Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 33
Di lobi kantor, Irwan dan Hermawan nampak tengah terlibat diskusi serius.
"Wan, menurutmu apa Ibrahim benar-benar tidak terlibat dengan masalah pencekalan proyek kita? Atau dia hanya berpura-pura mau menolong kita untuk menutupi perbuatannya?", tanya Hermawan.
"Saya juga bingung Pak. Saya kemarin sempat yakin kalau memang Pak Ibrahim pelakunya. Mengingat keluarga bapak punya masalah yang cukup berat, sangat mungkin bila Ibrahim sampai melakukan itu", sahut Irwan.
"Ya, menurutku juga begitu. Tapi andai bukan dia, lalu siapa?", tanya Hermawan, seraya mengusap wajahnya yang nampak lelah.
"Dari Pak Ibrahim sendiri apa sudah ada perkembangan Pak? Maksud saya, apa beliau sudah punya informasi awal tentang pelakunya?", tanya Irwan.
"Dia tadi menghubungiku pas jam makan siang. Dia menyuruhku mengirim berkas proyek yang sudah lepas dari kita. Katanya dia memerlukannya untuk merunut prosesnya dan siapa-siapa yang terlibat atau mungkin memiliki kepentingan terhadap proyek tersebut", jawab Hermawan.
"Sudah bapak serahkan?", tanya Irwan lagi.
"Ya, sudah. Tadi sudah kuminta salah seorang staf administrasi proyek untuk membawanya ke kantor Ibrahim, sesuai permintaannya. Aku sebenarnya merasa tidak enak dan ingin menyerahkannya langsung, tapi dia menolak. Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan orang lain, sekalipun orang-orangnya sendiri", sahut Hermawan.
Irwan mengangguk tanda mengerti.
"Bagaimana kabar Intan?", tanya Hermawan.
Irwan sedikit kaget mendengar pertanyaan itu, kemudian tersenyum.
"Yah.. sepertinya kami harus menunda tanggal pernikahan sampai urusannya di sana selesai. Sebenarnya saya ingin mendampinginya, tapi dia menolak. Katanya, perusahaan lebih membutuhkan saya saat ini. Dan dia lebih merasa tenang kalau saya ada di sini karena dia sendiri merasa bersalah karena meninggalkan perusahaan yang sedang dalam masalah", terang Irwan.
Kini Hermawan yang mengangguk paham.
"Kalau kondisi Hanif, bagaimana Pak?", tanya Irwan.
"Sampai sekarang masih belum sadar. Tapi menurut dokter, perkembangannya positif. Hanya saja perlu waktu yang cukup lama untuk pulih. Dan kemungkinan besar memang tak bisa seperti semula", jawab Hermawan sedih.
"Sebenarnya aku tidak yakin kalau Arya yang melakukan itu. Sesuai ceritamu, Hanif memang keterlaluan sampai menghina Tiara seperti itu. Kalau aku jadi Arya, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Hanya saja untuk melakukan tindakan seperti yang dituduhkan padanya, itu sesuatu hal yang mustahil dan berlebihan", sambungnya.
"Baiklah, anggap Ibrahim yang melakukannya. Tapi bukankah aneh karena setelah itu dialah yang memberikan fasilitas perawatan dan dokter terbaik untuk Hanif. Aku jadi tak habis pikir, apakah dia memang orang yang berhati mulia, atau malah seperti yang kita curigai. Seorang yang tengah mengelabui kita dengan berbuat baik untuk menutupi kejahatannya. Aku hanya takut kalau ternyata kita tengah menghadapi seekor serigala berbulu domba", sambungnya lagi dengan pandangan khawatir.
"Sebenarnya untuk sekedar balas dendam, bukankah hal ini terlalu berlebihan. Walaupun aku pribadi tak tahu pasti sejauh mana seorang Ibrahim Hasan bisa bertindak. Proyek kita dilibas, Hanif kritis di rumah sakit dan Arya ditahan. Sementara Intan dan Tiara pada saat yang sama juga tengah mengalami masalah keluarga yang cukup berat. Akhirnya rencana pernikahan kalian pun juga kena imbasnya. Anehnya, semua ini terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Dan bukan bermaksud mencurigai keterlibatannya, sepertinya ini terjadi setelah Intan mulai bekerja di sini", terang Hermawan hati-hati, takut menyinggung Irwan.
