NovelToon NovelToon
Izin Menikah Mengubah Takdir

Izin Menikah Mengubah Takdir

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami
Popularitas:112.2k
Nilai: 4.7
Nama Author: Minami Itsuki

Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19 HARUS MENJADI ISTRI YANG PATUH

Aku menatap ibu dengan tatapan keras, merasa sedikit kesal. “Bu, ini tidak masalah. Laras sudah berusaha.”

Ibu masih terlihat kecewa, namun dia tidak melanjutkan kata-katanya. Aku tahu dia ingin banyak hal dari Laras, tapi kenyataannya, bukan hal mudah bagi Laras untuk memenuhi semua ekspektasi dalam waktu singkat.

Aku menoleh ke Laras yang berdiri di samping meja, wajahnya tampak cemas. Aku mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa ini sudah cukup, dan menyuruhnya duduk. Aku ingin mendukungnya, walaupun di dalam hati, aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini.

Mungkin, aku juga harus belajar untuk lebih sabar dan tidak terlalu menuntut.

Setelah selesai makan, suasana terasa sedikit lebih tenang meskipun masih ada ketegangan di udara. Ayah dan ibu kembali berbicara, seolah-olah mereka sudah memutuskan segalanya untukku dan Laras.

"Laras, mulai sekarang kamu harus tinggal di sini,” kata ayah dengan tegas, tatapannya serius. “Sebagai istri, kamu harus melayani Reza sebagai suami. Ini sudah keputusan yang harus kamu terima.”

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berat di perutku mendengar kata-kata ayah. Seolah-olah semua keputusan sudah dibuat tanpa mempertimbangkan perasaan Laras atau aku lebih lanjut.

Ibu pun ikut menambahkan, “Reza, kamu harus segera memberikan Laras anak, terutama anak laki-laki, agar bisa meneruskan garis keluarga kita. Itu hal yang penting. Jangan tunggu lama.”

Aku merasa seperti ada beban besar yang tiba-tiba dijatuhkan di atas pundakku. Sementara aku mengangguk pelan sebagai jawaban, aku tahu bahwa ini bukanlah keputusan yang bisa aku buat dengan mudah. Memang, aku ingin mempunyai anak lagi, tapi aku juga tahu betapa besar tekanan yang diberikan ibu dan ayah kepada kami, apalagi kepada Laras.

Laras hanya diam di sampingku, tampak sedikit cemas dan bingung dengan apa yang sedang dibicarakan. Aku bisa melihatnya menatapku, seolah mencari dukungan, dan aku merasa seakan-akan ini adalah ujian besar untuk kami berdua.

Namun, dengan tekad yang semakin kuat, aku tahu bahwa kami harus menghadapi ini bersama. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Laras, meski tantangan dan harapan dari orang tua semakin terasa berat.

Saat aku membawa Laras ke kamar yang sudah kusiapkan, aku bisa melihat ekspresi herannya. Ini bukan kamar utama yang dulu pernah aku tempati bersama Aisyah, melainkan kamar lain yang lebih kecil. Laras berhenti di ambang pintu, menatapku dengan ragu.

“Kenapa kamarnya di sini?” tanyanya pelan, matanya menatapku penuh tanda tanya.

Aku menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku pikir ini lebih baik,” jawabku singkat. “Aku ingin kita mulai semuanya dari awal, tanpa bayangan masa lalu.”

Laras tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat dia berusaha mencerna jawabanku. Aku tahu ini pasti terasa aneh baginya, tapi aku juga tidak ingin langsung membawanya ke kamar utama. Di sana terlalu banyak kenangan bersama Aisyah, dan aku sendiri belum siap menghadapi itu.

Dia melangkah masuk, melihat sekeliling. Kamar ini memang tidak sebesar kamar utama, tapi cukup nyaman. Aku sudah menyiapkan semuanya, memastikan dia tidak akan merasa diabaikan.

“Aku harap kamu bisa betah di sini,” ucapku akhirnya.

Laras mengangguk pelan, tapi aku tahu ada banyak pertanyaan yang tidak dia lontarkan. Aku pun memilih untuk tidak menjelaskannya lebih jauh. Biarlah waktu yang menjawab semuanya.

Aku menatap Laras yang masih berdiri di ambang pintu, seolah ragu untuk melangkah masuk ke dalam kamar yang sudah kusiapkan. Aku bisa memahami perasaannya, tapi untuk saat ini, aku tidak ingin menjelaskan terlalu banyak.

"Bereskan barang bawaanmu dulu," ucapku sambil melirik koper yang ia bawa. "Setelah itu, istirahatlah. Nanti aku akan membicarakan hal yang lebih penting denganmu."

Laras menatapku sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, ia mulai membuka kopernya dan mengeluarkan barang-barangnya satu per satu. Aku memperhatikannya sekilas sebelum memutuskan untuk meninggalkannya sendiri.

Aku tahu, ada banyak hal yang harus kami bicarakan. Tentang Aisyah, tentang pernikahan ini, tentang bagaimana kami harus menjalani kehidupan ke depan. Tapi untuk sekarang, aku ingin memberinya waktu untuk menyesuaikan diri dulu.

