aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bayangan lama
di sisi kediaman keluarga Rama,
saat ini, Alda tengah menyapu halaman depan rumah dengan gerakan perlahan, sesekali menghela napas ringan. matahari sore mulai condong ke barat, cahayanya menghangatkan suasana sekitar. meski ia sudah mulai terbiasa dengan rumah ini, ada satu hal yang selalu membuatnya sedikit canggung, kehadiran Raka, abang kandung Rama
pintu pagar kecil di depan rumah terbuka perlahan. alda menoleh, mendapati sosok raka melangkah masuk dengan langkah tegap, masih mengenakan pakaian kerja. tas kerjanya tersampir di bahu, dan wajahnya tampak serius seperti biasa.
"baru pulang, mas Raka?" Alda menyapa dengan sopan, menghentikan sejenak aktivitasnya.
Raka sekilas melirik ke arahnya sebelum mengangguk pelan. "iya."
hening...
Alda melanjutkan pekerjaannya, sementara Raka masih berdiri di tempat, seolah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya.
"kau terlihat nyaman di sini," komentar Raka akhirnya, suaranya terdengar datar namun ada sesuatu di baliknya yang sulit alda tafsirkan.
Alda mengangkat alis. "maksud mas Raka?"
Raka menatapnya sejenak sebelum berjalan pelan ke arah teras. "kau bisa saja memilih jalan lain, tapi kau justru memilih menikahi Rama. seolah-olah ini keputusan yang mudah."
Alda merasakan napasnya sedikit tertahan. ia tidak menyangka Raka akan membahas ini secara langsung.
"apa sebelumnya kau tidak punya seseorang?" lanjut Raka tanpa melihatnya. "seseorang yang mungkin... menaruh perasaan padamu?"
Alda menggenggam erat gagang sapunya. kali ini, ia benar-benar terkejut.
sampai pada akhirnya Raka melirik ke arah Alda dengan tatapan sekilas. "atau mungkin kau tahu ada yang menyukaimu, tapi kau memilih tidak melihatnya?"
Alda terdiam. ia tidak bisa menebak arah pembicaraan ini. apa Raka hanya bertanya biasa? atau......
"tapi sudahlah," Raka tiba-tiba mengangkat bahu, nada suaranya terdengar seperti sindiran halus. "mungkin memang ada yang lebih mudah untuk ditinggalkan daripada diperjuangkan."
Alda merasakan dadanya sedikit menghangat dengan rasa penasaran. ia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud di balik kata-kata itu.
Raka tidak mengatakan nama siapa pun, tapi kata-katanya jelas membawa makna tersirat. seolah ia tahu sesuatu yang Alda sendiri tidak sadari.
"mas Raka..." Alda akhirnya bersuara, mencoba menggali lebih dalam, "maksud mas siapa? apa Alda sudah melakukan kesalahan?"
namun, Raka hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya berbalik menuju pintu rumah. "lupakan saja," ucapnya singkat. "anggap saja aku hanya mengamati."
setelah kejadian itu, tak lama kemudian Alda juga memutuskan untuk masuk kedalam rumah, ia langsung menuju dapur, di mana Ibu mertuanya, Bu Ratna, tengah sibuk menyiapkan makanan untuk makan malam.
"Alda, sudah selesai nak bersih-bersihnya?" ujar Bu Ratna dengan senyum hangat dari arah dapur.
"sudah Bu"
"Alda boleh bantu Ibu di dapur? Ibu perlu bantuan mengiris beberapa buah timun untuk lalapan nanti malam, ini kesukaan suami mu nak" Ibu Rama terlihat baru saja mencuci beberapa sayur di depan nya.
"Iya, Bu," tanpa pikir panjang lagi, Alda segera mengambil pisau dan mulai membantu.
suasana di dapur terasa nyaman, sesekali mereka berbincang ringan tentang masakan, kegiatan sehari-hari, hingga kebiasaan Rama di rumah sebelum menikah.
"Rama itu dulu kalau pulang kerja sering langsung ke kamar, malas makan kalau tidak ditawari," cerita Bu Ratna sambil tertawa kecil.
Alda ikut tersenyum. "sekarang sudah menikah, mungkin kebiasaannya akan berubah, Bu."
