"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.
Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.
Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18.
Malam itu, setelah Ethan tertidur di ruang tamu, Karuna duduk sendiri di meja kecilnya, memandangi sebuah foto pernikahannya dengan Damian. Foto itu tampak usang, sedikit pudar, dengan sudut-sudutnya yang mulai mengelupas. Mereka tampak bahagia di sana, tersenyum ceria, mengabadikan momen yang seharusnya menjadi kenangan indah. Namun, bagi Karuna, kenangan itu kini terasa sangat berbeda.
Ia teringat saat-saat terakhir bersama Damian, ketika kebahagiaan mereka mulai terkikis oleh amarah dan kata-kata kasar. Ia masih bisa merasakan tamparan Damian yang memedihkan pipinya, perasaan sakit yang lebih dalam daripada luka fisik. Kata-kata pedas yang dilontarkan Damian seperti pisau yang menusuk.
Dengan napas berat, Karuna meletakkan foto itu kembali ke dalam laci dan menutupnya rapat-rapat. Ia berusaha menepis bayangan masa lalu yang terus menghantuinya, lalu melirik ke arah Ethan yang sedang duduk di meja kecilnya, sibuk menggambar. Gambar-gambar penuh warna itu seperti dunia yang penuh harapan dan impian yang masih layak diperjuangkan. Senyum Ethan yang ceria adalah satu-satunya yang mampu memberikan sedikit ketenangan di tengah kerumitan hidup mereka.
Namun, seketika, ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Karuna menoleh dengan sedikit terkejut, karena tak ada yang ia harapkan datang pada malam itu. Ia bangkit dan membuka pintu, dan di luar sana berdiri Dirga, membawa beberapa tas penuh jajanan dan makanan.
“Dirga?” tanya Karuna, sedikit bingung melihat kedatangannya. “Kenapa datang malam-malam begini?”
Dirga tersenyum lebar, tidak tampak lelah meskipun sudah hampir malam. "Aku bawa makanan dan jajanan buat kamu dan Ethan. Sepertinya kalian perlu sesuatu yang enak setelah bekerja seharian." Dengan gerakan cepat, Dirga melangkah masuk, tanpa menunggu izin, seakan sudah sangat akrab dengan suasana rumah itu.
Ethan, yang mendengar suara Dirga, langsung berlari dengan senyum lebar, menyambut kedatangan pria itu. “Uncle!” teriaknya ceria, membuat Dirga berjongkok menerima Ethan kedalam pelukan nya.
Karuna merasa sedikit canggung, namun tidak bisa menolak perhatian baik Dirga. “Terima kasih, Dirga,” ucap Karuna sambil menerima tas berisi jajanan yang disodorkan. “Tapi, kamu nggak perlu repot-repot,” tambahnya, merasa sedikit terharu dengan perhatian Dirga.
“Tidak masalah, Karuna,” jawab Dirga sambil mulai membuka beberapa kotak makanan. “Aku cuma ingin kalian bisa menikmati makanan enak. Aku tahu kalian pasti capek setelah seharian bekerja keras.”
Mereka duduk bersama di meja makan kecil, dan Ethan dengan semangat membuka kotak Fizza, Burger dan mie goreng yang dibawa Dirga. Matanya berbinar saat melihat makanan yang sudah pasti lebih dari sekadar makanan biasa bagi mereka.
“Mmh, enak banget!” ujar Ethan sambil mengambil suapan pertama, dan senyumnya semakin lebar.
Melihat Ethan yang begitu bahagia, Karuna merasa sedikit terharu. Makanan itu mungkin terlihat biasa bagi dia waktu dulu, namun bagi nya sekarang, itu adalah kebahagiaan yang langka. Karuna menatap Dirga yang masih sibuk menyusun beberapa kotak makanan di meja.
“Terima kasih, Dirga,” ulang Karuna dengan suara yang lebih lembut. “Kami sangat menghargainya.”
Dirga tersenyum, namun kali ini ada kehangatan dalam tatapannya yang sedikit berbeda. “Karuna, aku bawa gaji kamu untuk bulan ini,” kata Dirga, sambil mengeluarkan amplop dari tasnya. “Aku pikir lebih baik memberikannya langsung, daripada kamu menunggu lama.”
