"Dia membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan, Illana."—Lucas Mathius Griggori.
Setelah cinta pertamanya kembali, Mark mengakhiri pernikahannya dengan Illana, wanita itu hampir terkejut, tapi menyadari bagaimana Mark pernah sangat mengejar kehadiran Deborah, membuat Illana berusaha mengerti meski sakit hati.
Saat Illana mencoba kuat dan berdiri, pesona pria matang justru memancing perhatiannya, membuat Illana menyeringai karena Lucas Mathius Griggori merupakan paman Mark-mantan suaminya, sementara banyak ide gila di kepala yang membuat Illana semakin menginginkan pria matang bernama Lucas tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Eclaire, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Menjerat.
"Bibi Chen, bukankah suasana di meja makan begitu sepi?"
Wanita 45 tahun yang sibuk menghidangkan menu makanan pada permukaan meja—tertegun sejenak, kebingungan. "Ya, Tuan."
"Mengapa aku baru menyadarinya?" Lucas mendengkus, ia keluar dari rumah sakit sejak kemarin meski dokter ingin mempertahankannya di sana, tapi Lucas terlalu kerasa kepala dan terus memaksa pulang. "Menurutmu, bukankah seseorang juga bisa duduk menetap pada kursi lain di sini?"
Juru masak tersebut merasa pening, perkataan Lucas membuatnya berpikir keras. "Maksud, Tuan?"
"Haruskah rumah ini memiliki seorang nyonya?"
Sekarang Bibi Chen telah mengerti, pria itu mengisyaratkan sesuatu, tapi meski sudah cukup jelas, Bibi Chen tetap harus terkejut. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah ini, tak seorang pun wanita duduk mengisi kekosongan kursi di balik meja makan.
"Eum, ya. Aku pikir Anda bisa melakukannya, Tuan."
"Hmm. Sudahlah, aku terlalu banyak memikirkannya."
Setelah menghidangkan seluruh menu, Bibi Chen menyingkir, tapi ia kembali memperhatikan Lucas yang duduk membelakanginya. Sejak keluar dari rumah sakit, karakter pria itu sedikit aneh. Bukankah sudah sangat lama seluruh kursi lain di balik meja makan selalu kosong?
Hanya Lucas yang akan mengisi satu kursi di sana, setiap hari makan bersama kesunyian. Sementara pelayan tak mungkin menempati kursi-kursi tersebut, lalu pagi ini Lucas mengucapkan sesuatu yang membuat Bibi Chen sulit melupakannya.
"Beny. Cedera cukup parah yang dirasakan oleh Tuan Lucas berada di kepalanya, bukan?"
"Ya. Ada apa?"
"Dia amnesia?"
"Tidak ada amnesia, mengapa kamu berkata seperti ini? Kamu ingin dimarahi olehnya?"
"Aku hanya merasa aneh menghadapi sikap Tuan Lucas. Apakah dia memiliki seorang pacar?"
Beny sempat berpikir. "Sepertinya tidak ada."
"Benar. Lagipula tak pernah muncul satu pun wanita di rumah ini selain para pelayan, dia belum pernah membawa orang luar masuk, bukan?"
"Ya, Bibi. Katakan lebih jelas dan tidak bertele-tele." Beny cukup gemas menanggapi kalimat Bibi Chen berputar di tempat.
"Aku terkejut saat pagi ini Tuan Lucas mengonsumsi sarapannya, tiba-tiba dia berkata—" Bibi Chen berdeham. "Haruskah rumah ini memiliki seorang nyonya?"
"Tuan berkata demikian?"
"Ya. Apa menurutmu terdengar aneh? Dia baru menyadari jika suasana di ruang makan selalu sepi, hanya ada dirinya yang selalu duduk di sana."
"Menurutku itu hal biasa."
"Hal biasa apa?"
"Kamu pikir saja, usia tuan sudah 38 tahun, dia pasti mulai memikirkan sebuah pernikahan, di antara ketiga saudaranya, bukankah hanya Tuan Lucas yang belum menikah?"
"Ah. Kau benar, naluri seorang pria single." Bibi Chen tertawa lirih. "Aku tak pernah berpikir bahwa dia mulai gelisah karena selalu sendiri. Mungkin dia mulai dekat dengan seseorang, bukankah kamu sangat dekat dengannya? Aku yakin kamu mengetahui sesuatu, Beny."
"Tidak. Aku tidak tahu tentang hal itu, aku harus keluar. Apa kopinya sudah siap?"
Bibi Chen mengulurkan secangkir kopi sesuai permintaan Beny, interaksi mereka berakhir ketika Beny membawa pergi kopinya dari dapur.
***
Malam sebelum akhir pekan.
