Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Investigasi stasiun cave city ! musuh tak terduga muncul
Suasana pagi yang diselimuti kabut di pos perlindungan sudah menjadi pemandangan biasa bagi Samuel. Dengan langkah pasti, ia menuju gerbang pos perlindungan, pedang besar menggantung di punggungnya. Setiap langkahnya menimbulkan suara lembut di atas tanah yang berdebu, seolah memberikan isyarat bahwa petualangan baru telah dimulai.
Setibanya di gerbang, Samuel disambut oleh sapaan hangat dari bapak penjaga gerbang. "Selamat pagi, Samuel..." ucapnya, mengangkat tangan sebagai tanda salaman.
Samuel membalas dengan senyuman dan langsung mengajukan permohonan penting. "Saya ingin pergi ke stasiun bawah tanah Cave City, Pak."
Mendengar itu, wajah penjaga gerbang berubah serius. "Aku tidak berani memberi izin jika kau tak bersama timmu, Samuel! Stasiun itu adalah misi berbahaya," katanya, nada khawatir menyelimuti suaranya.
Dengan senyum meyakinkan, Samuel menjawab, "Saya hanya ingin pergi seorang diri. Jika saya tidak pergi lebih dulu, tim saya mungkin tidak akan bisa menyelesaikan misi ini!"
Penjaga gerbang terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Samuel. Ia tahu betapa kuatnya pemuda itu, dan terkadang, tekad bisa mengalahkan segala rasa takut. Namun, kesadaran akan bahaya di luar sana tetap membuatnya ragu.
"Apakah kau serius akan pergi seorang diri, Samuel? Aku tahu kau kuat... tapi ingat, lawanmu bukan manusia," penjaga itu menekankan.
Samuel menatapnya dengan serius, "Anda tidak perlu khawatir. Aku akan kembali, bahkan jika hanya setengah dari badanku yang tersisa!"
Penjaga gerbang menatap mata Samuel, dan setelah beberapa saat, ia mengangguk. "Baiklah, pergilah. Tapi berhati-hatilah!"
Dengan bunyi keras, gerbang tebal itu terbuka. (Kriiieett) Suara beton yang bergeser menandakan kebebasan, dan Samuel melangkah keluar dengan penuh percaya diri, seolah ia adalah pahlawan yang siap menyelamatkan dunia.
Namun, saat ia melangkah jauh, teriakan penjaga gerbang mengejutkannya. "HEEIII BOCAHH! SAMPAI KAPAN KAU AKAN JALAN KAKI MELEWATI GERBANG ITU?! LARI BODOH... KAU AKAN MENGUNDANG PARA ZOMBIE MASUK!"
Samuel terkejut, seketika berlari dengan cepat, debu berterbangan di belakangnya. "Baiklaaahhh.... Maafkan akuu, Pak!" teriaknya, berlari menjauh dengan panik.
Penjaga gerbang menghela napas, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Huuhhh... Bocah itu memang benar-benar ya," gumamnya, meskipun kadang konyol, ia tahu Samuel adalah sosok yang bisa diandalkan.
Dari kejauhan, Darius baru saja bangun dari tidurnya. Ia meregangkan tubuhnya yang kekar, menguap panjang. "Hoaaamm..." Suara menguapnya terdengar serak. Darius mengamati sekeliling kamar, merasakan ketidakhadiran sesuatu yang penting—pedang Samuel. "Kau sudah pergi ternyata, sialan!" gumamnya kesal, menyadari Samuel telah pergi tanpa pamit.
Sementara itu, di rute aman yang dilalui Samuel, mentari pagi terhalang awan mendung. Pemandangan kota yang hancur menambah suasana kelam. Samuel melangkahkan kakinya, merasakan ketegangan di udara. Di sebuah perempatan, senyumnya merekah ketika melihat arah tujuannya semakin dekat. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sekumpulan zombie berjalan serentak menuju satu arah.
"Pemandangan macam apa ini?!" gumam Samuel, merasa aneh melihat zombie berkelompok. Biasanya, makhluk-makhluk ini bergerak sendirian, terobsesi pada hasrat masing-masing.
