"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan
Jiya segera berbalik. Ketika gadis itu melintasi Gading, tanpa sengaja dia melihat lengan Gading yang terdapat luka panjang bekas jahitan. Jantung Jiya berdetak kencang. Dia mengenali bekas luka tersebut. Itu adalah bekas luka yang dilihatnya ketika dirinya diserang seseorang beberapa waktu lalu. Seketika kegugupan dan ketakutan melandanya. Apalagi ketika Gading melihat ke arahnya dengan wajah dingin dan tatapannya yang menusuk.
Dengan cepat Jiya keluar dari ruangan Dipa. Gadis itu bergegas menuju lift. Begitu masuk dan pintu lift tertutup, dia jatuh terduduk di lantai kotak besi tersebut. Bayang-bayang kejadian menegangkan di mana dirinya hampir bertemu malaikat maut kembali melintas di pikirannya. Tubuhnya gemetar dan peluh mulai memenuhi pelipisnya.
Kotak besi yang membawanya berhenti di lantai tiga. Jiya segera berdiri. Sambil bertumpu pada dinding lift, gadis itu keluar dari dalamnya. Nurul yang melihat Jiya segera menghampirinya. Dia terkejut melihat wajah Jiya yang pucat dan tangannya sedikit gemetaran.
"Jiya kamu kenapa?"
"A.. aku ngga apa-apa."
"Kamu sakit?"
Nurul membantu Jiya kembali ke mejanya. Kemudian wanita itu bergegas menuju pantry, mengambilkan minuman untuk rekan kerjanya itu. Jiya menghabiskan minuman yang diberikan Nurul tanpa bersisa. Kemudian dia mengusap peluh yang memenuhi keningnya. Nurul melihat cemas pada gadis di depannya.
"Kamu sakit, Ji?"
"Ngga.. aku ngga apa-apa."
"Mending kamu pulang aja. Istirahat di rumah, jangan maksain kerja. Nanti aku yang ijinkan kamu ke Pak Taufik."
"Memangnya ngga apa-apa kalau aku pulang?"
"Iya ngga apa-apa. Mending kamu pulang aja. Aku pesankan taksi online ya."
Nurul mengambil ponsel Jiya. Setelah kuncinya terbuka, wanita itu segera memesan taksi online untuk rekan kerjanya itu. Jiya mengambil tasnya lalu keluar dari ruang divisinya. Memang lebih baik dia pulang untuk menenangkan diri. Jangan sampai pria tadi menyadari dirinya. Jika begitu maka sia-sia saja dia sampai ke kota ini.
Sementara itu, di ruangan Dipa, pria itu tengah menjelaskan situasi yang menimpa Cheryl. Gading diminta menjaga keselamatan wanita itu sampai kasusnya selesai. Cheryl tentu saja senang mengetahui Dipa yang bergerak cepat menyediakan pengawal untuknya.
"Kalau begitu kamu pulang saja sekarang. Jangan lupa besok ada kegiatan reading bersama artis lain."
"Iya, Pak. Ehmm.. Pak Gading mulai bekerja sekarang kan?"
"Saya akan mengantarmu ke apartemen."
Wajah Cheryl tersenyum mendengar jawaban Gading. Wanita itu segera bangun dari duduknya lalu keluar dari ruangan. Tak lama kemudian Gading mengikutinya keluar dari ruangan. Sekarang tinggalah Dipa yang masih membicarakan urusan pekerjaan dengan Ivan.
"Satu bulan lagi kami akan mengadakan acara penghargaan. Apa Pak Ivan bisa menyediakan jasa keamanan untuk acara kami? Ada beberapa artis kami yang juga membutuhkan pengawalan. Ada juga beberapa artis dari manca negara yang memeriahkan acara kami."
"Pak Dipa tenang saja. Saya akan menyiapkan semuanya."
"Terima kasih. Senang berbisnis dengan anda."
"Apa Pak Ivan masih tinggal di Bandung untuk beberapa waktu?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Soal yang tadi saya bicarakan, surat kontraknya bisa Bapak tanda tangani besok."
"Tidak masalah. Saya senang berada di sini, bisa melihat wanita cantik, hahaha.."