Suasana di dalam sebuah pub tak jauh dari Cinnamon terlihat semakin ramai setelah kehadiran sepuluh orang pengunjung baru—termasuk Illana dan Nora—mengisi meja dan sofa di sudut ruangan.
Illana menepati janji untuk mengajak mereka semua minum bir, ia akan membayar seluruh tagihan malam ini sebagai bentuk perayaan keberhasilan mereka bekerjasama dengan Century.
Terhidang banyak kaleng bir, botol-botol alkohol dari jenis lain serta beberapa makanan ringan di meja.
Sudah hampir satu jam mereka berada di sana, bermain 'truth or dare', lalu membicarakan karyawan lain yang menurut mereka menyebalkan. Sementara Illana mulai dipengaruhi efek alkohol setelah meneguknya cukup banyak.
"Nona, ponselmu berdering."
"Benarkah?" Tatapan Illana sudah cukup sayu, tapi masih memiliki kesadaran, ia banyak tertawa akibat tingkah konyol para pekerjanya. "Aku akan keluar menjawab telepon, tolong jaga tasku sebentar, Nora."
"Baik, Nona."
Illana berjalan keluar dari pub, ia berjongkok di dekat sebuah pohon karena tak sanggup berdiri lebih lama akibat efek alkohol. Ia memastikan sekali lagi bahwa Lucas sedang menghubunginya.
"Hallo, Paman."
"Aku sudah keluar dari rumah sakit, aku telah sehat. Jadi, bisakah kita bertemu? Kebetulan mobilku berada di seberang apartemenmu."
"Ah syukurlah jika kondisimu telah membaik, tapi aku tidak berada di apartemen sekarang."
"Di mana?"
"Pub di dekat Cinnamon. Kamu mengetahuinya?"
"Ya, aku segera ke sana."
"Aku akan menunggumu di dekat gedung seberang pub ini."
"Baik."
Setelah mengakhiri telepon, Illana menyebrangi jalan raya, lalu menunggu Lucas di samping sebuah toko bunga, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding—tepat di bawah lampu yang menyala, satu meter di sisi kanan Illana merupakan gedung pusat kebugaran, tapi sudah tutup dan hanya menyisakan beberapa lampu menerangi bagian luar tempat tersebut.
Tak sampai lima belas menit Lucas datang, ia bergegas menyebrangi jalan setelah keluar dari mobilnya. Pria itu menemukan Illana sedang berjongkok seraya menyembunyikan wajah.
"Illana."
Kepalanya mendongak dan tersenyum menatap Lucas. Sejenak pria itu berhasil tertegun.
"Paman."
Wajah Illana ketika terpengaruh alkohol terlihat semakin cantik.
"Mari, aku bantu kamu berdiri."
Illana hanya mengangguk, ia beranjak setelah Lucas membantunya dan segera bersandar pada tembok gedung agar mampu bertahan ketika berdiri.
"Mengapa kamu mabuk? Kamu bahkan masih menggunakan pakaian kantormu."
"Bukan apa-apa, aku hanya menepati janji pada anggota tim bahwa akan membayar seluruh minum mereka sebelum akhir pekan, sebuah perayaan kecil setelah mendapatkan kerjasama dengan Century."
"Ah. Namun, jangan mabuk seperti ini, kamu akan kesulitan saat mengendarai mobilmu. Bagaimana jika orang lain berusaha memanfaatkanmu, huh? Tidak setiap waktu kita bertemu."
"Nora akan mengemudikan mobil untukku."
"Aku berharap ini terakhir kalinya kamu mabuk."
Illana mengangguk patuh. "Aku janji, tapi kamu, kamu mencariku? Apa benar kamu sudah sembuh? Aku ingin melihatnya."
"Melihat apa?"
Lucas tersentak ketika kedua tangan Illana menangkup wajahnya, ia dipaksa memahami bahwa tingkah wanita itu adalah hasil dari efek alkohol.
"Tentu saja memeriksa kepalamu. Apa tidak sakit lagi?"
"Tidak. Aku sudah pulih."
"Sangat bagus. Kamu pulih dengan cepat, kamu pasti mendengarkan saran dokter."
"Ya. Aku harus segera pulih karena ingin mendengar jawaban permintaanku, jadi bagaimana?"
"Jawaban?" Kedua tangannya bergerak turun. "Ah. Jawaban itu ya."
"Aku telah memberi waktu berhari-hari, pastikan kamu menjawabnya sekarang."
