NovelToon NovelToon
Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Qatar love
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: siscaatann

Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KETIDAKPASTIAN

Hari-hari di kampus berjalan seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Megha merasakan jarak yang semakin jauh antara dirinya dan Bima. Sejak pertemuan terakhir di perpustakaan, Bima terlihat semakin tertekan. Setiap kali mereka bertemu, Bima tampak seperti sedang berada dalam dunianya sendiri, tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan mereka. Mata Bima yang biasanya cerah sekarang sering terlihat kelabu dan suram.

“Bim, lo baik-baik aja?” tanya Megha saat mereka kebetulan bertemu di koridor. Suara Megha terdengar penuh kekhawatiran, tetapi Bima hanya tersenyum tipis, seolah berusaha menutupi sesuatu.

“Eh, iya. Gue baik-baik aja. Cuma sedikit capek aja,” jawab Bima sambil menghindari tatapan Megha.

Tapi Megha tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya. Dia merasa ada sesuatu yang menyakitkan di balik senyum Bima yang tidak tulus. Dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi rasa cemas terus menghantuinya. “Mungkin dia lagi stress sama tugas kuliah,” pikirnya. “Atau mungkin ada masalah lain yang dia belum siap untuk bicarakan.”

Namun, semakin hari, Bima semakin menjauh. Dia lebih sering menghabiskan waktu sendirian, dan ketika Megha mencoba mengajaknya berbicara, Bima sering kali hanya memberikan jawaban singkat. Mereka yang sebelumnya bisa tertawa bersama kini terjebak dalam ketidakpastian yang membingungkan.

Megha berusaha untuk tetap bersikap positif. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan aktivitas lain, mulai dari belajar hingga ikut organisasi di kampus. Namun, di dalam hatinya, semua itu terasa hampa tanpa kehadiran Bima yang hangat.

Suatu hari, saat dia sedang duduk di kafe bersama Tania, sahabatnya, Megha memutuskan untuk mengeluarkan unek-uneknya. “Tania, gue ngerasa Bima semakin menjauh. Dia kayak... menghindari gue gitu.”

Tania menatap Megha dengan serius. “Mungkin dia butuh waktu sendiri, Meg. Kadang, orang punya masalah yang nggak mau mereka ceritakan.”

“Gue tahu, tapi... gue khawatir. Sejak kita ngobrol di perpustakaan, dia nggak pernah terlihat sama lagi,” jawab Megha sambil mengaduk kopi di cangkirnya.

“Lo udah coba nanya langsung?” tanya Tania.

Megha menggeleng. “Belum. Gue takut dia malah menjauh lebih jauh. Tapi di satu sisi, gue juga penasaran. Kenapa dia jadi kayak gini?”

“Coba deh, kasih dia ruang. Kalo emang dia mau cerita, pasti dia bakal nyari lo,” kata Tania.

“Semoga aja gitu,” jawab Megha, meskipun hatinya tetap terasa berat.

Malam itu, Megha tidak bisa tidur. Pikiran tentang Bima terus berputar di kepalanya. Apakah dia sudah membuat kesalahan? Apakah ada yang salah dengan mereka? Dia merasa bingung dan tertekan. Seharusnya mereka bisa lebih dekat, tetapi sekarang semuanya terasa seperti sebuah labirin tanpa ujung.

Keesokan harinya, di kelas, situasinya tidak jauh berbeda. Bima duduk di belakang kelas, seolah-olah menghindari tatapan siapa pun, termasuk Megha. Ketika dosen menjelaskan materi, Megha terus mencuri pandang ke arah Bima. Dia berharap bisa melihat sedikit sinar di matanya, tetapi yang dia temukan hanya kebuntuan.

Akhirnya, saat kelas berakhir, Megha memberanikan diri untuk menghampiri Bima. “Bim, bisa kita ngomong sebentar?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdegup kencang.

Bima menoleh, tampak ragu sejenak. “Gue... gue harus pergi, Meg,” jawabnya, menghindar dari percakapan.

“Gak, tunggu. Cuma sebentar, please,” Megha memohon, mengingat betapa sulitnya membangun keberanian untuk berbicara.

Bima menghela napas panjang. “Oke, kita bisa bicara. Tapi bukan di sini, ya?”

Megha mengangguk, merasa sedikit lega. Mereka berjalan ke taman di dekat kampus, tempat yang biasanya menjadi spot favorit mereka untuk mengobrol. Tetapi kali ini, suasananya terasa canggung.

Setelah duduk di bangku taman, Megha mengambil napas dalam-dalam. “Bima, lo nggak perlu merasa tertekan. Gue di sini buat dengerin lo. Kalo ada yang lo pengen cerita, gue siap.”

Bima menatapnya, dan untuk sejenak, Megha melihat ada kebingungan dalam mata Bima. “Gue... lagi bingung, Meg. Banyak yang harus dipikirin. Tentang kuliah, masa depan, dan juga... kita.”

“Apakah ada yang salah?” tanya Megha pelan, merasakan ketegangan di antara mereka.

Bima menunduk, berjuang dengan kata-kata yang ingin diucapkan. “Gue merasa ada banyak ekspektasi dari diri gue sendiri. Kayak... semua orang berharap gue jadi yang terbaik, dan kadang, itu bikin gue merasa tertekan.”

“Bim, lo nggak perlu merasa terbebani dengan ekspektasi orang lain. Yang penting adalah lo bahagia. Dan soal kita, kita bisa ambil waktu, nggak usah terburu-buru,” jawab Megha dengan lembut.

Bima mengangkat kepala, menatap Megha dengan tatapan yang lebih dalam. “Tapi... kadang gue ngerasa, gue juga punya perasaan untuk lo. Dan itu bikin gue bingung. Apakah gue siap untuk semua ini?”

Hatinya berdegup kencang. Megha merasa ada harapan yang muncul di antara ketidakpastian ini. “Bima, nggak ada salahnya kalau kita pelan-pelan. Kita bisa mulai dari sini. Yang penting kita jujur sama satu sama lain.”

“Lo bener,” Bima mengangguk, tapi wajahnya masih tampak ragu. “Tapi, kadang gue khawatir kalo kita jadi lebih jauh dan malah kehilangan satu sama lain.”

“Gue janji nggak akan pergi. Kita tetap bisa jadi teman, apapun yang terjadi,” jawab Megha, berusaha meyakinkan Bima.

Bima tersenyum tipis, meski itu masih terasa keraguan. “Oke, Meg. Gue akan berusaha. Mungkin gue butuh waktu buat merenung.”

Mereka berbincang sedikit lagi sebelum berpisah. Meskipun ada harapan, Megha merasakan keraguan di dalam diri Bima. Dia ingin sekali Bima menemukan kejelasan dalam perasaannya, tetapi dia juga tahu bahwa hal itu tidak bisa dipaksakan.

Di malam hari, saat kembali ke rumah, Megha merenungkan perbincangan mereka. Dia tahu bahwa hubungan mereka berada di ambang ketidakpastian, tetapi setidaknya ada sedikit cahaya harapan. Dia bertekad untuk memberi Bima ruang, sambil terus berharap bahwa perasaan mereka bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kuat.

“Apapun yang terjadi, gue akan menunggu,” pikirnya, mengingat semua momen berharga yang telah mereka lalui. “Cinta butuh waktu, dan gue siap untuk menanti.”

Dengan harapan baru, Megha memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri dan memberikan Bima waktu yang dia butuhkan. Namun, dalam hatinya, dia tetap berharap agar suatu hari Bima bisa menemukan jawabannya dan mereka bisa melanjutkan cerita ini bersama-sama.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!