Karuna terkejut mendengar itu. Ia tidak mengira bahwa Dirga akan datang ke rumahnya untuk memberikan gaji secara langsung. Ia merasa canggung, apalagi karena Dirga memberikannya dengan begitu tulus. “Dirga, ini terlalu banyak,” ucap Karuna, sedikit terbata. “Aku tidak tahu harus bagaimana…”
“Tidak usah canggung,” jawab Dirga dengan senyum tenang. “Kamu bekerja keras untuk itu, Karuna. Aku hanya ingin memastikan kamu dan Ethan mendapatkan yang terbaik.”
Karuna terdiam sejenak, menatap amplop itu, lalu menatap Dirga yang melihatnya dengan perhatian penuh. Rasanya sulit untuk menerima kebaikan seperti itu, apalagi dari seseorang yang baru ia kenal. Namun, pada saat yang sama, ia merasa sangat bersyukur, bahkan sedikit terharu. Tidak banyak orang yang peduli pada mereka, apalagi dengan cara yang begitu tulus.
“Terima kasih, Dirga. Tapi aku tidak bisa menerima semuanya,” kata Karuna, berusaha menolaknya dengan halus. “Aku sudah terbiasa bekerja untuk kebutuhan kami, dan aku tidak ingin merepotkanmu.”
Dirga menatapnya dengan serius, seolah ia bisa membaca kebimbangan di hati Karuna. “Aku tahu kamu keras kepala, Karuna. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak perlu terus berjuang sendirian. Aku bisa membantu, dan aku ingin kamu berhenti bekerja terlalu keras seperti ini,” ujar Dirga, suaranya lembut namun tegas.
Karuna terperangah. Ia tidak menyangka Dirga akan mengatakan sesuatu seperti itu. "Apa maksudmu?" tanya Karuna, suaranya bergetar. Ia merasa bingung dan sedikit khawatir.
Dirga menghela napas pelan, lalu menatap Karuna dengan tatapan yang penuh pengertian. “Aku ingin kamu berhenti bekerja di tempat yang begitu berat. Kamu berhak mendapat kehidupan yang lebih baik, Karuna. Aku bisa memenuhi kebutuhanmu, memberikan tempat tinggal yang layak, makanan yang cukup, dan semua yang kalian perlukan. Aku ingin kamu berhenti khawatir tentang hal-hal itu.”
Karuna merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. Tawaran Dirga begitu besar, begitu penuh perhatian, dan itu membuatnya merasa tersentuh, tapi juga takut. Ia sudah terlalu lama hidup dengan cara yang keras, selalu berusaha mandiri dan mengandalkan diri sendiri. Bagaimana ia bisa menerima tawaran sebesar itu?
“Aku… tidak tahu harus berkata apa, Dirga,” jawab Karuna akhirnya, suara penuh keraguan. “Aku sudah mulai terbiasa hidup seperti ini… dan aku tidak ingin menyusahkanmu.”
Dirga menatapnya dengan tatapan yang lembut namun penuh keyakinan. “Ini bukan tentang menyusahkan, Karuna. Aku ingin membantu, karena aku peduli pada kalian. Aku tahu kamu kuat, tapi tidak perlu selalu merasa harus melakukan semuanya sendirian.”
Karuna menunduk, hatinya terasa berat. Ia ingin menolak, ingin berkata bahwa mereka akan baik-baik saja tanpa bantuan siapa pun. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan selalu bisa terus berjalan seperti ini. Ada begitu banyak kesulitan yang harus ia hadapi sendirian, dan tawaran Dirga adalah sesuatu yang terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja.
Setelah beberapa saat terdiam, Karuna mengangkat kepala dan menatap Dirga. “Aku akan memikirkannya,” katanya, suaranya pelan. “Terima kasih, Dirga, untuk semuanya. Tapi aku… aku masih merasa canggung menerima semuanya ini.”
Dirga mengangguk dengan senyum lembut. “Tidak masalah, Karuna. Aku di sini untuk membantu. Ingat, kamu dan Ethan tidak sendirian.”