Dipa ikut tertawa mendengar jawaban Ivan. Sebelum setuju bekerja sama dengan Sentinel, tentu saja dia sudah menyelidiki tentang perusahaan tersebut. Sebelum dipegang oleh Ivan, perusahaan tersebut memang sudah maju dan semakin berkembang pesat setelah dipegang oleh Ivan. Untuk urusan pekerjaan, sejauh ini tidak ada masalah dengan Sentinel. Ke depannya mungkin dia akan memakai jasa perusahaan itu untuk menjaga artis di bawah naungannya.
***
Di dalam kamarnya, Jiya berjalan mondar-mandir. Pikirannya terus tertuju pada Gading. Jiya memang baru melihat pria bernama Gading, namun gadis itu mengenali Ivan. Saat acara ulang tahun perusahaan, sang Ayah pernah membawanya dan memperkenalkan dirinya dengan atasan ayahnya itu. Dan tadi Ivan tidak mengenalinya dan berati penyamarannya sempurna.
Melihat Gading yang datang bersama Ivan, Jiya pun tahu kalau pria itu masih menjadi bagian dari Sentinel. Insting Jiya yang memilih merahasiakan masalah ini dari kedua orang tuanya benar adanya. Kalau sang Ayah tahu, maka akan ada perseteruan antara keluarganya dengan Gading. Dia takut kalau Gading akan mencelakai keluarganya.
Jiya melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan perutnya keroncongan karena belum makan apapun sejak siang. Jiya menyambar tas selempangnya. Dimasukkan ponsel dan dompetnya lalu keluar dari kamarnya. Ketika dia sampai di lantai dasar, matanya menangkap Tristan yang akan pergi dengan sepeda motornya. Gadis itu bergegas mendekati petugas polisi tersebut.
"Ehm.. Pak.." panggil Jiya.
"Bisa ngga kamu jangan panggil saya, Bapak?"
"Eh iya Bang, maaf. Abang tahu ngga tukang nasi goreng yang enak di sini? Tiba-tiba aja saya mau makan nasi goreng."
"Tahu. Kebetulan saya mau ke sana. Kamu mau ikut?"
"Boleh, Bang?"
"Ayo aja kalau kamu mau ikut."
Tristan membuka bagasi motornya lalu mengeluarkan helm cadangan yang selalu dibawanya. Jiya memakai helm tersebut lalu duduk di belakang pria itu. Motor Tristan langsung melaju menuju daerah Tubagus Ismail.
"Bang! Soal tempat latihan beladiri, Abang udah tahu belum?!" tanya Jiya setengah berteriak agar suaranya terdengar oleh Tristan.
"Aku belum sempat tanya Adit. Lupa! Sekarang aku mau ketemu dia, kamu tanya saja sendiri!"
"Teman Abang yang itu jutek banget. Bengek aku kalau ngomong sama dia!"
"Hahaha.. tapi aslinya dia baik kok. Kemarin dia lagi capek aja."
Motor yang ditunggangi Tristan terus melaju. Ketika memasuki jalan Tubagus Ismail, dia melambatkan laju motornya. Kemudian pria itu menghentikan kendaraan roda duanya di depan kedai nasi goreng yang pernah didatanginya bersama Zahira. Karena cocok dengan rasa masakannya, sekarang dia menjadi pelanggan tetap di sana. Malam ini Tristan memang ada temu janji dengan Aditya. Bukan untuk membicarakan kasus, tapi hanya bersantai saja, melepas kepenatan. Saat ini mereka bisa sedikit santai karena masih menunggu hasil pemeriksaan DNA yang memakan waktu hampir dua Minggu lamanya.
Jiya turun dari motor Tristan lalu membuka helmnya. Harum aroma nasi goreng langsung menyapa indra penciumannya, membuat cacing di dalam perutnya semakin bergejolak saja. Tristan mengajak Jiya menemui sang penjual untuk memesan makanan mereka. Setelah memesan makanan, keduanya mencari meja yang kosong. Aditya belum ada di sana. Sepertinya rekannya itu belum datang.
