Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: SUARA YANG TAK PERNAH DIAM
Arjuna duduk di tepi tempat tidurnya, tatapan matanya kosong menatap mawar merah yang kini tergeletak di meja kayu usang di sampingnya. Cahaya matahari pagi yang lembut mencoba menembus tirai jendela, tapi ruangan itu terasa tetap suram, seperti ada bayangan yang terus mengintai.
Semalaman dia tidak tidur. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah wanita itu muncul lagi, memanggilnya dengan suara lirih yang menembus mimpi. “Tolong aku... ini baru permulaan.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menggema, membuatnya semakin gelisah.
“Apa yang kau inginkan dariku?” Arjuna bergumam, mengusap wajahnya yang lelah.
Pikirannya berkecamuk. Peristiwa malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, tapi luka kecil di jarinya, bekas duri mawar yang menusuk, membuktikan semuanya nyata. Tidak ada yang tahu dia pergi ke rumah itu—bahkan ibunya yang selalu khawatir pun tidak curiga saat dia kembali pagi buta, basah kuyup dan gemetar.
Namun, Arjuna tahu bahwa dirinya tidak bisa terus mengabaikan ini. Mawar merah di meja itu... kenapa tidak layu sama sekali? Kenapa aromanya masih tetap sama kuatnya seperti malam itu?
Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.
“Jun, kau sudah bangun?” suara ibunya terdengar, lembut seperti biasa.
“Sudah, Bu. Masuk saja.”
Pintu berderit saat dibuka. Wajah ibunya langsung berubah cemas saat melihat kondisi Arjuna. “Kau sakit? Wajahmu pucat sekali.”
Arjuna memaksakan senyum. “Tidak, Bu. Hanya kurang tidur. Banyak pikiran.”
Ibu Arjuna duduk di tepi tempat tidur, menatap putranya dengan sorot penuh kasih. “Kau masih muda, Jun. Jangan terlalu banyak menanggung beban sendiri. Kalau ada yang mengganggumu, ceritakan pada Ibu.”
Arjuna ingin menceritakan semuanya—tentang suara lonceng, wanita di gaun merah, dan rumah terkutuk itu. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak mengerti?
“Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya mimpi buruk.”
Namun, saat itu juga, suara lonceng samar terdengar lagi. Arjuna membeku. Itu adalah suara yang sama seperti malam sebelumnya. Ia menoleh ke jendela, tapi tidak ada apa-apa di luar sana kecuali angin yang menggerakkan daun-daun.
“Jun? Kau kenapa?”
“Tidak, Bu. Tidak apa-apa.”
Ibunya memiringkan kepala, memperhatikan Arjuna dengan tatapan curiga. “Kalau kau lelah, istirahat saja dulu. Ibu buatkan teh hangat, ya?”
Arjuna mengangguk, berusaha mengalihkan perhatian ibunya. Begitu ibunya keluar dari kamar, dia kembali menatap mawar merah itu. Suara lonceng semakin jelas, seperti memanggilnya lagi.
Arjuna tidak bisa bertahan lebih lama. Panggilan dari rumah tua itu terlalu kuat. Suara lonceng, bisikan wanita, dan bayangan gaun merah terus menghantuinya. Dengan membawa lentera yang sama seperti malam sebelumnya, dia berjalan lagi ke arah hutan, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.
Hutan itu lebih gelap dari yang dia ingat. Suara jangkrik dan burung malam seperti lenyap, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang berusaha menahannya untuk tidak melanjutkan.
Namun, saat ia tiba di depan rumah tua itu, pintunya sudah terbuka, seolah menunggunya.
“Sudah tahu aku akan datang,” gumam Arjuna sambil melangkah masuk.
Ruangan itu tidak berubah, masih sama gelap dan berdebu. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—di tengah ruangan, tepat di depan cermin besar, berdiri sebuah kursi kayu dengan sebuah kotak kecil di atasnya. Kotak itu terbuat dari kayu gelap, dihiasi ukiran bunga mawar.
Arjuna ragu-ragu, tapi langkah kakinya terus mendekat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang mengarahkannya. Dia membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya ada sebuah kalung dengan liontin berbentuk mawar kecil, terbuat dari perak.
Saat dia menyentuh kalung itu, suara wanita itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat.
“Kenakan... dan kau akan tahu kebenarannya...”
Arjuna mengangkat kalung itu, menatapnya dengan hati-hati. Cahaya lentera yang redup memantul di permukaan perak liontin, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Dengan hati-hati, dia mengenakan kalung itu.
Seketika, dunia di sekitarnya berubah. Rumah tua yang gelap dan suram berubah menjadi megah, dipenuhi dengan cahaya lilin dan suara tawa tamu-tamu yang berpakaian mewah. Arjuna berdiri di tengah pesta yang ramai, tapi tidak ada yang memperhatikannya.
Di sisi lain ruangan, dia melihat wanita itu—wanita dengan gaun merah. Tapi kali ini, dia tidak terlihat menyeramkan. Dia terlihat hidup, cantik, dan penuh kebahagiaan. Senyumnya memancar saat dia berdansa dengan seorang pria muda yang tampak memujanya.
“Vera...” suara pria itu memanggil nama wanita tersebut.
Vera... nama itu terasa familiar. Arjuna mengamati dengan saksama. Tapi tiba-tiba, suasana pesta berubah. Tawa berubah menjadi teriakan. Lilin-lilin padam, dan ruangan itu dipenuhi dengan suara kaca pecah.
Vera berlari keluar dari ruangan, wajahnya penuh air mata. Arjuna mencoba mengejarnya, tapi kakinya terasa berat. Dia hanya bisa menyaksikan Vera berlari ke taman di luar, di mana pria tadi berdiri menunggu. Tapi yang mengejutkan, pria itu mengeluarkan pisau dari sakunya.
Vera menangis, memohon sesuatu, tapi pria itu tidak mendengarkannya. Dengan sekali gerakan, pria itu menusukkan pisau ke tubuh Vera, menjatuhkannya ke tanah. Mawar merah yang sebelumnya dia pegang kini berguguran, terkena darah yang mengalir dari tubuhnya.
“Kenapa... kenapa kau lakukan ini?” Vera berbisik sebelum napas terakhirnya terputus.
Penglihatan itu tiba-tiba hilang, dan Arjuna kembali ke ruangan gelap di rumah tua itu. Tubuhnya gemetar, dan keringat dingin membasahi wajahnya.
Wanita itu—Vera—muncul lagi, kali ini berdiri di depan cermin besar. Tapi wajahnya tidak lagi penuh kesedihan. Tatapannya penuh dendam.
“Kau harus membalaskan kematianku,” katanya, suaranya tegas. “Dia masih ada di sini. Dia tidak pernah pergi.”
“Siapa... siapa dia?” tanya Arjuna, bingung.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya menunjuk ke arah pintu lain yang berada di sudut ruangan, pintu yang sebelumnya tidak ada.
Arjuna tahu dia tidak bisa mundur lagi. Jika dia ingin memahami semuanya, dia harus melangkah ke pintu itu. Tapi di balik pintu itu, dia tahu bahwa tidak ada jalan kembali.
Dengan langkah berat, dia membuka pintu tersebut, dan aroma mawar yang lebih pekat menyeruak, bersama dengan suara lonceng yang kini berbunyi tanpa henti.