Irwan sedikit kaget dengan ucapan Hermawan. Tak dipungkiri kalau ia tak suka dengan ucapan tersebut yang menyudutkan Intan. Tapi kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan Hermawan ada benarnya. Sebelumnya keadaan kantor mereka baik-baik saja, bahkan bisa dikatakan dalam kondisi terbaik. Proyek mengalir dengan lancar, bahkan perusahaan berani memberi bonus besar pada karyawannya saking besarnya pendapatan mereka sejak tahun lalu. Tapi setelah Intan masuk, hal tersebut berubah drastis. Apa hanya kebetulan atau memang ada hubungannya dengan Intan?
"Maafkan aku Wan. Aku tidak bermaksud mencurigai Intan. Bisa saja dia tidak terlibat, tapi hanya jadi penyebab dan kita semua yang terkena imbasnya", ucap Hermawan tak enak melihat ekspresi Irwan.
Irwan kemudian tersadar dan merubah ekspresinya.
"Iya, saya tahu Pak. Saya mengenal Intan dan Tiara dengan baik, dan sepertinya tidak mungkin mereka melakukan itu", sahut Irwan.
"Sebaiknya kita tunggu saja perkembangan selanjutnya dari Ibrahim. Aku berharap ia bisa segera mendapatkan informasi yang kita butuhkan", ucap Hermawan.
"Baiklah, aku duluan. Akan aku kabari kalau ada informasi baru. Assalamualaikum", ucap Hermawan seraya berdiri dari duduknya kemudian meninggalkan Irwan.
********
"Sudah dapat filenya Zak?", tanya Rizal saat ia dan Mita baru sampai di rumah Zaki.
"Sudah bang, tunggu sebentar saya ambil laptop dulu", jawab Zaki.
"Mbak Mita, silahkan duduk dulu. Yang... Ini ada Mbak Mita", panggilnya pada Mama Chika.
Tak lama Mama Chika muncul sambil menggendong bayinya. Melihat Rizal, Chika langsung kegirangan dan minta di gendong.
"Titip Chika ya Bang, aku mau bikin minum dulu", ucapnya sambil menyerahkan Chika pada Rizal.
"Sebentar ya Mbak", sambungnya seraya tersenyum pada Mita.
Mita balas tersenyum seraya mengangguk.
Akhirnya mereka berdua asyik menimang Chika. Dan tentu saja kegembiraan Chika bertambah dua kali lipat.
"Wah, sudah cocok nimang bayi nih. Kapan rencananya?", tanya Zaki yang baru muncul diikuti oleh Mama Chika yang membawa minuman.
Rizal melotot ke arah Zaki, Mama Chika tertawa geli, sementara Mita seperti biasa wajahnya kembali memerah.
"Sori Bang, gitu aja kok sewot. Wajar kan aku nanya, orang kalian udah nikah juga", ucap Zaki tak sungguh-sungguh minta maaf.
"Aku cuma gak nyangka aja Bang. Kemarin-kemarin kalian baru kusumpahin jadian, eh malah jadi beneran. Memang lah, doa anak sholeh cepat terkabulnya", ucapnya lagi.
Dan sekali lagi Zaki harus ikhlas kepalanya dikeplak oleh Rizal.
"Cepetan dibuka filenya. Kebanyakan ngomong kamu", ucap Rizal kesal.
"Sebentar Bang, gak sabaran amat. Laptopnya agak lelet nih. Gak bisa sat set kaya Abang nikahin Mbak Mita"
Rizal hampir membalas Zaki lagi karena ucapannya, tapi Mita buru-buru mencegahnya.
"Zal, udah. Ada Chika, masa kamu mukulin ayahnya depan dia. Kasian, nanti dia sedih", bela Mita.
Rizal tersadar, kemudian melihat pada Chika yang ternyata malah tertawa.
"Lho, Mbak Mita kok manggil nama gitu sama Bang Rizal?", tanya Mama Chika.
Mendengar itu, Mita jadi salah tingkah dan malu.
"Memangnya kenapa, gak masalah juga kan? Lagian yang begituan kalian bahas juga", sahut Rizal kembali kesal.
"Iya.. tapi kan..", ucapan Zaki terhenti setelah menyadari kalau Rizal sudah melotot lebih dulu padanya.
"Haduh.. nasibmu Mbak.. dapat suami kayak bensin", celetuk Zaki pelan, untungnya Rizal tak mendengarnya terlalu jelas.
"Ini nih Bang, videonya", ucap Zaki seraya mengarahkan layar laptop ke hadapan Rizal.
Rizal melihat video itu sebentar.
"Gini Zak, teman kamu bisa gak melacak pengirim video ini? Aku kurang ngerti sih, tapi biasanya kayak bagian cybercrime bisa tahu dimana lokasi pengirim lewat video begini", terang Rizal.
