Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Bayangan Baru
malam yang sunyi menyelimuti ruangan tempat The Shadow King terakhir kali jatuh. Namun, kemenangan itu tidak terasa manis bagi Ariella dan timnya. Alex terluka parah, Rael kehilangan kesadaran karena ledakan terakhir, dan Liana hampir kehabisan tenaga. Meski tubuh mereka sudah sangat lelah, ada kelegaan sementara karena mereka berhasil menghancurkan pemimpin The Obsidian Circle.
Namun, Ariella tahu bahwa kekacauan ini belum selesai. Dalam pikirannya, ada pertanyaan yang terus menghantui: siapa yang mengambil alih setelah The Shadow King?
Sebuah Ancaman yang Tersembunyi
Tiga minggu kemudian, mereka kembali ke markas rahasia di tepi kota. Tempat itu adalah satu-satunya perlindungan yang tersisa setelah markas-markas lain dihancurkan oleh musuh-musuh The Obsidian Circle. Selama masa pemulihan, mereka mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar organisasi itu.
"Kita berhasil menghancurkan kepala ular," kata Alex sambil duduk di kursi roda, kakinya masih diperban. "Tapi aku tidak percaya mereka hanya berhenti sampai di sini."
Rael, yang sibuk di depan komputer, mengangguk. "Tentu saja tidak. Aku baru saja memecahkan kode dari file terakhir yang kita dapatkan. Ada seseorang yang sudah mengambil alih kendali organisasi itu, dan dia lebih kejam daripada The Shadow King."
Semua mata tertuju pada Rael.
"Namanya Akasha," lanjutnya. "Dia adalah seorang pembunuh bayaran yang terkenal karena kekejamannya. Berbeda dengan The Shadow King, dia tidak bersembunyi di balik strategi dan rencana besar. Dia adalah tipe yang langsung terjun ke lapangan, dan dia tidak akan berhenti sampai kita semua mati."
Ariella mengepalkan tangan. Nama itu, Akasha, membawa kenangan buruk yang selama ini dia coba lupakan. Akasha bukanlah orang asing baginya. Mereka pernah bertemu di masa lalu, ketika Ariella masih menjadi pembunuh bayaran. Akasha adalah salah satu mentor yang paling dia takuti, sekaligus seseorang yang dia tahu tidak memiliki batas moral.
"Dia akan datang untuk kita," kata Ariella akhirnya. "Dan dia tidak akan datang sendirian."
Serangan Pertama Akasha
Malam itu, mereka dikejutkan oleh suara ledakan besar di luar markas. Api menjulang tinggi, membakar gedung di sebelah mereka. Dalam hitungan detik, serangkaian tembakan menggema di udara.
"Mereka menemukan kita!" teriak Alex sambil meraih pistolnya, meski dia hampir tidak bisa berdiri.
Ariella bergerak cepat, menginstruksikan timnya untuk berlindung. Mereka hanya memiliki sedikit waktu sebelum musuh menyerbu masuk.
"Kelompok ini lebih terorganisir," kata Liana sambil menembak dari balik jendela. "Mereka tidak seperti anak buah The Shadow King. Ini lebih gila!"
Ariella mengintip ke luar dan melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di antara pasukan musuh, ada seorang wanita bertubuh tinggi dengan rambut panjang berwarna perak. Dia berdiri dengan tenang, memimpin pasukan dengan gerakan tangan yang hampir tidak terlihat.
"Akasha," bisik Ariella.
Wanita itu memandang langsung ke arah Ariella, meski dari kejauhan, lalu tersenyum kecil. Dalam sekejap, dia mengeluarkan dua pistol dan melepaskan tembakan presisi yang membuat jendela tempat Ariella bersembunyi pecah berkeping-keping.
"Aku tahu kau ada di sana, Ariella!" teriak Akasha dengan suara yang bergema di antara tembakan. "Berhentilah bersembunyi! Pertunjukan ini untukmu!"
Pertempuran di Markas
Serangan itu berlangsung brutal. Pasukan Akasha menyerbu masuk dengan granat asap dan senjata otomatis, memaksa Ariella dan timnya bertarung mati-matian untuk mempertahankan markas. Namun, keunggulan jumlah dan persenjataan musuh membuat situasi semakin sulit.
