Anastasia, wanita berhijab itu tampak kacau, wajahnya pucat pasi, air mata tak henti mengalir membasahi wajah cantiknya.
Di sudut rumah sakit itu, Ana terduduk tak berdaya, masih lekat diingatannya ketika dokter memvonis salah satu buah hatinya dengan penyakit yang mematikan, tumor otak.
Nyawanya terancam, tindakan operasi pun tak lagi dapat di cegah, namun apa daya, tak sepeser pun uang ia genggam, membuat wanita itu bingung, tak tahu apa yang harus di lakukan.
Hingga akhirnya ia teringat akan sosok laki-laki yang telah dengan tega merenggut kesuciannya, menghancurkan masa depannya, dan sosok ayah dari kedua anak kembarnya.
"Ku rasa itu sudah lebih dari cukup untuk wanita rendahan seperti mu... ."
Laki-laki kejam itu melempar segepok uang ke atas ranjang dengan kasar, memperlakukannya layaknya seorang wanita bayaran yang gemar menjajakan tubuhnya.
Haruskah Anastasia meminta bantuan pada laki-laki yang telah menghancurkan kehidupannya?
IG : @reinata_ramadani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinata Ramadani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Daddy Endak Shayang Mollin?
°°°~Happy Reading~°°°
"Mommy..."
Suara serak sang putri berhasil menyadarkan Ana dari lamunannya. Buru-buru Ana menyingkirkan bekas isak yang kini berhasil membasahi wajah cantiknya.
Terlihat gadis kecil itu berangsur mendekat ke arahnya. Wajahnya sembab, bola matanya bahkan tampak memerah akibat tangis yang tak kunjung mereda.
"Mommyh..." isak Maurin, perlahan air mata itu kembali merebak.
"Sayang... Kenapa putri cantik mommy menangis, heummm... " Jemari tangannya bergerak mengusap lembut wajah sembab sang putri, membuang linangan air mata yang kini kembali berurai tanpa henti.
Maurin menggeleng lemah, air mata itu jatuh semakin deras tatkala menatap pada sang kembaran yang masih tergeletak lemah di ranjang kamarnya.
"Apin kenapa endak banun-banun myh, Apin endak apa-apa kan? Apin nanti shembuh kan myh..." Sahut si kecil Maurin penuh sesenggukan.
"Tidak apa-apa sayang, Mallfin hanya capek. Maurin tidak usah khawatir, Mallfin pasti sembuh... ."
Ya. Putranya pasti sembuh. Tidak apa-apa. Anak laki-lakinya itu hanya butuh istirahat sejenak.
Ana berusaha meyakinkan hatinya.
Semua akan baik-baik saja.
"Mommy maafin Mollin... Mollin bellshallah. Kallna Mollin nakall, Apin jadi pishang... ."
Gadis kecil itu tak henti menangis di rengkuhan sang mommy. Rasa bersalah itu begitu membumbung tinggi. Semua ini salahnya. Semua terjadi karena ia yang tak sedikitpun mau mendengarkan kata-kata Mallfin.
"Tidak sayang, Maurin tidak salah... Mallfin hanya capek, jadi harus tidur sebentar, heummm... ."
"Endak myh... Mollin belshallah. Apin pishang kallna Mollin... Kallna Mollin paksa Apin calli daddy."
"Kata Lio, daddy endak shayang shama Mollin, endak mau belltemu Mollin, endak mau pelluk-pelluk Mollin. Mollin endak shuka Lio bicalla shepeulti itu. Mollin sheball shama Lio. Mollin mau calli daddy biall daddy mallahin Lio anak nakall. Hiks... ."
Kata-kata itu sukses membuat Ana kembali merasakan sakit luar biasa. Meski bertahun-tahun telah berlalu, namun nyatanya Ana masih tak mampu melupakan kenangan buruk yang kini berhasil menorehkan luka menganga.
Ana hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa sakit juga terluka. Ia masih berusaha berdamai dengan keadaan.
