Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duel dilapangan sihir
Setelah misi pertama mereka yang kacau tapi sukses, Shin dan Leo kembali ke rutinitas Akademi. Tapi, Shin nggak pernah benar-benar bisa dibilang "beradaptasi." Tiap hari ada aja tingkahnya yang bikin satu kelas geleng-geleng kepala.
Pagi itu, seperti biasa, Shin datang terlambat ke kelas dengan rambut berantakan dan seragam yang nggak dipakai sesuai aturan.
“Shin, ini sudah ketiga kalinya kamu terlambat minggu ini!” bentak guru mereka, seorang pria tua dengan kumis lebat yang kelihatan seperti punya kehidupan lebih sulit daripada murid-muridnya.
“Eh, santai, Pak. Gue ini spesial. Datang terlambat itu tanda orang hebat, tau?” jawab Shin sambil nyengir.
Kelas langsung penuh dengan suara cekikikan. Guru itu menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau begitu, mari kita lihat sejauh mana kehebatanmu. Kita akan memulai pelajaran hari ini dengan duel di lapangan sihir.”
Shin langsung terbelalak. “Eh, duel? Maksud lo, gue harus berantem sama orang lain?”
“Ya, Shin. Itulah artinya duel,” jawab guru itu dengan nada sabar yang jelas-jelas dipaksakan. “Dan aku sangat menantikan melihat bagaimana seorang murid ‘hebat’ sepertimu menunjukkan keahliannya.”
“Wah, asik juga, nih. Gue bakal nunjukin kalau gue bisa menang tanpa sihir!” kata Shin sambil mengepalkan tangan, penuh percaya diri.
Leo yang duduk di sebelahnya langsung menyikut Shin. “Jangan sok hebat. Kalau kamu kalah, nama tim kita bisa jelek.”
Shin cuma nyengir. “Santai, bro. Gue ini nggak pernah kalah... kecuali waktu main suit sama monyet di gunung.”
Leo memandang Shin dengan tatapan kosong. “Aku menyerah dengan logikamu.”
Beberapa menit kemudian, semua murid sudah berkumpul di lapangan sihir. Lapangan itu luas, dengan tanda lingkaran di tengah untuk duel resmi. Para siswa tampak antusias, terutama karena Shin akan bertanding.
“Baiklah, duel pertama: Shin melawan Armand!” teriak guru mereka.
Armand, seorang siswa tinggi dengan tubuh kekar dan ekspresi sombong, melangkah maju. Dia adalah salah satu murid terbaik di kelas, terkenal karena keahlian sihir apinya yang luar biasa.
Shin menguap dan berjalan santai ke tengah lapangan. “Lo yakin mau lawan gue, bro? Gue ini lawan yang nggak biasa, tau.”
Armand melipat tangannya, menatap Shin dengan meremehkan. “Kamu? Lawan? Aku bahkan nggak perlu serius untuk mengalahkanmu.”
“Wah, lo sombong banget, ya. Tapi nggak apa-apa, gue suka ngeruntuhin harga diri orang sombong,” balas Shin sambil nyengir.
Guru itu memberi aba-aba, dan duel dimulai. Armand langsung melancarkan serangan api yang besar ke arah Shin. Tapi Shin, dengan refleks luar biasa (dan mungkin keberuntungan yang absurd), berhasil menghindar dengan melompat ke samping.
“Woah! Hampir aja gue jadi ayam panggang!” teriak Shin sambil berlari mengelilingi lapangan.
Armand tertawa kecil. “Kamu cuma bisa lari? Jangan harap bisa mengalahkanku dengan cara itu.”
Shin berhenti, menatap Armand dengan ekspresi penuh percaya diri. “Lari? Lo pikir gue lari? Gue ini cuma pemanasan. Sekarang, gue bakal serius.”
Dia memungut sepotong batu kecil dari tanah, lalu melemparkannya ke arah Armand. Batu itu meluncur dengan kecepatan tinggi... dan, ajaibnya, menghantam tongkat sihir Armand hingga terlepas dari tangannya.
“APA?!” Armand terkejut.
Shin nyengir. “Lo tau, kadang kekuatan fisik itu lebih penting daripada sihir.”
Armand, yang jelas-jelas marah, segera memanggil bola api besar tanpa tongkatnya. “Kamu akan menyesal sudah meremehkanku!”
Bola api itu meluncur ke arah Shin. Tapi alih-alih panik, Shin malah melompat ke udara, memanfaatkan salah satu tiang arena untuk menghindar. Bola api itu menghantam tanah dengan ledakan besar, menciptakan debu tebal di seluruh lapangan.
Ketika debu mulai menghilang, Shin sudah berdiri di belakang Armand, memegang tongkat sihir yang tadi dia lemparkan ke tanah.
“Eh, ini barang lo, kan?” tanya Shin sambil menjulurkan tongkat itu ke arah Armand.
Armand yang nggak menyangka Shin bisa bergerak secepat itu cuma bisa bengong.
“Tapi karena lo mau bunuh gue tadi, gue jadi nggak mood balikin ini,” lanjut Shin sebelum dia melemparkan tongkat itu ke luar arena. Tongkat itu jatuh jauh ke semak-semak.
Kelas langsung pecah dengan suara tawa. Armand memerah karena malu, tapi dia nggak bisa ngapa-ngapain tanpa tongkatnya.
Guru mereka menghela napas panjang. “Cukup! Duel selesai. Pemenangnya adalah... Shin.”
“YEAH! Gue menang!” teriak Shin sambil melompat-lompat, sementara Leo di pinggir arena cuma bisa memandang dengan ekspresi putus asa.
“Kenapa aku harus sekamar dengan orang ini...” gumam Leo pelan.
Setelah duel itu, Shin jadi bahan pembicaraan di seluruh Akademi. Sebagian besar siswa kagum dengan caranya menang tanpa sihir, sementara yang lain cuma bingung gimana orang seaneh dia bisa diterima di Akademi.
Tapi Shin? Dia nggak peduli. Yang penting, dia berhasil menikmati hari-harinya di Akademi dengan caranya sendiri.
“Eh, Leo, lo tau nggak? Kayaknya gue ini legenda yang masih hidup,” kata Shin sambil duduk di kamar mereka malam itu.
Leo menatap Shin dengan tatapan lelah. “Legenda apa? Legenda orang paling mengganggu?”
“Enggak, bro. Legenda orang yang bikin orang sombong diem!” jawab Shin sambil ketawa keras.
Leo menghela napas panjang. “Tolong jangan terlalu percaya diri. Dunia ini akan jadi tempat yang lebih aman kalau kamu sedikit lebih normal.”
“Tapi dunia bakal lebih ngebosenin tanpa gue,” jawab Shin santai.
Dan di luar kamar mereka, bayangan seorang pria misterius kembali mengawasi. Matanya menyipit, penuh rasa penasaran.
“Anak itu... makin menarik. Tapi apa dia sadar kekuatan besar yang tersembunyi di dalam dirinya?”