Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 - Terlalu menyedihkan (4)
Pada hari minggu, Rojak seperti biasanya memulung. Pada hari itu, sebenarnya sudah banyak sekali sampah yang di pungut oleh Rojak. Akan tetapi, ia tetap mengumpulkan botol sebanyak-banyaknya bahkan menggunakan dua karung bekas.
“Dengan ini, pasti aku bakal gacor!”kata Rojak yang akan mendapatkan banyak uang.
Tak jauh dari lokasi Rojak memulung, terdapat Rizal dan teman-temannya yang sedang nongkrong. Tak lama kemudian, mereka tak sengaja melihat Rojak yang sedang memulung.
“Eh eh lihat tuh! Si cupu!”
“Hah mana?”
Mereka semua melihat ke arah yang ditunjuk termasuk Rizal.
“Hahaha lagi mulung toh!”
“Dia yang deketin cewek gue?”tanya Rizal.
“Iya.”
Rizal yang merasa ini adalah kebetulan, kemudian mulai menghampiri Rojak yang sedang memulung bersama dengan teman-temannya.
Di sebuah kampung kecil di pinggiran kota, Rojak menjalani kesehariannya sebagai pemulung. Ia adalah seorang remaja kurus dengan pakaian lusuh yang selalu dipenuhi debu dan bau sampah. Meskipun hidupnya berat, ia tetap berusaha menjalani hari-harinya dengan sabar.
Namun, hari itu berbeda. Rizal dan gengnya, yang dikenal dengan nama Spark Boys, datang menghampirinya. Dengan langkah pongah dan tawa sinis, mereka mengitari Rojak yang tengah membongkar tumpukan sampah mencari barang yang masih layak jual. Rojak merasakan firasat buruk, tetapi sebelum ia sempat bereaksi, Rizal sudah merebut kantong plastik besar yang berisi barang-barang temuannya.
Woi, anak udik! Ngapain lo? Mandi di comberan, ya?”
Rizal tertawa keras.
Rojak terdiam, memandang Rizal dengan wajah penuh tanya. Ia tidak mengerti mengapa anak-anak seperti Rizal selalu mengusiknya. Apakah karena ia miskin? Ataukah karena ia berbeda dari mereka?
Tanpa peringatan, Rizal dan anak buahnya menumpahkan seluruh isi kantong plastik ke atas kepala Rojak.
“Lu tuh bau banget. Mending mandi nih!”
“Mantap jadi seger kan lo?”
“Shower mahal!”
Bau busuk segera menyeruak, menyelimuti tubuhnya yang sudah kotor. Rojak tersentak, terbatuk, dan mencoba menghindari sampah yang terus berjatuhan di sekelilingnya.
“A-apa salah gue, Zal? Kenapa lu kayak gini ke gue?”
Rizal merasa Rojak tidak bersalah sama sekali. Padahal menurutnya, Rojak melakukan kesalahan besar.
"Lo bego apa gimana sih? Gak ngerti kenapa kita begini?"Rizal bertanya dengan nada mengejek.
Rojak menggeleng lemah. Ia ingin tahu, tapi di lubuk hatinya ia merasa jawaban itu tak akan masuk akal.
“Najis sok lugu!”
“Kasih paham, Zal! Kasih paham!”
Rizal kemudian menjelaskan.
"Woi, miskin! Gak usah sok kecentilan deketin Angie, pacar gue! Sadar diri dong, udah jelek, miskin, culun, kerjaannya cuma mungut sampah! Lo pikir bisa dapetin Angie? Ngaca goblok! Rumah lu ga punya kaca kah?”
Rizal menghardik sambil menendang tubuh Rojak yang masih tergeletak di atas tumpukan sampah.
“Berendam noh di sampah! Biar wangi!”
“Mampus lo gembel! Ahahaa!”
Rojak mengerang kesakitan. Ia ingin membela diri, ingin berkata bahwa ia bahkan tidak pernah mencoba mendekati Angie. Namun, percuma. Rizal sudah terbakar amarah. Pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhnya.
“BUGH! BUGH! BUGH!”
Pukulan dari juara SMA Sinar Pintar itu, membuatnya semakin lemah dan tak berdaya.
Setelah puas menyiksa Rojak, Rizal dan teman-temannya pergi sambil tertawa. Mereka meninggalkan Rojak yang tergeletak lemas di atas tumpukan sampah. Nafasnya tersengal, tubuhnya penuh luka, dan hatinya dipenuhi kesedihan.
Saat itulah, sebuah suara aneh berbisik di telinganya. Suara itu terdengar jauh, namun begitu jelas.
"Gali sampah... Gali sampah..."
Rojak terkejut. Ia menoleh ke sekeliling, tetapi tidak ada siapa-siapa. Suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih kuat.
Dengan tangan gemetar, ia mulai menggali tumpukan sampah di sekitarnya. Ia tidak tahu apa yang ia cari, namun suara itu terus membisikkan perintah yang sama. Gali... Gali...
Tiba-tiba, tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Ia menariknya keluar dan terbelalak. Sebuah berlian bersinar terang berada di genggamannya. Cahaya dari berlian itu begitu menyilaukan, bagaikan cahaya matahari yang terperangkap dalam sebuah kristal kecil.
Sebelum Rojak sempat bereaksi, berlian itu bergerak sendiri. Kekuatan tak terlihat menarik tangannya, membuatnya tak mampu melepaskan genggamannya.
Lalu, dengan gerakan yang mustahil dikendalikan, berlian itu melesat masuk ke dalam mulutnya.