Bu Ratna menatapnya dengan tatapan penuh arti. "mudah-mudahan ya," katanya lembut.
suasana dapur masih dipenuhi percakapan kecil, ketika tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Alda reflek melirik ke arah pintu, lalu tanpa berpikir panjang, ia melepas celemeknya dan melangkah cepat ke luar dapur.
di ruang tamu, Ayah mertuanya tengah duduk membaca koran, sementara Raka baru saja hendak menaiki tangga menuju kamarnya. deduanya secara tidak langsung bisa melihat pintu depan.
saat Rama masuk, Alda langsung menghampirinya dengan langkah ringan. tanpa banyak bicara, ia mengulurkan tangan.
Rama yang baru saja melepas helm menatapnya dengan bingung. "eh?"
namun, sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, Alda justru meraih satu tangannya dan menundukkan kepala. bibirnya menyentuh punggung tangan suaminya dengan hormat, sebuah gestur yang sama sekali tidak disangka oleh siapapun yang melihat nya, termasuk Rama sendiri.
Rama membeku.
Bu Ratna yang baru keluar dari dapur sejenak menghentikan langkahnya, lalu menatap dengan ekspresi lembut. Ayah Rama menurunkan korannya dan melirik pemandangan itu dengan sorot mata penuh arti. sementara Raka, yang sudah setengah menaiki tangga, menghentikan langkahnya dengan ekspresi sulit ditebak.
"Mas Rama capek,?" tanya Alda pelan, suaranya terdengar alami, seolah mereka benar-benar sepasang suami istri yang sudah terbiasa seperti ini.
Rama masih diam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "ehh... nggak... nggak terlalu."
Bu Ratna tersenyum tipis. "Alda ini sopan sekali," komentarnya lembut, matanya menatap menantunya dengan penuh rasa suka.
Ayah Rama ikut menanggapi dengan nada santai, "iya, Rama beruntung. baru kali ini ada yang menyambutnya begitu pulang kerja."
Rama mengerjapkan mata, masih mencerna kejadian ini. ia bahkan lupa bahwa Alda kini bukan lagi sekadar sahabatnya. perannya sudah berubah, sekarang dia adalah istrinya.
Alda yang masih menundukkan kepala sedikit tersenyum lalu berkata dengan tenang, "Alda hanya melakukan apa yang biasanya Ibu Alda lakukan kepada Ayah Alda."
ruangan kembali sunyi untuk beberapa detik. Bu Ratna tersenyum lembut, sementara ayah Rama mengangguk kecil.
Rama masih sedikit terkejut, tetapi ada perasaan aneh yang perlahan muncul di hatinya. sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
tak selang lama, Bu Ratna kembali bersuara, "Rama, sebelum makan, bersihkan badan mu dulu. jangan sampai masuk angin," ujarnya lembut.
Rama menoleh, lalu mengangguk. "Iya, Bu."
saat hendak melangkah pergi, tiba-tiba ia menoleh ke Alda. "Alda, ikut aku sebentar," ajaknya santai.
Alda terkejut sesaat. "ke-ke kamar?" tanyanya ragu.
Rama mengangguk. "iya. ada yang mau aku bicarakan."
tanpa banyak bertanya, Alda mengikuti Rama ke kamar. setelah mereka masuk dan Rama menutup pintu, Alda menatap suaminya dengan sedikit penasaran.
"ada apa, Ram?" tanyanya lembut.
Rama berjalan menuju lemari, melepaskan jam tangannya, lalu menarik napas sebelum akhirnya menoleh ke arah Alda. "aku mau bicara soal pekerjaan."
Alda mengerutkan keningnya sedikit. "pekerjaan? apa ada masalah di pabrik?"
Rama menggeleng. "bukan. tapi siang tadi, saat meeting, ada keputusan yang dibuat secara sepihak"
Alda menunggu dengan sabar, membiarkan Rama melanjutkan.
"aku harus ke luar kota," ujar Rama akhirnya.
Alda masih berdiri dengan tenang di dekat tempat tidur, memperhatikan ekspresi wajah suaminya yang tampak sedikit ragu.
"ke luar kota?" ulangnya pelan, memastikan.