Saat aku melangkah keluar dari kamar Laras, mataku tanpa sadar tertuju pada pintu kamar yang ditempati Aisyah. Pintu itu tertutup rapat, seolah menjadi batas yang jelas antara aku dan dirinya.

Aku berdiri di sana beberapa detik, menatap pintu itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada keinginan besar untuk mengetuknya, melihat wajah Aisyah, berbicara dengannya, bahkan sekadar mendengar suaranya. Tapi aku sadar, aku sudah bukan siapa-siapa lagi baginya.

Dulu, kamar itu adalah tempat di mana aku dan Aisyah berbagi banyak cerita, tawa, juga pertengkaran. Tapi sekarang, di balik pintu itu, ada seseorang yang telah memutuskan untuk pergi dariku. Seseorang yang tidak lagi ingin melihatku sebagai suaminya.

Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk. Aku tahu ini salahku, aku tahu semua yang terjadi adalah akibat dari keputusan yang kuambil sendiri. Tapi tetap saja, kenyataan ini terasa lebih menyakitkan daripada yang kubayangkan.

Dan aku memilih untuk melangkah pergi. Tidak ada gunanya berdiri di sini lebih lama. Aisyah telah memilih jalannya, dan aku harus menerima konsekuensinya. Walaupun sulit, aku harus belajar untuk melepaskan.

Sore itu, aku mengajak Laras ke ruang keluarga. Aku duduk di sofa, sementara Laras duduk di seberangku dengan ekspresi yang masih terlihat canggung. Aku tahu, semua ini terasa tiba-tiba baginya, tapi aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kami.

"Ada hal penting yang harus kita bicarakan," kataku tegas. "Aku ingin rumah tangga ini berjalan dengan baik, tanpa masalah di kemudian hari. Untuk itu, ada beberapa peraturan yang harus kamu pahami dan patuhi."

Laras menatapku dengan bingung, tapi tetap mengangguk pelan. Aku memberikan sebuah buku catatan dan pena kepadanya. "Ketik atau tulis semua yang aku katakan. Aku ingin kamu benar-benar mengerti dan tidak ada alasan untuk melanggar."

Dia mengambil alat tulis itu dengan ragu. Aku pun mulai menjelaskan, "Pertama, sebagai istriku, kamu harus menghormati orang tuaku, seperti Aisyah dulu. Apa pun yang mereka katakan, kamu harus mendengarkan dan menaatinya."

Laras hanya diam, tapi aku bisa melihat dari ekspresinya bahwa dia tidak nyaman dengan peraturan ini. Aku mengabaikannya dan melanjutkan, "Kedua, kamu tidak boleh membantah keputusanku. Aku kepala rumah tangga, dan segala sesuatu yang aku putuskan harus kamu terima."

Tangannya sedikit gemetar saat menulis, tapi aku tetap melanjutkan, "Ketiga, jangan pernah membandingkan dirimu dengan Aisyah. Aku tidak ingin mendengar perbandingan antara kalian berdua. Kamu adalah kamu, dan dia adalah dia."

Aku berhenti sejenak, menatap Laras yang kini menunduk. "Keempat, aku ingin kamu segera hamil. Ini bukan sekadar keinginan, tapi kebutuhan. Aku ingin memiliki anak laki-laki untuk meneruskan keluargaku."

1
Ambo Nai
silaras pelakor sok bijak.pelakor murahan.
Arin
/Heart/
Arin
Sokor.....
Arin
Sudah nikmati saja pilihanmu sekarang Reza..... Apalagi didukung kedua orang tua mu. Manjakan istri barumu kan dirimu punya duit. Menikah kedua saja orang tuamu sudah membedakan dengan pernikahan pertamamu. Tapi nanti jangan menyesal jika istri keduamu tidak seperti yang kamu inginkan
Arin
Biar-biar dia menyesal Raka. Reza kan cuma nurut sama kedua orang tua nya. Tanpa memikirkan perasaan istrinya....... sakit
Arin
Makanya jangan sekali2 mengusik seorang istri dengan izin untuk poligami. Kalau aku di kayak gituin sih terus terang bilang..... Silahkan jika ingin menikah lagi aku izinkan, tapi syaratnya ceraikan aku.

Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
Sri Rahayu
Luar biasa
martina melati
terima kasih thor atas karyamu ini. tetap semangat berkarya y.

mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/
martina melati
menyesal kemudian tiada guna
martina melati
gk usah menghargai orang, sama menantu aplg cucu perempuan aja gk sayang... mauny sm cucu laki2 aja
martina melati
astagaaa... nih yg perlu diobati ibuny reza, terlalu obsesi cucu laki2
martina melati
turut prihatin y...
martina melati
maksudny? syndrom 1000wajah?
martina melati
br komen nih... pdhl drpd nikah cari istri br jaman skrg canggih bisa program bayi dg jenis kelamin.
martina melati
astagaaaaa
martina melati
bgm jika lahiran nti bayi perempuan y
martina melati
kasihan nti jabang bayiny lahiran bisa ngileran krn bumil ngidam gk ksampean
martina melati
jd suami bukanny mengerti malah mengintimidasi
martina melati
bahaya nih... bisa mengganggu perkembangan janin jika bumil stress ato depresi
martina melati
bukan lupa lagi... tp benar2 sdh lupa, malah pergi keluar dari rumah ktimbang berjumpa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!