NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:861
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Flasback Sebelum perpisahan

Di Ujung Penantian, Ada Keikhlasan

"Ada kalanya hati harus diuji sampai titik terlemahnya, sebelum akhirnya menemukan kekuatan sejati dalam keikhlasan."

---

Kehidupan yang Kembali Berjalan

Sejak pertemuan di bawah langit malam, hubungan Arpa dan Fathir perlahan menjadi lebih tenang. Mereka tak lagi terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian seperti dulu. Tidak ada lagi kata “menunggu” atau “andai” di antara mereka. Yang tersisa hanyalah perjalanan yang harus dijalani dengan penuh kesabaran dan doa.

Arpa kembali fokus pada kuliahnya. Aktivitas di kampus berjalan seperti biasa, tapi ada ketenangan baru dalam dirinya. Ia merasa lebih ringan, seolah beban berat yang dulu menghantui pikirannya perlahan sirna.

Di perpustakaan kampus, Arpa duduk bersama Salma, mengerjakan tugas kelompok mereka. Namun, seperti biasa, Salma tak bisa menahan rasa penasarannya.

“Arpa…” Salma memecah keheningan sambil menatapnya dengan mata berbinar. “Aku denger-denger kamu dan Fathir udah ketemu lagi? Gimana kabarnya sekarang?”

Arpa tersenyum tipis. “Kita baik-baik aja. Sekarang kami lebih santai, nggak ada lagi tekanan soal harus bareng atau nggak. Kita berdua sepakat buat fokus memperbaiki diri dulu.”

Salma mengangguk penuh pengertian. “Wah, aku seneng denger itu. Kalian hebat banget, bisa jaga semuanya tetap dalam jalur yang Allah ridhoi.”

Arpa tersenyum, merasa lega punya teman seperti Salma yang selalu mendukungnya.

---

Kabar yang Menggetarkan Hati

Sementara itu, di sudut dunia yang berbeda, Fathir sedang menyelesaikan tugas-tugas akademiknya di ruang asrama. Ia masih mengikuti program pertukaran pelajar di kota yang sama dengan Arpa, tapi waktu itu perlahan mendekati akhir.

Saat sedang menulis laporan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari pihak universitas di Timur Tengah. Ia membaca isi pesannya dengan seksama:

“Assalamualaikum, Fathir. Kami ingin menginformasikan bahwa program pertukaran pelajar Anda akan berakhir dalam satu bulan ke depan. Anda diharapkan kembali ke Timur Tengah untuk menyelesaikan semester terakhir Anda.”

Jantung Fathir berdetak kencang. Ia tahu hari ini akan datang, tapi membacanya langsung membuat hatinya bergetar.

"Satu bulan lagi... apa aku benar-benar siap untuk pergi lagi?" batinnya.

Ia mengambil jurnalnya dan mulai menulis:

“Ya Allah, aku tahu semua ini bagian dari rencana-Mu. Tapi aku takut. Aku takut harus meninggalkan semuanya lagi, terutama Arpa. Tolong beri aku kekuatan untuk menjalani ini dengan ikhlas.”

---

Pertemuan di Taman — Antara Perpisahan dan Harapan

Beberapa hari kemudian, Fathir menghubungi Arpa dan mengajaknya bertemu di taman kota yang selalu menjadi tempat mereka berbagi cerita.

Sore itu, langit tampak mendung seolah tahu apa yang akan terjadi. Arpa tiba lebih dulu dan duduk di bangku yang biasa mereka tempati. Tak lama, Fathir datang dengan wajah tenang tapi jelas menyimpan kegelisahan.

“Assalamualaikum,” sapanya pelan.

“Waalaikumsalam, Fath,” jawab Arpa sambil tersenyum.

Setelah beberapa saat hening, Fathir akhirnya memulai pembicaraan. “Arpa, aku dapet kabar dari kampus. Aku harus balik ke Timur Tengah bulan depan. Program pertukaran ini udah mau selesai.”

Arpa terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Meski ia tahu ini akan terjadi, tetap saja rasanya berat.

“Oh…” suaranya hampir tak terdengar. “Jadi… kamu bakal balik lagi?”

Fathir mengangguk pelan. “Iya. Aku harus menyelesaikan semester terakhirku di sana.”

Ada keheningan panjang di antara mereka. Angin sore berhembus lembut, membawa dedaunan kering yang jatuh dari pepohonan.

“Arpa, aku tahu ini nggak mudah. Bahkan buatku sendiri, ini berat. Tapi aku percaya, kalau ini memang jalan dari Allah, pasti ada maksud di balik semuanya,” kata Fathir berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Arpa tersenyum tipis, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Aku ngerti, Fath. Aku juga percaya kalau Allah nggak akan memisahkan sesuatu tanpa alasan. Aku cuma… aku cuma takut.”