"Kayaknya sih bisa Bang. Sebentar, aku telpon dia dulu", sahut Zaki, kemudian ke dalam untuk mengambil ponselnya.
"Mbak sama Abang rencananya tinggal dimana?", tanya Mama Chika.
Rizal dan Mita saling pandang sekilas. Dalam hatinya Mita juga ingin tahu itu, tapi sungkan bertanya. Atau mungkin gengsi, takut disangka ngebet tinggal serumah dengan Rizal. Padahal...
"Mungkin untuk sementara seperti sebelumnya dulu. Aku belum ngurus nikah kedinasan karena Pak Ibrahim minta secepatnya kami menikah secara agama. Takutnya kalau ada yang tahu kami serumah, mereka akan melaporkan aku karena melanggar kode etik", sahut Rizal.
Dan kini baru Mita paham bahwa Rizal sudah mengambil resiko besar dalam karirnya demi menikahi dirinya. Tapi kenapa?
"Memangnya kenapa Bang?", tak disangka Mama Chika mewakili keingintahuan Mita.
Rizal melihat sebentar pada Mita dan sedikit kaget karena ternyata Mita juga tengah melihat padanya, seperti menunggu jawaban.
"Karena... Pak Ibrahim khawatir kalau akhirnya beliau terpaksa harus menikahkan Mita dengan calon yang tidak beliau inginkan dan selama ini memang terus-menerus mencoba memaksa beliau", jawab Rizal.
"Siapa?", akhirnya Mita tak sanggup lagi untuk tidak bertanya.
"Deni?", sambungnya.
Rizal menghela nafas lalu mengangguk.
"Lalu, kenapa kamu mau Zal?", tanya Mita lagi, kini dengan tatapan intens pada Rizal dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Melihat hal itu Mama Chika kemudian permisi dengan perlahan. Bahkan ketika Zaki ingin kembali menemui Rizal, Mama Chika menarik tangannya dan mengajaknya ke kamar. Zaki yang bingung hanya menurut setelah mendapat isyarat dari isterinya.
"Kenapa? Apa karena kamu merasa bertanggung jawab atas kesalahpahaman Papa sama kita? Dan kamu merasa kasihan sama Papa dan juga aku karena mungkin kalau kamu tidak bersedia, aku bisa jadi isterinya Deni? Yang hanya mengejar nama dan kekayaan Papa, begitu?", tanya Mita.
Rizal terdiam dan tertunduk seolah mengiyakan pertanyaan Mita.
Mita tak kuasa menahan airmatanya. Sungguh malang nasibnya. Sebelumnya ia gagal menikah karena calon suaminya mengaku mencintai wanita lain. Dan sekarang, setelah sudah terlanjur menikah, dia baru tahu kalau suaminya menikahinya karena kasihan.
"Aku mau pulang", ucapnya seraya berdiri dan keluar rumah.
Mita kemudian menuju ke mobilnya yang sejak sebelum kedatangannya sudah menunggu di depan rumah Zaki.
Rizal mengejarnya kemudian mencoba bicara lewat kaca jendela. Tapi sayang, Mita sudah menutupnya dan menyuruh Alin untuk segera pergi dari situ. Dan setelah mobil itu menjauh, barulah Mita menangis sejadi-jadinya.
Dia merasa begitu bodoh mengharapkan lebih dari Rizal. Dan bagaimana bisa ayah tirinya sudah memaksa Rizal menikahinya untuk alasan yang tidak memihak Rizal sedikitpun.
Mita merasa malu, merasa rendah, merasa tak diinginkan, sekaligus merasa perih. Perih karena dia tidak bisa menampik kalau sekarang dia sudah jatuh cinta pada Rizal.
Rizal hanya bisa memandang mobil Mita menjauh. Wajahnya meringis dan pikirannya kalut. Setelah beberapa saat, baru ia kembali ke dalam.
"Kalian kemana hah?! Kenapa malah sembunyi? Kalian kira ini petak umpet apa?!", suara beratnya yang nyaring membuat Zaki dan Mama Chika bergidik.
Mereka kemudian beringsut keluar dari kamar. Sementara Chika sudah lelap tertidur di box bayi.
"Maaf Bang, kami cuma gak mau ikut campur urusan rumah tangga Abang", sahut Mama Chika.
Rizal diam kemudian duduk dan mengusap wajah hingga rambutnya. Zaki merasa kasihan melihatnya. Ternyata setelah menjadi suami isteri, pertengkaran dengan Mita sepertinya menyisakan beban berat bagi kakak iparnya.
Bagus...