Menyadari bahwa zombie-zombie itu menuju stasiun bawah tanah, Samuel mengikuti mereka dengan hati-hati. Setiap langkahnya disertai suara kaki yang menyentuh tanah, merasakan aura misterius yang menyelimuti. Ia berusaha tidak membuat suara, berfokus pada gerakan makhluk-makhluk mengerikan di depannya.
Akhirnya, Samuel tiba di pintu masuk stasiun bawah tanah yang gelap dan menakutkan. Aroma amis yang tajam segera menyambutnya, menyengat hidungnya. "Apa yang terjadi di sini?" pikirnya, jantungnya berdebar kencang. Ia melangkah ke dalam, waspada terhadap setiap suara dan gerakan.
Begitu memasuki stasiun, Samuel merasakan hawa dingin yang menyelimuti, seolah ada yang mengawasinya. Di dalam, gelap menyelimuti, hanya cahaya remang-remang yang berasal dari lampu-lampu yang bergetar, memberi kesan menakutkan. Di depan matanya, tampak banyak zombie mutasi berkerumun, terkurung dalam sel-sel yang berbentuk seperti telur besar.
"Harus segera dihancurkan sebelum mereka terlahir menjadi makhluk lebih mengerikan," pikir Samuel, merasakan ketegangan di lehernya. Meskipun sepertinya tak ada yang bisa melihat, ia merasa seperti diawasi oleh makhluk yang tak tampak.
Dengan langkah hati-hati, ia mendekati sekelompok zombie yang terkurung. Bau amis semakin kuat, menyengat dan menjijikkan. Beberapa zombie dalam telur tampak tenang, sementara yang lain bergetar seperti mereka berjuang untuk keluar. Samuel menahan napas, mengamati dengan penuh perhatian.
"Zombie ini harus dikeluarkan dari sini," ucapnya dalam hati. "Tapi aku harus tahu lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi." Ia menyusuri barisan telur, merasakan hawa mencekam yang menyelimuti ruang di sekelilingnya.
Saat ia mengamati dengan cermat, tiba-tiba ia melihat salah satu kelopak telur pecah. Matanya membelalak, terkejut saat melihat tangan zombie yang terulur keluar. Ketegangan menyelimuti, seolah waktu berhenti.
"Ini tidak baik!" pikir Samuel, terpaksa mundur sejenak. Dengan cepat, ia menyadari bahwa bahaya besar akan datang. Tanpa ragu, ia melanjutkan perjalanannya, mengikuti aroma amis yang lebih kuat lagi, menuju pusat reproduksi tumbuhan mutasi.
Akhirnya, ia sampai di tempat di mana tumbuhan mutasi itu berada. Di depannya, tumbuhan besar menjulang tinggi, cabang-cabangnya merambat ke segala arah, menutupi langit-langit stasiun. Dari jauh, ia melihat zombie biasa yang terperangkap dalam kelopak bunga tumbuhan, tertarik oleh sesuatu yang tak bisa mereka lawan.
"Jadi, inilah cara kerja tumbuhan ini," gumamnya pelan. Tumbuhan itu menyerap zombie dan mengubahnya menjadi makhluk mutasi melalui semacam akar yang menjalar di tanah.
Samuel merasakan ketegangan di dadanya semakin meningkat. Ia tidak bisa membiarkan ini berlanjut. "Mereka harus dihentikan sebelum lebih banyak zombie baru lahir," tekadnya.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari belakang. Ia menoleh dan melihat beberapa kelopak lain mulai pecah, memunculkan zombie mutasi yang lebih besar dan lebih mengerikan. "Ini lebih cepat dari yang aku duga!" teriak Samuel dalam hati, segera berbalik untuk mencari jalan keluar.
Ketegangan menyelimuti setiap langkahnya saat ia berlari menuju pintu keluar. Suara langkah kaki zombie yang bangkit dari dalam telur membuatnya merasa terjepit. Ia tidak punya waktu untuk ragu; jika ia tidak keluar sekarang, semua bisa berakhir.