"Ariella, kita tidak bisa bertahan di sini!" teriak Rael sambil menembakkan senapannya. "Kita harus mundur!"
"Tidak ada tempat untuk mundur!" balas Ariella.
Namun, Ariella tahu mereka tidak bisa terus bertahan di tempat itu. Dia harus memikirkan cara untuk keluar sebelum mereka semua terbunuh.
"Alex, kau dan Liana cari jalan keluar melalui terowongan di bawah," kata Ariella akhirnya. "Rael, kau ikut dengan mereka. Aku akan menahan mereka di sini."
"Tidak, kau tidak bisa melawan mereka sendirian!" teriak Liana.
"Aku tidak punya pilihan!" jawab Ariella dengan nada tegas. "Pergi sekarang, atau kita semua mati!"
Dengan enggan, timnya mengikuti perintah itu. Sementara mereka melarikan diri melalui terowongan rahasia, Ariella tetap tinggal untuk menghadapi musuh yang terus berdatangan.
Konfrontasi dengan Akasha
Ketika pasukan musuh akhirnya masuk ke ruangan utama, Ariella sudah siap. Dia menyambut mereka dengan serangkaian tembakan yang presisi, menjatuhkan beberapa orang sebelum akhirnya berhadapan langsung dengan Akasha.
"Kau selalu keras kepala," kata Akasha sambil melangkah masuk dengan tenang. "Tapi aku tahu akhirnya kita akan bertemu lagi."
"Dan aku tahu kau tidak akan pernah berubah," balas Ariella sambil mengangkat senjata.
Akasha hanya tersenyum. "Senjata? Tidak perlu repot." Dia melemparkan pistolnya ke lantai, lalu mengeluarkan dua belati yang berkilauan di bawah cahaya lampu. "Mari kita selesaikan ini dengan cara lama."
Ariella melepaskan senjatanya dan mengangkat pedang yang tergeletak di lantai. Dia tahu bahwa melawan Akasha dengan senjata api tidak akan cukup. Jika dia ingin menang, dia harus menghadapi wanita itu secara langsung.
Pertarungan itu berlangsung sengit. Akasha adalah lawan yang jauh lebih tangguh daripada siapa pun yang pernah Ariella hadapi. Setiap serangan dan gerakannya cepat, presisi, dan mematikan.
Namun, Ariella tidak mundur. Dia menggunakan setiap teknik yang dia pelajari selama bertahun-tahun untuk melawan. Suara benturan senjata memenuhi ruangan, diiringi oleh napas berat mereka berdua.
Namun, Akasha adalah seorang pembunuh yang berpengalaman. Dalam satu gerakan cepat, dia berhasil melukai bahu Ariella dengan belatinya, membuat pedang Ariella terlepas dari genggaman.
"Kau masih lemah," kata Akasha dengan suara dingin.
Namun, sebelum Akasha bisa melancarkan serangan terakhir, sebuah ledakan besar mengguncang ruangan. Ternyata, Rael telah meninggalkan jebakan yang dia atur sebelumnya. Ledakan itu cukup untuk mengalihkan perhatian Akasha dan memberi Ariella kesempatan untuk melarikan diri melalui terowongan rahasia.
Babak Baru Dimulai
Setelah berhasil melarikan diri, Ariella dan timnya kembali berkumpul di tempat persembunyian baru. Meski mereka selamat, mereka tahu bahwa pertempuran melawan Akasha baru saja dimulai. Wanita itu tidak hanya lebih kejam daripada The Shadow King, tetapi juga jauh lebih pribadi.
"Dia tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan kita," kata Ariella, memegang bahunya yang terluka. "Tapi aku juga tidak akan berhenti sampai dia tumbang."
Di dalam dirinya, Ariella tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal menghentikan Akasha atau menyelamatkan dunia. Ini adalah pertarungan untuk menebus masa lalunya, untuk menghadapi bayangan gelap yang selalu menghantui dirinya.
Malam itu, mereka bersumpah untuk melawan, apa pun yang terjadi. Namun, mereka tahu bahwa jalan ke depan akan lebih sulit dari apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.