendela yang masih terbuka, gadis itu menuliskan sebuah pesan di kertas lalu menunjukkannya pada sang sahabat.
(Tolong tutup jendela, ada buntelan putih di pohon mangga)
“Yang bener Naf?” Mata Arjuna melotot tajam, ia sendiri paling takut pada makhluk satu ini. Seketika bulu kuduknya meremang, sapuan lembut angin malam di tengkuk membuatnya bergidik, membayangkan harus menutup jendela sendiri saat jelas-jelas tahu di sana ada makhluk menyeramkan itu membuat kaki Arjuna mendadak terasa lemas, resiko memiliki teman indigo.
“Tutup sendiri aja lah Naf, masa kamu nggak berani sih?”
Nafisa menggeleng, bukannya tidak berani ia memang sengaja mengerjai temannya itu.
“Masa sih? kamu kan udah sering lihat mereka, bahkan dari kecil, aku bayanginnya aja udah lemes banget nih tubuhku Naf,” rengek Arjuna lagi. Fisa menikmati wajah cemas Arjuna yang terlihat lucu, mungkin di luar sana cewek-cewek mengenal Arjuna sebagai sosok tampan pemberani yang jago beladiri, padahal mereka tak tahu saja lelaki ini sejatinya penakut.
“Justru itu Arjun, aku bisa lihat mereka dan itu semakin menyeramkan,” bisik Fisa sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, “kalau kamu kan beda, kamu jelas-jelas nggak bisa lihat mereka, tinggal jalan tutup jendela udah beres.”
“Astaga Naf-naf… kamu bener-bener ya, untung aja sayang,” gumamnya lirih di akhir kalimat.
“Apa kamu bilang? coba ulangi sekali lagi, ku getok kepalamu ya!” gerutu Fisa.
Arjuna terbahak-bahak, muncul satu ide dalam pikirannya. Ia duduk bersila menatap gadis di depannya yang terus saja uring-uringan, Nafisa selalu kesal jika digoda seperti itu, menurutnya Arjuna tak lebih dari seonggok daging yang bernyawa saja, tak ada istimewanya sama sekali di hatinya.
“Boleh aku tutup sekarang, tapi ada satu syarat yang harus kamu setujui.”
“Apaan?”
“Panggil aku Kakak, Kak Arjun. Ayo coba, kak Arjun, kak Arjun.”
“Idih, kakak kakak, jangan mimpi, biar aku tutup aja sendiri.” Fisa berjalan cepat menutup jendela, tak lupa menutup hidung lantas meraih pewangi ruangan dan menyemprotkannya ke arah pohon mangga, “bau bangke, siapa sih nggak mandi ini?” sindirnya sebelum benar-benar menutup jendela kayu itu.
Arjuna tersenyum geli, ia ingat gadis itu pernah bercerita bahwa makhluk dengan julukan buntelan putih memiliki aroma tak sedap yang sangat menyengat, meski ia tak pernah mencium sendiri aroma itu, tapi melihat ekspresi Fisa saja bisa dibayangkan bagaimana busuknya.
“Eh Naf, nggak salah loh kalau kamu panggil aku kakak, fakta aku memang lebih tua darimu, sebentar lagi aku lulus SMA,” katanya lagi, berusaha melanjutkan percakapan terakhir mereka.
Nafisa hanya mencebik, sebenarnya ia sadar itu tapi sudah terlalu nyaman memanggil Arjuna hanya dengan nama saja sejak mereka kecil.
Sementara itu di ruangan berbeda, Kia dan Shella berbincang berdua di ruang tengah. Para suami mereka sedang menonton televisi, kebetulan acara sepak bola kegemaran keduanya.
“Jadi Ki, bagaimana dengan kemampuan Fisa?” tanya Shella di sela-sela kegiatannya makan keripik kentang, wanita itu tak kenyang juga meskipun tuan rumah baru saja menyajikan semangkuk bakso yang dipesan dari penjual keliling yang kebetulan mangkal di depan rumah.
“Yah begitulah, masih sama saja. Rencana minggu ini Husin mau ke rumah kak Nia, mau coba minta tolong kak Dewa lagi, siapa tahu beliau bisa carikan kyai hebat yang mengerti masalah ini, setidaknya bisa menjaga putriku tetap aman Shel, syukur-syukur kalau kemampuan aneh itu bisa menghilang.”