Malam itu, setelah Dirga pergi, suasana rumah kembali terasa sunyi. Karuna duduk di kursi kecil di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Di luar, angin malam berhembus pelan, sementara di dalam rumah, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang monoton. Ethan yang baru saja selesai makan kini kembali ke meja gambar kecilnya, sibuk dengan krayon di tangan, menggambar gambar-gambar imajinatif yang ia buat.
Karuna menghela napas panjang, perasaan campur aduk setelah percakapan dengan Dirga. Tawaran yang begitu besar, begitu baik hati, membuat hatinya terasa berat. Ia merasa ragu, takut jika terlalu bergantung pada orang lain, namun juga merasa malu karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
Tiba-tiba, suara kecil dari Ethan memecah keheningan malam itu.
“Mama…” Ethan berkata dengan nada serius, membuat Karuna menoleh padanya.
“Kenapa, sayang?” tanya Karuna dengan lembut, memandang anaknya yang sedang duduk di meja, wajahnya terlihat serius meskipun usianya masih sangat muda.
Ethan menatap ibunya dengan ekspresi yang aneh, seolah sedang mencerna sesuatu yang ada di pikirannya. “Kenapa papa nggak pernah datang ke sini, Ma? Kenapa nggak ada papa yang main sama Ethan?”
Pertanyaan itu menghentakkan hati Karuna. Selama ini, ia selalu berusaha menghindari membicarakan Damian dengan Ethan. Ia tahu anaknya pasti merasa ada yang hilang, namun Karuna selalu berusaha menjaga agar Ethan tidak merasa terlalu terbebani dengan kenangan pahit itu. Ia tidak pernah tahu bagaimana menjelaskan tentang perpisahan mereka dengan cara yang bisa dimengerti oleh anak kecil seperti Ethan.
Karuna tersenyum kecil, meski di dalam hatinya terasa sakit. Ia mencoba merangkai kata-kata yang tepat, agar Ethan tidak merasa terlalu terluka dengan kenyataan yang sulit ini.
“Papa… Papa sedang kerja jauh, sayang,” jawab Karuna, suaranya lembut namun penuh kepedihan. “Tapi Mama dan Ethan tetap bisa bahagia kok, meskipun tanpa papa di sini.”
Ethan mengangguk pelan, meski wajahnya masih menunjukkan rasa penasaran yang mendalam. Ia lalu menatap ibunya dengan penuh keyakinan dan berkata, “Tapi, kalau papa nggak datang, Ethan mau punya papa lain. Papa yang baik, kayak Uncle Dirga!”
Kata-kata Ethan itu seperti sambaran petir di siang bolong, membuat jantung Karuna berdetak lebih cepat. Ia terkejut dan sedikit tercengang mendengar nama Dirga disebut-sebut oleh anaknya dengan begitu polosnya.
“Ethan…” Karuna berkata pelan, berusaha mencari kata yang tepat. “Uncle Dirga itu baik, memang. Tapi, dia bukan papa kamu, sayang. Dia hanya teman, teman Mama yang ingin membantu kita.”
Ethan mengerutkan kening, tampaknya masih tidak sepenuhnya mengerti. “Kenapa nggak boleh panggil uncle Dirga papa, Ma? Kan dia sering bantuin kita. uncle bawa makanan, bawa hadiah buat kita, engga kayak papa yang pernah beliin Ethan jajan...”
Karuna merasa lidahnya terasa kelu. Pertanyaan dari Ethan yang begitu polos dan tulus itu membuat hatinya bergejolak. Di satu sisi, ia tahu betapa sulitnya untuk menjelaskan kepada anak kecil bahwa tidak semua orang bisa menggantikan peran orang lain. Namun, di sisi lain, ia juga merasa ada kehangatan dalam perhatian Dirga yang selama ini diberikan kepada mereka.
Sambil menatap Ethan yang tampak bingung, Karuna berusaha untuk menjawab dengan hati-hati. “Ethan, tidak semua orang bisa menggantikan peran papa, sayang. Papa kamu tetap papa kamu, walaupun dia nggak datang lagi ke sini.”
Namun, jawaban itu tidak cukup untuk menenangkan hati Ethan. Anak itu mengangguk, tetapi dengan mata yang penuh harapan, dia berkata lagi, “Tapi kalau uncle Dirga jadi papa Ethan, kita nggak kesepian lagi kan, Ma??”
_