Rama mengangguk. "iya, ada proyek baru yang harus aku tangani langsung. dan aku harus berangkat besok sore."
Alda mengangguk kecil, menerima informasi itu dengan sabar. "berapa lama di sana?" tanyanya lembut.
Rama menghela napas. "belum pasti. Bisa seminggu, bisa lebih lama, tergantung situasi proyeknya."
Alda tetap diam beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum tipis. "baik, kalau itu tugas pekerjaan, aku tidak akan menghalangi, Ram. aku harap semuanya lancar."
Rama terdiam, menatap Alda yang begitu tenang menerima kabar ini. namun, ia tahu masih ada hal lain yang harus ia sampaikan, sesuatu yang mungkin akan lebih sulit untuk Alda terima.
"Da, sebenarnya ada satu hal lagi yang perlu aku sampaikan," ujar Rama hati-hati. "klien yang aku tangani kali ini... dia sahabat dekat... Nayla."
sekilas, ia melihat ekspresi Alda sedikit berubah, tapi hanya dalam hitungan detik, wajahnya kembali seperti semula, tenang dan sabar.
"oh..." Alda hanya mengangguk kecil.
"kamu tidak masalah?" tanya Rama sedikit ragu.
Alda tersenyum tipis. "kenapa harus jadi masalah Ram? itu urusan pekerjaan."
jawaban itu membuat Rama semakin bingung. ia menatap Alda dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda ketidaksukaan atau kemarahan, tapi ia tidak menemukannya.
Alda justru menunduk sedikit, menatap ujung kakinya sendiri sebelum berbicara dengan suara yang lebih pelan. "aku sadar, bagaimanapun Nayla lebih unggul daripada aku. dia adalah tokoh utama nya, dia lebih berhak untuk ada di sisimu, Ram. kalaupun kamu ingin bertemu dengannya nanti, aku sangat bersedia membantu."
Rama mendadak merasa dadanya sesak. ia mengerutkan keningnya, tidak menyangka Alda akan mengatakan hal seperti itu.
"kamu sadar sedang berbicara apa?" suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan.
Alda menatapnya kaget. "aku cuma ingin membantu kalau...."
"kalau apa, Da?" potong Rama, nadanya sedikit menajam. "aku masih menaruh dendam padanya, kenapa aku harus menemui dia,?"
Alda terdiam, tapi bukan karena takut. ia hanya mencoba memahami kenapa Rama tampak begitu kesal.
"aku hanya berpikir... mungkin kamu masih ingin menyelesaikan sesuatu dengannya," ujar Alda hati-hati.
Rama menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. "Alda, aku telah menikah dengan kamu. Nayla sudah pergi, dan aku tidak ingin ada urusan lagi dengannya."
Alda menunduk, jemarinya bermain-main dengan ujung bajunya, sebelum akhirnya ia mengangkat wajahnya lagi, menatap Rama dengan tatapan yang penuh arti. "bagaimana jika kemungkinan terburuk itu ada, Ram?" tanyanya lembut, namun penuh dengan penekanan. "bukankah selesai itu hanya dari sudut pandangmu saja?"
Rama memandang Alda dengan penuh kebingungan, berusaha memahami arah pembicaraan ini "maksudmu?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit terputus.
Alda menarik napas panjang sebelum menjawab dengan suara yang lebih pelan, "bagaimana jika Nayla tidak bisa menyelesaikan ini, Ram? hubungan kalian bukan hanya dalam hitungan bulan"
Rama menatap Alda dalam keheningan beberapa detik, "aku tahu mungkin saat ini kamu merasa tidak aman, tapi kita sudah menikah. dan ini bukan sekedar main-main lagi, Da"
Alda hanya tersenyum tulus seraya mulai membuka pembicaraan lagi, dengan suara yang tenang, namun penuh makna, ia berkata, "Ram, kalau Nayla memilih untuk tidak bisa melepasmu, maka aku yang akan mundur. biarkan nantinya aku yang akan bicara dengan keluargaku. "
suasana di dalam kamar terasa semakin hening, Rama menatap Alda dengan perasaan campur aduk. ia tidak tahu bagaimana harus merespon, karena apa yang Alda katakan bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi sebuah perasaan yang sangat tulus.