“Lagian aneh sih, coba deh kamu bayangin bisa lihat tanda kematian orang lain lewat pantulan cermin, apa nggak ngeri tuh. Menyaksikan sendiri orang terkasih mendekati ajalnya, sedangkan Fisa tak bisa mencegah karena ajal seseorang itu murni kuasa ilahi. Wajar dia kalau kayak gitu, nggak gila aja udah bagus. Sedangkan kamu mah enak, sentuh-sentuh eh wisata masa lalu,” tuturnya panjang lebar.
Tazkia hanya diam, yang diucapkan Shella benar adanya. Andai saja dirinya berada di posisi Fisa pun mungkin tak lebih baik dari gadis itu, dulu pun Kia banyak dibantu kalung warisan ibunya, sedangkan Fisa? ia tak bisa memberikan kalung itu padanya, karena memang kalung itu tak bereaksi apapun di tangan Nafisa.
“Jadi, karena ini juga hubungan kalian nggak baik?”
Lagi-lagi Kia mengangguk, merebut paksa keripik kentang dari tangan Shella, membawanya dalam dekapan mendekati sang suami di depan televisi. Shella mengikuti langkahnya, lalu menepuk pundak suaminya yang masih asyik menatap layar televisi, Evan menoleh dan menyimak ucapannya.
“Kamu juga jangan mudah emosi pada gadis itu, kudengar dari Husin kamu marah-marah kan karena putrimu nggak ngerti dandan? emangnya kayak kamu kalau nggak dandan burik? Fisa mah persis bapaknya kali, udah cantik dari orok,” ejek Shella terang-terangan. Husin senyum-senyum mendengar pujian ini, sementara Kia berkacak pinggang dengan tangan menggulung lengan baju kiri dan kanan.
“Apa maksudmu? coba ulangi lagi!”
“Ampun ampun Ki, ampun!” teriak Shella saat Kia berusaha menggelitik pinggangnya.
“Astaghfirullah, kalian berdua ingat umur, kalau sampai anak-anak turun dan lihat ibunya macam ini apa yang mereka pikirkan?
Mendapat teguran sang suami, Tazkia menghentikan tingkah kekanak-kanakannya itu. Ia memang suka lupa diri jika sedang bermain dengan Shella, pasalnya wanita itu masih saja suka usil seperti dulu.
Evan meminta sang istri memanggil putra mereka, lelaki itu mengajak istrinya pulang karena sudah malam. Kia dan Shella bersama-sama naik ke lantai dua menuju kamar Fisa, dari kejauhan mereka bisa melihat Arjuna tertidur memeluk Raynar, sedangkan Nafisa masih terus belajar sendiri di lantai.
“Ya Allah, ini gimana konsepnya? tuan rumah gegoleran di atas lantai, tamunya enak tidur di kasur?” Shella mengguncang pelan tubuh Arjuna, remaja itu terbangun dan duduk lantas menguap beberapa kali.
“Nggak apa-apa kok Tante,” jelas Fisa merasa tak keberatan.
“Nggak apa-apa, kamu ini apaan sih Shel? yah namanya tamu ya wajar kalau putriku ngehormatin. Oh iya, Nak Arjuna, tante boleh nitip Fisa nggak kalau di sekolah? soalnya kamu tahu sendiri bagaimana anak ini, tante cuma khawatir dia nggak bisa beradaptasi.”
“Ibu…” rengek Fisa tak senang jika ibunya menganggap dia lemah seperti ini.
“Diam kamu.”
“Insya Allah Tante, Arjuna akan jaga Fisa dengan baik, dan pastikan Fisa punya banyak teman. Jadi, nanti kalau Arjuna udah lulus nggak khawatir juga ninggalin dia di sekolah sendiri,” kata Arjuna menatap lembut pada Fisa. Shella tersenyum melihat pemandangan damai ini, ia berharap keluarga mereka bisa terus rukun dan menjadi keluarga selamanya. Begitupun Kia, wanita itu juga memiliki harapan yang sama.
...