Lima menit berselang, mobil Jeep Rubicon milik Aditya berhenti tak jauh dari kedai nasi goreng. Pria itu berlari kecil menuju kedai yang sudah ramai didatangi pengunjung. Pria itu menangkap tangan Tristan yang melambai ke arahnya. Dengan cepat dia menghampiri lalu menarik kursi yang ada di sana. Jiya sendiri sedang pergi ke mini market untuk membeli sesuatu, jadi pria itu tidak tahu kalau ada orang lain yang bergabung.
"Udah pesan?" tanya Aditya.
"Udah. Aku juga udah pesanan nasi goreng buat kamu."
"Ok sip."
"Besok kita ada rencana kemana nih?"
"Kita ke J&J Entertainment yuk. Kata Om-ku mereka kerjasama dengan Sentinel untuk menjaga artis-artis mereka. Siapa tahu aja kita bakalan dapat petunjuk."
"Boleh juga. Oh iya, kamu tahu ngga di mana tempat latihan bela diri yang bagus?"
"Tahu. Buat siapa?"
"Buat Jiya."
"Jiya siapa? Pacar kamu?"
"Sembarangan. Itu loh saksi yang menemukan mayat di statisun Tegalluar."
"Oh si kriwil. Kamu sering ketemu sama dia?"
"Ngga sering sih, cuma beberapa kali aja. Kan kita satu kost-an. Kenapa? Cemburu?" goda Tristan.
"Dih.. mana ada. Cewek nyebelin kaya gitu."
"Tapi buktinya kamu udah kasih nama panggilan kesayangan."
"Panggilan apaan?"
"Kriwil hahaha.."
Aditya hanya mendengus saja. Pria itu melayangkan pandangannya ke arah lain dan matanya menangkap Jiya keluar dari mini market yang ada di seberang kios nasi goreng.
"Panjang umur tuh si kriwil. Udah kaya jailangkung aja, datang ngga diundang."
"Hahaha.. aku yang bawa dia ke sini. Dia nanya yang jual nasi goreng enak di mana. Aku bawa aja ke sini."
"Ah elah ngapain bawa dia ke sini? Bikin selera makan hilang aja."
"Hahaha.. jangan gitu Dit. Nanti bisa-bisa kamu ketiban lope sama dia."
Aditya urung menanggapi ucapan Tristan ketika melihat Jiya mendekati meja yang mereka tempati. Gadis itu segera menarik kursi di samping Tristan seraya menaruh bungkusan di atas meja. Dia melirik Aditya yang ada di samping kirinya. Namun pria itu seolah-olah tidak melihatnya.
"Ji.. nih orangnya udah ada. Kamu tanya aja sama dia. Aku mau ke ATM dulu."
Tristan bangun dari duduknya lalu berjalan menuju deretan ruko yang ada gerai ATM-nya. Tinggalah Aditya dan Jiya di sana yang masih saling diam.
"Ehm.. Pak.."
"Saya masih muda ya, ngga usah manggil Bapak!"
"Ehm.. Kakak.."
"Sejak kapan saya jadi Kakak kamu?"
"Abang deh."
"Bukan tukang bakso!"
Jiya menarik nafas dalam-dalam untuk mengisi paru-parunya yang seketika terasa kosong. Laki-laki di sampingnya ini benar-benar menyebalkan dan ingin rasanya dia memukul kepala Aditya dengan asbak yang ada di atas meja.
"Ya terus mau dipanggil apa? Rewel banget jadi cowok!"
"Panggil nama aja, ribet banget."
"Ya ngga sopan dong. Masa yang muda manggil nama aja sama yang udah tua!"
"Ngaca sana! Muka kamu tuh yang tua. Dasar kriwil!"
"Dasar mulut setan!" balas Jiya.
"Astaghfirullah ribut terus kalau ketemu. Aku nikahin juga nih!" sela Tristan yang sudah ada di dekat mereka lagi.
"Najis!!" ucap keduanya bersamaan.
***
Ini aku kasih penampakan Dipa yang sudah tuir🫢 eh berumur.
wahh warning nihhh
aduhhhh.....malah target pindah ke Zahira, oiiiii ...Tante Susi, mbak Bilqis, Adek Sang, jagain zahi yaaa📣📣📣📣📣📣📣📣📣📣