Sampai di pintu keluar stasiun, jantungnya berdebar kencang. Samuel menarik napas dalam-dalam dan bersiap untuk apa pun yang mungkin terjadi. Ketika membuka pintu, ia terkejut melihat gerombolan zombie lain di depannya. "Tidak mungkin!" teriaknya dalam hati.
Di hadapannya, zombie-zombie itu bergerak maju, menujunya dengan mata kosong yang mengerikan. Samuel mengangkat pedangnya, memasang kuda-kuda, bersiap menghadapi serangan. Dia tidak ingin melawan, tetapi ia juga tidak punya pilihan lain. Dalam hitungan detik, gerombolan itu semakin dekat, mendekatkan diri ke ujung pedangnya.
Tapi saat mereka semakin mendekat, ada yang aneh. Mata zombie-zombie itu tampak... pasif? Samuel bingung, memperhatikan dengan seksama saat mereka melewatinya. Seolah terhipnotis, zombie-zombie itu hanya berjalan tanpa rasa takut, masuk ke dalam stasiun seolah mereka tidak melihatnya sama sekali.
"Mengapa mereka tidak menyerang?" pikir Samuel, bingung sekaligus lega. Ini adalah kesempatan untuk selamat tanpa harus bertarung. Namun, ia juga merasakan ketidaknyamanan yang menyelimuti. "Mungkin ada yang lebih besar yang mengendalikan mereka," pikirnya, merasakannya dalam tulang.
Samuel memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke arah yang lebih aman, menjauh dari stasiun bawah tanah dan kembali ke permukaan. Ia berlari secepat mungkin, hati berdebar kencang, merasakan kelegaan saat tiba di tempat yang lebih terang.
Sambil mengatur napasnya yang terengah-engah, Samuel terus berlari menjauh dari lorong stasiun bawah tanah yang sunyi dan mencekam. Setiap langkah membawa rasa lega yang semakin mendalam, namun bahaya seolah masih menghantuinya. Bayangan tumbuhan mutasi itu berkelebat di benaknya—makhluk yang menebar ancaman baru bagi manusia.
Namun, tiba-tiba—*srrakk!*
Sebuah suara gesekan terdengar dari belakang. Instingnya seketika menyuruhnya berhenti, tapi ia terlambat. Dengan kecepatan yang tak terduga, sosok gelap melompat dari balik bayang-bayang, langsung menghantam tubuhnya dengan kekuatan dahsyat.
Samuel tersentak mundur, tangannya refleks meraih pedang besarnya dan berusaha menjaga keseimbangan. Makhluk di hadapannya ternyata bukan zombie biasa. Ia adalah makhluk mutasi—lebih cepat, lebih lincah, dan dengan tatapan yang penuh kehendak untuk memburu. Gigi tajamnya berkilat dalam kegelapan, sementara cakar panjangnya siap merobek apa pun yang ada di depannya.
Samuel mencoba bertahan, mengayunkan pedangnya dalam serangan balasan, namun gerakan makhluk itu jauh di luar ekspektasinya. Setiap kali ia meluncurkan serangan, makhluk itu dengan mudah menghindar, berputar, dan menyerang dari sisi yang tak terduga.
“Aku harus cepat… fokus!” gumam Samuel dalam hatinya. Ia tahu bahwa jika tidak bisa segera mengatasi makhluk ini, pelariannya akan terhenti di sini.
Samuel mundur beberapa langkah, berusaha mencari celah, tetapi serangan bertubi-tubi dari makhluk itu membuatnya semakin terpojok. Tubuhnya mulai terasa lelah, napasnya semakin memburu. Ia menatap sekeliling, mencari jalan keluar, namun makhluk itu sudah menguasai medan, mengurungnya dalam lingkaran maut.
*Bam!* Makhluk itu melompat lagi, kali ini dengan cakarnya terulur, hampir mengenai wajah Samuel yang berusaha menghindar dengan susah payah. Tersudut dan hanya memiliki sedikit ruang untuk bergerak, Samuel menyadari satu hal—pertarungan ini akan sangat sulit dimenangkan.