"Sayang--" Suaranya tercekat. Ana benar-benar tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Air mata itu bahkan sudah mendobrak keluar.
"Kata mommy daddy peullgi kellja, tapi kennapa daddy na Mollin endak pullang-pullang?"
"Mollin endak mau daddy keulja myh, Mollin mau daddy di lumah aja shama Mollin, Apin, shama mommy. Mollin endak mau di ejek Lio endak puna daddy ladi. Mollin endak mau, hiks..."
Air mata itu semakin deras membasahi wajah sembab itu. Maurin benar-benar merindu akan sosok sang daddy yang bahkan tak pernah ia lihat sekalipun.
Membuat Ana semakin tak tega, di rengkuhnya tubuh mungil itu dalam dekapan hangatnya.
"Sayang... Daddy-- Daddy belum bisa pulang sekarang." ungkap Ana putus asa.
"Kennapa? Daddy endak shayang Mollin?"
Ana memejam. Mau tidak mau, ia harus kembali mengarang cerita. Kebohongan itu, harus kembali tercipta.
"Siapa bilang daddy tidak sayang Maurin. Daddy sayang sekali sama Maurin. Tapi-- daddy belum bisa pulang sekarang. Daddy harus menyelesaikan pekerjaannya dulu, Sayang."
"Mollin endak shuka daddy bekellja." tunduk Maurin penuh raut kesedihan.
Tidak bisakah daddy nya itu meninggalkan pekerjaannya saja dan berkumpul dengannya di rumah ini?
"Mollin endak apa-apa kallau endak puna mainan, Mollin mau na daddy shini aja..." ungkap Maurin menuturkan keinginan terbesarnya.
Ana menghela nafas dalam. Inilah yang selama ini ditakutkannya. Saat sang putri kembali mempertanyakan keberadaan sang daddy dan menginginkan keberadaannya disisinya.
"Daddy pasti pulang saat nanti daddy menyelesaikan pekerjaannya, Sayang. Tapi, Maurin harus bersabar. Kata daddy, Maurin yang cantik ini harus menjadi putri daddy yang baik. Maurin doain daddy biar pekerjaan daddy bisa segera selesai dan bisa cepat bertemu dengan Maurin... ."
"Iya myh... Mollin janji endak nakal-nakal ladi... Mollin endak akan nanit-nanit ladi... Nanti Mollin belldoa banak-banak biall daddy bisa teupat pullang lumah tellush pelluk Mollin lama-lama... ."
Ditengah kegetiran itu, Ana menyunggingkan senyum kecilnya. Sebegitu besarnya sang putri mengharapkan sang daddy datang merengkuhnya.
Direngkuhnya tubuh mungil itu dalam dekapan hangatnya.
Ia tahu ini salah. Ia tahu ini bukan cara yang tepat. Namun, bisa apa ia? Haruskah ia mengatakan jika daddy nya telah meninggal dunia?
Lalu dimana tempat bersemayamnya berada? Haruskah ia menunjukkan makam palsu kepada anak-anaknya?
Tidak. Ana tidak bisa.
Lalu apa yang harus Ana katakan?
Haruskah ia mengatakan jika mereka adalah anak hasil hubungan semalam? Anak yang hadir di luar dari ketentuan agama? Atau bahkan anak haram seperti yang di gembor-gemborkan orang di luaran sana?
Sungguh, itu akan semakin melukai hati anak-anaknya.
Bukan salah mereka mendamba kasih sayang seorang ayah. Bukan salah mereka menanyakan dimana keberadaan sang ayah yang bahkan tak pernah ditemuinya. Bukan salah mereka jika mereka merengek meminta bertemu dengan sang ayah.
Sedikitpun bukan salah mereka.
Semua ini kesalahannya.
Semua ini terjadi karena kesalahannya. Kesalahan yang tak sengaja diperbuatnya hingga akhirnya mereka hadir tanpa kesengajaan.
Semua ini kesalahannya.
🍁🍁🍁
Annyeong Chingu
Lanjut yuk, hehehe
Happy reading
Saranghaja💕💕💕