“Takut apa?” tanya Fathir lembut.

“Takut kehilangan semuanya lagi,” jawab Arpa lirih.

Fathir menghela napas panjang. “Arpa, aku janji satu hal. Aku nggak akan mengulang kesalahan yang dulu. Aku akan terus menjaga komunikasi. Dan yang paling penting… aku akan terus mendoakanmu, seperti yang selalu aku lakukan.”

Arpa tersenyum dengan air mata yang jatuh. “Aku juga akan mendoakanmu, Fath. Aku yakin, kalau ini memang takdir kita, sejauh apapun jaraknya, kita akan tetap saling menemukan.”

---

Hari-Hari Terakhir — Menghargai Setiap Detik

Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Mereka berdua tahu bahwa waktu semakin menipis, tapi alih-alih menghabiskan waktu dalam kesedihan, mereka memilih untuk menikmati setiap momen dengan penuh syukur.

Mereka sering bertemu di perpustakaan kampus, mengerjakan tugas bersama, atau sekadar duduk di taman membicarakan hal-hal sederhana.

Suatu sore, mereka duduk di tepi danau kecil di taman kota. Burung-burung beterbangan di atas mereka, menciptakan suasana damai.

“Fath, pernah nggak kamu mikir… kalau semua ini ternyata ujian buat kita?” tanya Arpa tiba-tiba.

Fathir mengangguk. “Sering. Aku bahkan berpikir, mungkin perjalanan ini bukan tentang bagaimana kita berakhir bersama, tapi tentang bagaimana kita belajar menjadi pribadi yang lebih baik lewat proses ini.”

Arpa tersenyum. “Aku suka cara kamu melihat semuanya. Kamu selalu punya pandangan positif.”

Fathir tertawa kecil. “Aku belajar dari kamu juga, Arpa. Kamu ngajarin aku tentang sabar dan ikhlas.”

Mereka berdua terdiam, menikmati angin sore yang bertiup pelan.

---

Hari Perpisahan — Doa yang Menyatukan

Hari keberangkatan Fathir pun tiba. Bandara dipenuhi orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di antara keramaian itu, Fathir dan Arpa berdiri saling berhadapan.

“Aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” ucap Arpa dengan suara bergetar.

Fathir tersenyum, mencoba menahan emosinya. “Nggak perlu bilang apa-apa. Doa kamu udah lebih dari cukup.”

Arpa mengangguk sambil menahan air mata. “Kamu hati-hati di sana, ya. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup.”

Fathir tertawa kecil. “Iya, aku janji. Dan kamu juga harus jaga diri baik-baik di sini.”

Setelah hening beberapa saat, mereka saling menatap, seolah berkomunikasi lewat mata. Tanpa berkata lagi, mereka mengangkat tangan masing-masing, memanjatkan doa dalam diam.

"Ya Allah, jagalah dia di manapun berada. Satukan hati kami dalam ridho-Mu, meskipun jarak memisahkan. Jika dia takdirku, kembalikan dia padaku di waktu yang terbaik. Tapi jika bukan, tenangkan hatiku untuk merelakan."

Air mata mereka jatuh bersamaan. Fathir mengulurkan tangan, tapi bukan untuk menggenggam, melainkan untuk memberikan sebuah buku kecil — jurnal yang selama ini ia tulis.

“Ini buat kamu,” katanya. “Kalau kamu rindu atau butuh kekuatan, bacalah. Di dalamnya ada perjalanan kita.”

Arpa mengambilnya dengan tangan gemetar. “Makasih, Fath. Aku akan menjaganya.”

Dengan berat hati, mereka berpisah. Fathir melangkah menuju gerbang keberangkatan, sementara Arpa berdiri mematung, melihat punggungnya yang semakin jauh.

---

Refleksi di Malam yang Sunyi

Malam itu, Arpa duduk di kamarnya sambil memegang jurnal yang diberikan Fathir. Ia membuka halaman pertama dan membaca:

"Perjalanan ini panjang dan melelahkan. Tapi aku percaya, selama kita saling mendoakan, tak ada yang benar-benar hilang. Karena cinta yang diridhai Allah selalu punya jalan pulang."

Air mata Arpa kembali mengalir. Tapi kali ini, bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa syukur. Ia sadar bahwa perjalanan ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari kisah yang lebih besar.

Di tempat lain, di atas pesawat yang terbang tinggi, Fathir duduk sambil menatap bintang di luar jendela. Dalam hatinya, ia memanjatkan doa yang sama — doa yang selama ini menjadi penopang hubungannya dengan Arpa.

---

“Perpisahan bukan akhir dari segalanya. Karena hati yang saling mendoakan akan selalu bertemu di bawah langit yang sama.”

---

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!