Rojak tercekik. Ia mencoba melawan, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Berlian itu terus bergerak, melewati tenggorokannya, masuk ke dalam tubuhnya. Seketika, ia merasakan gejolak yang luar biasa. Seluruh tubuhnya seakan terbakar, seolah ada kekuatan asing yang berusaha menguasainya.
Dalam kepedihan itu, penglihatannya tiba-tiba berubah. Ia melihat dirinya sendiri, tetapi berbeda. Ia mengenakan baju perang hitam berkilau, dengan pedang menyerupai katana di tangannya. Kepalanya menyerupai singa, dan ia berdiri gagah di medan perang.
Di sekelilingnya, monster-monster raksasa mengelilinginya, mengaum dan mengancam. Namun, entah mengapa, Rojak tidak merasa takut. Ia justru merasa kuat, seolah kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya telah bangkit.
Pertempuran dimulai. Rojak menebaskan pedangnya dengan kecepatan luar biasa, mengalahkan monster-monster itu satu per satu. Cahaya dari pedangnya bersinar terang, membelah kegelapan. Rojak juga melihat sosok manusia berkepala singa itu memiliki jurus dalam berpedang.
“Regulus tornado!”
Sebuah serangan tebas dimana dirinya berputar-putar bagai tornado dan membunuh seluruh monster.
Namun, seketika penglihatannya kembali ke masa kini.
Ia kembali berada di tempat pembuangan sampah. Tubuhnya masih lemah, tetapi ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
"Apa yang baru saja terjadi...?" bisiknya, penuh tanda tanya.
Di pagi hari yang cerah, SMA Sinar Pintar dipenuhi dengan bisik-bisik yang menyebut nama Rojak. Kabar tentang dirinya menyebar begitu cepat, lebih cepat dari yang ia bayangkan. Saat ia tiba di sekolah, tatapan aneh mulai mengarah padanya, beberapa dengan tawa mengejek, yang lain dengan pandangan iba.
Salah satu anggota Spark Boys menghampiri Rojak dengan seringai licik.
"Hei, Rojak! Tahu nggak? Lo sekarang terkenal!" katanya dengan nada mengejek.
Rojak mengerutkan kening.
"Hah? Maksudnya apa?"
“Sudah ayo sini!”
Tanpa menjawab, anak-anak Spark Boys berjalan menuju papan mading sekolah. Rojak mengikuti mereka dengan perasaan tidak enak. Saat ia melihatnya, napasnya tercekat. Di sana, terpajang sebuah foto dirinya yang sedang tergeletak di tempat sampah.
“Ini bro!”
Gelak tawa meledak di sekitar mading. Salah satu anggota Spark Boys menunjuk fotonya dan berseru.
"Lihat nih! Bintang utama kita! Pahlawan sampah!"
Gelombang tawa semakin menjadi-jadi. Rojak merasa tubuhnya kaku, kepalanya berdenyut. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Rasa malu menyelimuti dirinya. Dengan harapan ada yang peduli, Rojak bergegas menemui guru BK.
Namun, alih-alih mendapat bantuan, guru BK hanya mengangkat bahu dan berkata.
"Kamu harus lebih kuat menghadapi ini, Rojak. Jangan manja."
Tidak puas, Rojak mendatangi kepala sekolah. Tapi hasilnya sama saja. Bahkan, ia mengetahui kebenaran yang lebih pahit, Rizal telah menyogok para guru dengan uang haram sebesar lima miliar rupiah. Semua orang di sekolah ini telah dibeli.
“Mentang-mentang anak pemilik Sekolah, jadi bisa semena-mena!”kesal Rojak.
Tak lama kemudian, Angie datang menghampiri Rojak. Sejenak, hatinya sedikit tenang. Mungkin, Angie akan membelanya. Namun harapannya hancur seketika.
"Jadi ini lo?" Angie menatap foto di mading dengan jijik.
“Jorok banget sih lo, Rojak! Gue gak masalah lo mulung, tapi tidur di sampah? Ewww, jijik banget! Najis!”
Angie kemudian melanjutkan kalimat yang membuat Rojak sakit hati.
“Mending lu lupain gw. Gw ga mau punya bestie yang jijay kayak lo! Brengsek!”
Rojak terpaku. Ia ingin menjelaskan, tapi Angie sudah berbalik pergi, meninggalkannya dengan rasa sakit yang mendalam. Di kejauhan, Rizal menyaksikan semuanya dengan senyum penuh kemenangan.
Hari itu, semua berubah. Rojak tidak hanya dipermalukan, tapi juga dijauhi oleh seluruh siswa. Tak ada seorang pun yang mau berbicara dengannya. Bahkan saat seorang guru bertanya di kelas, ia tidak lagi bergairah untuk menjawab.
Saat pulang sekolah, Rojak berharap setidaknya keluarganya masih ada untuknya. Ia menghampiri adiknya, Poppy. Namun, harapan itu kembali hancur.
"Jangan dekat-dekat aku!" Poppy menepis tangan Rojak. Matanya berkaca-kaca, penuh kemarahan dan rasa malu.
"Teman-temanku bilang kalau abang suka berendam di sampah! Mereka bilang aku cuma tameng abang karena abang lemah! Aku malu, Bang... Aku menyesal jadi adikmu!"
Rojak terdiam. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Poppy berlari menjauh, meninggalkannya sendirian di tepi jalan.
Kini, Rojak benar-benar sendirian. Tidak ada teman, tidak ada keluarga yang mendukungnya. Semua menjauhinya, menganggapnya sampah.
Bersambung