Illana sempat menunduk, ekspresinya berubah ketika menatap pria itu kembali. "Kamu sangat tahu bahwa aku telah gagal dalam pernikahan, perasaan terluka itu masih ada, di sini." Ia menepuk pelan dadanya. "Aku sedang belajar menerima bahwa tidak memiliki siapa pun untuk bersandar, ternyata memerlukan sedikit waktu agar terbiasa."
"Lalu—"
"Sst! Jangan berbicara. Mengapa kamu sangat berisik?" Illana menginterupsi, menempelkan telunjuk pada bibir. "Biarkan aku berbicara hingga selesai. Kamu jangan menyela."
"Baik."
Lucunya, kedua tangan Illana kembali terangkat untuk menepuk pelan wajah Lucas sesaat. "Anak yang patuh, ibumu pasti senang."
"Hm."
"Kamu juga tahu bahwa aku telah banyak menangis, sehingga aku terus bertanya, mengapa kamu berkata seperti itu? Aku yakin kamu hanya bergurau, kamu mengatakannya dengan spontan, benar?"
Pria itu menggeleng. "Tidak, aku mengatakannya secara sadar."
"Mengapa? Seseorang menyuruhmu?"
"Seseorang?"
"Ya. Apa Mark memaksamu mengatakan omong kosong karena kasihan melihatku sendirian?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Mark."
"Kamu jangan berbohong. Kita menjadi dekat akhir-akhir ini, kamu bahkan membantuku mencapai kesepakatan dengan Thomas Fault. Semua itu karena dorongan dari Mark, bukan?"
"Tunggu. Mengapa kamu berpikir demikian? Aku dan Mark sudah cukup lama tidak berbicara, ketika dia berkunjung ke rumah sakit, kami bahkan tidak berinteraksi."
"Kalian berasal dari satu keturunan yang sama, Keluarga Griggori."
"Hanya karena itu?"
"Tidak. Pasti Mark kesal denganku, dia telah menuduh bahwa aku merusak lukisannya, lalu mencoba membalas dendam. Dia memintamu melakukan semua ini, mendekat dan mengatakannya. Aku sudah bisa menebak. Dia memaksamu melakukan balas dendam kepadaku, bukan?" Illana tertawa. "Sudahlah, kamu pasti sungkan terhadap keponakanmu."
Lucas mendengkus, ia sadar permintaannya terlalu banyak, tapi seluruh kalimat Illana membuat pria itu kesal. "Kesimpulan yang aneh."
"Akui saja. Tidak ada perasaan datang secepat itu, kamu berusaha membodohiku, bukan? Kalian Keluarga Griggori apakah selalu seperti ini?"
"Illana."
"Sudahlah. Aku ingin kembali ke pub, Nora pasti menungguku." Ia berniat pergi, tapi Lucas menahannya, menatap dingin wanita itu. "Tidak. Jangan menatapku seperti itu, kamu membuatku takut."
"Sekarang, kamu takut padaku, huh?" Ia merapatkan tubuhnya dengan wanita itu, menatap lebih lekat dan dekat, sehingga wajah Illana sedikit terangkat ketika menyeimbangkan tinggi mereka demi menatap Lucas. "Kamu takut?"
"Aku—"
Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Illana, membuatnya tertegun kaku. "Sial. Mimpi apa ini."
Lucas tersenyum, melihat kebingungan pada diri Illana—justru membuat wanita itu lebih menggemaskan.
"Lucas."
"Kamu hanya menyebut namaku?" Sekarang bukan hanya kecupan singkat, tapi nalurinya sebagai seorang pria normal menginginkan lebih, ia meraih tengkuk wanita itu, mendapatkan bibirnya lebih banyak ketika mencoba ciuman penuh gairah.
Refleksi kedua tangan Illana ketika berusaha mendorong Lucas hanya berlangsung sesaat, ia terlalu lemah dan semakin tak berdaya menghadapi keinginan mutlak pria itu.
Lucas berhenti setelah cukup lama. Kedua pipinya terlihat merona, tatapan pria itu menjadi sayu. Ia menelan ludah ketika mengusap lembut bibir Illana yang basah akibat perbuatannya.
"Kamu masih takut denganku?"
"Ya."
Alih-alih menciumnya kembali, Lucas justru mengangkat tubuh Illana, memasukannya ke dalam mobil tanpa peduli bagaimana situasi terjadi sebelum mereka bertemu.
Lucas kesulitan mengendalikan insting liar yang menyerangnya, ia terus menekan bahwa menggunakan cara apa pun—malam ini harus selesai, bahkan meski harus mematikan ponsel Illana ketika Nora menghubungi. Ia tak ingin siapa pun menghalangi keinginannya malam ini.
Sementara di seberang jalan—seseorang sudah memperhatikan mereka. Siapa sangka Mark berdiri di sana dan melihat setiap hal yang terjadi.
***